Ekspresi yang mengubahku

"Kanna, bagaimana kalau kita main tebak-tebakkan?"

"Aku tidak tertarik."

"Ayolah, sebentar saja."

"Haaa. . . Baiklah."

"Bagus, kalau begitu aku duluan."

"Silahkan."

"Hehe. . . Bersiplah tertawa, Kanna. Binatang. . . Binatang apa yang bisa nyanyi dangdut?"

"Hmm. . ."

Kanna meletakkan jari di dagunya. Gerakan tubuh orang sedang berpikir. Ini menarik, melihat dia merespon pada pertanyaanku adalah pencapaian yang luar biasa.

Aku memberinya waktu selama mungkin untuk menjawab. Tetapi 5 menit telah berlalu. Dia tidak mencoba memberikan satu jawaban pun atau menyerah untuk menjawab. Dasar, gadis yang sangat membingungkan. Baiklah, Agis yang baik hati ini akan memberitahumu jawabannya.

"Jawabannya adalah Cheetah. . . Cheetah Citata. Hahaha. . ."

". . ."

"Ha. . . Apa tebak-tebakannya tidak lucu?"

"Begitulah."

"Ah, kalau begitu apa kau bisa melakukannya lebih baik?"

"Akan kucoba."

"Aku menyimak."

Aku mengambil gelas berisi cappucino yang aku pesan sebelumnya. Menyeruput sedikit untuk menghibur lidah dengan rasa pahit dan manis cairan cappucino.

"Kopi. . . Kopi apa yang paling pahit sedunia? Kopilih dia dari pada aku"

"Pfffrrrrtttt. . ."

"Ah, tolong jangan membuat mejanya menjadi kotor."

Aku menyemburkan cappucinoku. benar-benar serangan tak terduga. Bukan karena lelucon recehnya. Tetapi karena kesalahan sistemasi yang dia lakukan.

"Kanna, bukan begitu cara bermain tebak-tebakkan. Kau harus membiarkan lawanmu berpikir sebelum memberi jawaban. Dan apa-apaan 'kopilih dia dari pada aku' itu? Aku tahu kau nyaseorang pegawai kafe, tapi tak kusangka kau menggunakan kata kopi untuk membuat tebak—tebakkan."

"Apakah benar-benar ada aturan formal ketika bermain tebak-tebakkan? Kurasa kau terlalu menganggapnya serius, Gis."

"Tentu saja ada. Apa kau pernah mendengar bahwa otak manusia berkembang ketika penasaran? Jika kau tidak memberikan rasa penasaran pada permainan tebak-tebakkan, maka permainan itu akan menjadi hambar."

"Dari awal aku memang tidak tertarik memainkannya."

"Tapi cobalah untuk serius sedikit."

Kanna berdiri dihadapanku. Mengelap meja dimana terdapat cipratan cappucino tersebar.

Ketika dia membungkukkan tubuhnya untuk mengelap. Aku dapat melihat beberapa pemandangan indah dari sosok yang bernama Kanna ini. Tengkuk lehernya, kulit lengannya, rambut yang terselip diantara  telinganya. Semuanya terlihat halus dan lembut. Seakan aku dapat berjungkat-jungkit diatasnya jika ukuranku sekecil antman. Ditambah lagi dia harum. Sial! Dia sangat seksi dengan posisi seperti itu.

Aku memalingkan pandanganku ke arah lain. Bahaya jika dia menyadari pandanganku yang sedikit bernafsu.

Beginilah kegiatanku setelah mendapatkan pelecehan harga diri dari kata-kata Kanna beberapa waktu lalu. Selama 2 bulan ini, aku mendatangi kafe Kanna 2-3 kali dalam seminggu. Aku melakukan berbagai cara untuk membuat Kanna berekspresi.

Aku pernah menceritakan kisah horror untuk mengeluarkan emosi ketakutannya. Kemudian menceritakan kisah penembakan di New Zealand untuk memancing emosi kemarahannya. Dan menceritakan kisah kucingku yang meninggal untuk menarik emosi kesedihannya yang sialnya aku pun ikut sedih mengingat kisah terebut. Maafkan aku karena lupa memberimu makan saat itu, Pus!

Dari penelitianku, aku dapat mengatakan bahwa Kanna sebenarnya cukup sensitif. Dia dapat merespon ceritaku dengan emosi yang sesuai, namun dia hanya sedikit mengaplikasikannya dalam ekspresi. Seperti hanya mengangkat alis, mata yang menjadi sayu, melipat bibir ke dalam dan gerakan kecil lainnya. Tetapi itu membuktikan bahwa Kanna sebenarnya dapat berkekspresi. Kenapa dia menahan semua emosi itu?

Dan sekarang aku sedang mencoba menarik emosi berwarna kuning darinya. Kuning mewakili perasaan senang, lega dan terhibur. Cara yang terpikirkan olehku adalah dengan menggunakan humor. Merujuk pada pengalaman Dilan yang mendapatkan Milea hanya dengan gombalan-gombalan receh. Aku akhirnya mengumpulkan lelucon receh yang mungkin akan membuat Kanna tergelitik.

Sudah 30 menit aku melancarkan lelucon tetapi responnya tidak seperti yang diharapkan. Aku hampir menyerah. Aku mengeluarkan HP kemudian searching cerita lucu untuk mengisi kembali amunisi. Tetapi tak ada yang menarik.

Ah iya, ada satu cerita yang membuatku tertawa terbahak-bahak ketika masih SD. Tapi apakah cerita ini akan berpengaruh pada anak SMA. Yah tak ada salahnya mencoba.

