Harga diri

Apakah nasib sial itu ada? Aku percaya bahwa hal tersebut ada. Karena saat ini aku sedang mengalaminya.

Ibu menyuruhku untuk mengantarkan sebuah barang pada saudara yang bertempat tinggal di komplek yang cukup jauh dari rumahku. Awalnya aku ingin menolak, tetapi melihat warna merah yang menyelimuti ibu, aku mengurungkan niatku. Mungkin dia sedang PMS.

Aku mengendarai motorku dan menuju tempat yang diperintahkan. Selesai mengirim barang, aku segera menancap gas. Hari ini aku sedang berada dalam mode 'malas bergerak' sehingga energi yang kukumpulkan telah habis hanya untuk mengirim barang ini. Ingin rasanya segera berguling-guling di kasur dan malas-malasan,

Nasib sial menyapaku di pertengahan jalan. Motorku tiba-tiba mati. Kulihat apa yang salah, ternyata bensinnya telah habis. Ketika kutuntun motor untuk mencari pom bensin terdekat. Hujan deras turun tanpa peringatan. Dari ukuran suara dan kegelapan langit. Kurasa hujan ini akan berlangsung beberapa jam.

Tak ada pilihan lain. Aku harus berteduh, tapi dimana? Kulihat sebuah kafe. Tanpa pikir panjang aku memarkinkan motorku di depan kafe tersebut. Aku membuka bagasi motor untuk mengambil jas hujan. Tapi harapanku pupus ketika aku tak melihat apa pun disana.

"Kenapa dewi fortuna (keberuntungan) meninggalkanku disaat seperti ini?"

Yah, mungkin aku masih dikatakan beruntung karena menemukan tempat berteduh. Kulihat kafe di depanku. Kafe dengan pintu kaca bertuliskan 'buka'. Penerangan dalam kafe berasal dari dan lampu kuning yang nyaman. Meja dan kursinya terbuat dari kayu. Diatas kursi terdapat bantal untuk menambah kenyamanan saat duduk. Terdapat AC di dalamnya. Furnitur yang sederhana namun enak dilihat seperti jam, bunga, dan foto-foto hewan yang menenangkan bersandar di dinding dengan patuh.

Kafe ini cukup bersih dan rapih. Aku memutuskan untuk menunggu hujan sebari memesan beberapa makanan. Kebetulan aku merasa sedikit lapar.

Kubuka pintu kaca bergagang besi tersebut. Udara sejuk AC menyentuh pori-pori. Aroma kopi segar memenuhi rongga hidung. Kafe ini benar-benar terawat dengan baik. Kulihat sekeliling, tak ada pengunjung lain selain diriku. Sempurna. Aku akan menambahkan kafe ini ke dalam daftar tempat nongkrong.

Kemudian aku melihat kasir. Oh, ternyata ada beberapa tempat duduk bulat tinggi yang berhadapan langsung dengan kasir. Mereka mengadopsi model bar juga rupanya. Aku memutuskan untuk duduk disana.

Tak ada siapa pun di balik kasir. Namun terdapat bel di sebelahnya. Ada tulisan juga yang mengiringi bel tersebut, 'Tekan untuk memesan'. Kutekan jariku di atasnya.

Kring. . .

"Yah, tunggu sebentar"

Suara gadis menyahut tak lama setelah bel berbunyi. Terdapat sebuah pintu yang hanya dihiasi oleh gorden di balik kasir. Dari sanalah suara tersebut berasal. Mungkin rumah pemilik menjadi satu dengan kafe ini.

"Mau pesan apa?"

"EH!?"

Aku terkejut setengah mati. Seorang gadis cantik muncul dari balik pintu. Rambutnya hitam di ikat buntut kuda. Kulitnya seputih salju. Dia mengenakan kaos yang dibungkus oleh celemek pegawai kedai kopi yang mana menggambarkan sedikit lekuk tubuhnya. Namun apa yang membuatku terkejut adalah wajahnya. Tidak salah lagi.

Kanna sang ratu es.

Sedang apa dia disini? Apakah ini kafe keluarganya? Apa nasib sialku belum selesai? Sungguh suatu pekerjaan besar jika aku harus memulai interaksi dengan gadis ini. Ditambah lagi dia tidak menunjukkan ekspresi apa pun setelah melihatku. Apa dia tidak mengenaliku?

"Kanna?"

"Ya?"

"Kau mengenalku'kan?"

"Tentu. Kau Agis teman sekelasku."

"Apa kau tidak terkejut melihatku?"

"Tidak juga."

"Apakah mungkin teman-teman sekelas kita sering datang kesini?"

"Tidak, kau teman kelasku yang datang ke kafe ini pertama kali."

"Lalu kenapa kau tidak terkejut?"

"Kenapa aku harus terkejut?"

"Hah? Kebanyakan orang akan terkejut ketika bertemu dengan orang yang mereka kenal di tempat yang tidak biasa."

"Apakah begitu?"

"Ya memang harusnya begitu."

Kanna memiringkan kepalanya tanda dia masih bingung dengan apa yang baru saja kukatakan. Kulihat warna emosinya dan tetap saja tak ada perubahan. Putih bersih. Sebenarnya seberapa tidak pekak sih gadis ini?

"Ah, sudahlah. Aku pesan cappucino panas. Dan juga. . ."

Aku meilhat daftar menu yang terdapat di meja.

"Aku pesan nasi goreng."

"Baiklah. Tunggu sebentar."