Kanna sedang mengelap piring dan menyusunnya. Dia selalu melakukan tugas pembersihan ketika kafe sedang sepi.

"Kanna, aku punya cerita."

Dia melirik padaku sekilas dan kembali pada piring yang sedang di lapnya.

"Apakah itu cerita membosankan yang terus kau keluarkan seperti tadi."

"Erm. . . Tidak. Cerita ini berbeda."

". . .  Baiklah, akan kudengarkan."

"Oke, begini ceritanya. Pada suatu hari ada seorang pelukis yang ingin menggambar pemandangan. Dia mulai duduk diatas kursi. Anehnya, dia merasakan sesuatu yang basah dipantatnya saat menduduki kursi tersebut. Memeriksa apa itu. Dia mendapati cairan yang berasal dari botol bertuliskan 'cairan penumbuh rambut'. Dia rasa itu bukan masalah besar.

Namun keesokan harinya. Ketika dia sedang bercermin dengan cermin seukuran badan. Dia terkejut dengan apa yang muncul dipantatnya. Ya. PANTATNYA BERKUMIS. Sejak saat itu, pelukis tersebut dikenal sebagai 'pelukis pantat berkumis'."

Setelah selesai bercerita. Aku mengamati warna emosi Kanna. Namun tak ada perubahan. Sudah kuduga tak akan berhasil. Baiklah, aku menyerah. Kau menang hari ini Kanna. Akan kusiapkan cerita yang lebih ekstrim besok.

Ketika aku hendak mengeluarkan uang untuk membayar cappucino. Aku melihat Kanna sedang menutup mulutnya dengan piring. Bahunya gemetar. Suaranya tertahan. Ditambah emosi disekelilingnya berwarna kuning. Aneh. Orang yang melakukan tindakan seperti itu hanyalah orang yang sedang menahan. . . Tawa. . . Tunggu.

Kanna sedang menahan tawa!

Serius? Jadi cerita itu berefek padanya. Cerita yang bahkan akan membuat seorang stand up komedian mengakhiri karirnya. Cerita receh seperti itu. Eh. Tidak disangka. Baiklah kita coba sebutkan kata kunci dalam cerita tersebut.

"Kanna."

"Y...ya?"

"Pantat berkumis."

"Pfffttt. . ."

Kanna kembali menutup cepat mulutnya dengan piring. Yap, sesuai dugaanku. Dia tergelitik karena kata tersebut. Ini benar-benar penemuan besar. Aku yakin akan menerima penghargaan sebagai ilmuwan abad 22. Ilmuwan yang telah menemukan kata sakti untuk meruntuhkan topeng ratu es. Mari kita patenkan hipotesa yang telah terbentuk sekali lagi.

"Kanna."

"Gis. . . Kumohon hentikan."

"Pantat berkumis."

"Pfffttt. . ."

Kali ini dia menutup mulutnya sedikit lambat. Aku dapat melihat sekilas pemandangan tersebut. Pemandangan dimana ia tersenyum. Manis sekali. Hatiku berdetak cepat. Seakan baru saja ada yang menamparnya.

Dulu aku hanya ingin membalaskan dendam atas kalimat 'laki-laki tidak pekak' yang Kanna lontarkan padaku. Tapi saat ini. Aku terbius oleh senyum manisnya. Aku ingin menjaga senyuman itu. Aku ingin melindungi senyumnya dan mengembangbiakkannya. Aku ingin Kanna terus tersenyum.

Tanpa kusadari. Emosi berwarna merah muda menyelimuti diriku. Ini pertama kalinya aku dapat melihat emosi diriku sendiri. Ah begitu rupanya. Aku telah jatuh cinta. Jadi seperti ini rasanya. Tak heran jika sinarnya begitu kuat. Perasaan ini, tidak buruk juga.

Aku membayar minumanku. Kanna tetap menutup mulutnya dengan piring ketika menerima uangku. Tak apalah. Dia tetap manis dengan polah seperti itu.

Aku meninggalkan kafe dengan perasaan melayang-layang. Luar biasa. Maafkan aku telah meremehkanmu, emosi merah muda. Kau sangat luar biasa. Perasaan yang dulu aku benci kini sangat aku cintai. Ah, tak sabar rasanya bertemu Kanna besok. Kuharap dia akan meresponku ketika kuajak bicara di sekolah. Cepatlah kau tenggelam matahari sore yang indah!

(Keesokan harinya)

Kanna duduk disebelahku. Namun tak ada ekspresi disana. Dia sedang dalam mode 'ratu esnya'. Kupikir apa yang kulakukan kemarin dapat mengubah sedikit ekspresinya di sekolah. Kurasa harapanku terlalu tinggi.

Baiklah, akan kucoba berbicara dengannya. Teman sekelasku mungkin akan terkejut jika mereka melihat tindakanku. 'si introvert mencoba merayu ratu es'. Itu pasti menjadi tranding topic koran sekolah.

"Selamat pagi, Kanna."

"Tolong jangan bicara denganku lagi!"

Eh. . .? Ada apa ini? Kenapa dia tidak ingin berbicara denganku?

Tapi kau tidak dapat membohongiku Kanna. Meskipun kau berkata seperti itu, aku mengetahui apa yang sedang kau rasakan. Emosi berwarna biru menggeliat lincah dalam pandanganku. Pasti ada alasan dibalik tindakan tidak masuk akalmu ini.

***