Kanna berjalan melewati pintu gorden yang dia gunakan untuk masuk. 5 menit berlalu dan pesananku sudah tiba. Cukup cepat. Mungkin karena tidak ada pengunjung lain selain diriku.

"Silahkan dinikmati."

"Terimakasih."

". . ."

". . ."

"Ehm. . ."

"Tak usah pikirkan aku. Silahkan dimakan."

"Apa kau akan duduk disana selagi aku makan?"

"Tentu. Aku adalah pegawai kafe ini. Tugasku adalah menjaga kasir."

Ingin kuteriak,'LALU KENAPA KAU TIDAK BERADA DI KASIR SAAT AKU MEMASUKI KAFE TADI?'.

Aku yakin aku telah memecahkan rekor berbicara terlama dengan sang ratu es yang sekarang duduk di hadapanku tanpa wajah berdosa sama sekali. Apakah dia tidak mengerti apa itu rasa canggung? Lelaki SMA manapun pasti akan salah tingkah ketika sedang makan dan dihadapannya terdapat gadis cantik dengan pandangan lurus kearahnya.

"Ba. . .Baiklah."

Aku menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutku. Sensasi nasi, telur dan rempah-repah lainnya menggelitik lidah. Menciptakan rasa yang dapat memuaskan lapar. Masakan ini sungguh lezat.

Namun. . .

Kelezatannya akan maksimal jika tidak ada pandangan dari gadis dihadapanku. Aku melihat sesuatu yang unik. Sesuatu yang belum pernah ku lihat pada Kanna di sekolah. Warna emosinya muncul. Dan warna tersebut adalah warna ungu, warna yang mewakili ketakutan atau kecemasan.

Dia cemas akan sesuatu? Ah, aku tahu. Dia cemas dengan rasa nasi gorengnya. Dia takut aku tidak menyukainya. Oke, saatnya mengeluarkan bakatku yang telah di cap sebagai anak baik dan sopan.

"Mmm. . . Ini enak sekali."

"Be. . .benarkah?"

Bagus, warna emosinya sudah menuju ke arah yang aku inginkan.

"Ibumu benar-benar pandai memasak."

". . ."

"Eh?"

Warna emosinya tiba-tiba berubah menjadi kemerahan. Kenapa? Kenapa dia tiba-tiba marah? Beri aku pencerahan, Dewi Athena!

"Aku yang membuat nasi goreng itu."

"O...Oh"

"Apa aku tidak terlihat seperti gadis yang tidak dapat memasak?"

"Yah, bagaimana yah? Hanya saja. . . Itu tidak pernah terpikirkan olehku."

"Oh, begitu."

Warna emosinya kembali putih. Dia tidak lagi menunjukkan ketertarikan pada komentarku. Tak lama setelah itu, dia bangkit dan pergi menuju pintu gorden. Kanna melihatku melewati bahunya.

"Tekan bel saja jika kau butuh sesuatu."

"Ba. . . Baiklah."

"Dan juga, ibuku telah meninggal."

Dadaku terasa disiram air es. Ah, pantas saja dia marah. Itu karena aku mengatakan sesuatu yang terlarang. Aku akan meminta maaf padanya nanti..

Aku menghabiskan nasi goreng ditemani oleh bunyi hujan yang menabrak atap. Ah, lezat sekali. Sudah kuduga tatapan Kanna adalah musuh besar bagi kelezatan nasi gorengnya.

Hujan pun berhenti tepat setelah aku selesai menghabiskan nasi goreng dan cappucinonya. Kutekan bel untuk membayar.

Kanna berdiri tepat di balik mesin kasir. Dia mengetik sesuatu dan muncul bilangan yang harus aku bayar di layar mesin. Totalnya 18 ribu. Yah, harga yang cukup murah untuk kualitas kafe yang nyaman dengan makanannya yang lezat.

Ketika aku menyerahkan uang, aku mencoba untuk meningkatkan kesan Kanna terhadapku.

"Kanna, maaf ucapanku tadi. . ."

"Yah, tidak apa-apa."

"Oh dan juga nasi gorengmu benar-benar lezat, Kanna."

"Terimakasih."

Tak ada reaksi apapun pada emosi Kanna. Aku mencoba sedikit lebih keras.

"Aku yakin kau memiliki guru masak yang hebat."

"Tidak, aku mempelajarinya sendiri."

"O. . .oh"

"Kenapa sulit sekali bagimu untuk mengakui bahwa aku bisa memasak? Dasar laki-laki tidak pekak"

"Hah?"

Dasar laki-laki tidak pekak. . . Apakah itu yang baru saja dia katakan? Haruskan aku memberitahunya bahwa mengucapkan frasa tersebut pada orang dengan kemampuan 'pewarna emosi' adalah kesalahan besar. Itu sama saja dengan mengatakan pengecut pada seekor singa, mengatakan rakyat jelata pada presiden, atau mengatakan tidak berpendidikan pada seorang professor.

Harga diriku berdemonstrasi. Menuntut pembalasan. Sabar teman. Aku tahu. Gadis ini butuh pelajaran tentang apa itu pekak yang sebenarnya. Kanna, bersiaplah untuk melihat lautan emosi yang akan kuciptakan untukmu. Akan kutarik seluruh emosi yang kau miliki sehingga gelar ratu es tanpa ekspresimu hancur berkeping-keping.

Dengan ketenangan yang telah ku kendalikan kembali. Aku menatap wajah cantik Kanna.

"Baiklah, aku akan datang lagi."

"Terimakasih atas kunjungannya."

Kanna mengatakan hal tersebut tanpa ekspresi, seperti biasa.

***