"Kau tahu Kanna."
". . ."
Aku seperti berbicara terhadap diriku sendiri. Bersandar pada meja panjang kasir sebari sesekali menyeruput cappucino. Meskipun di dalam kafe ada juga Kanna yang sedang mengelap meja di belakangku. Sejak tadi, dia tidak berkomentar apapun.
Aku mencoba berbicara dengannya selama berada di sekolah. Tetapi dia terus menghindariku. Akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengannya di kafe ini. Tapi sekali lagi, dia tidak menghiraukanku.
Ah, sudahlah. Aku hanya ingin mengatakan apa yang ingin kukatakan. Masalah masuk atau tidaknya kata-kataku ke dalam lorong kupingnya, itu terserah dia.
"Aku tahu kau menahan emosi dan ekspresimu selama ini."
". . ."
"Jadi aku mencoba untuk membebaskanmu. Membuatmu berekspresi."
". . ."
"Dari semua usaha yang telah aku lakukan, akhirnya aku menemukan satu ekspresi yang seharusnya menghiasai wajahmu setiap saat, Kanna."
". . ."
"Senyummu. Kau harus terus menjaganya."
". . ."
"Karena senyum itulah yang membuatku jatuh cinta kepadamu."
Ya, aku menembaknya. Tanpa melihat wajahnya. Aku lelah dengan semua cara halus yang selama ini aku gunakan untuk membuatnya bereaksi. Dan kemarin aku menyadari diriku jatuh cinta pada gadis ini. Jadi ini seperti kartu As-ku. Jika dia tetap tidak bereaksi maka aku akan menyerah sepenuhnya.
Aku tak tahu emosi atau ekspresi apa yang sedang dibuatnya. Apa dia terkejut? Mungkin saja. Aku tak berani memutar tubuhku dan melihat matanya secara langsung. Aku menunggu respon darinya. Ini adalah prinsipku saat ini.
Prang!
"Kanna?"
Aku membuang prinsipku yang kubuat 5 detik lalu untuk tidak berbalik setelah mendengar bunyi membahayakan.
Aku melihat vas kaca yang yang biasa menghiasi meja kafe terjatuh dan pecah. Mungkin Kanna memindahkannya ke sisi meja ketika membersihkannya dan tak sengaja menyeggol benda penampung bunga itu.
Kanna berjongkok untuk mengambil serpihan vas kaca.
"Ouch!"
Serpihan tersebut melukai jari Kanna. Darah segar mengalir keluar dari jari rampingnya.
"Kanna, kau tidak apa-apa? Eh. . . Tisu,, tisu, tisu dan juga obat merah. Kanna, katakan dimana kotak P3K-nya?"
". . ."
"Argh. . . Kau masih bersikap keras kepala disaat seperti ini? Baiklah, kalau begitu aku juga akan bersikap egois."
Aku berjalan ke arah Kanna, menarik tangannya. Kemudian aku melakukan pertolongan pertama pada luka kecil menggunakan tisu saset yang selalu ku bawa kemana-mana.
"Kenapa?"
Itu adalah kata pertama yang keluar darinya hari ini.
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kau tetap mendekatiku meski aku memintamu untuk berhenti berbicara denganku?"
"Bukankah sudah kukatakan tadi. Itu karena aku jatuh cinta padamu."
"Kenapa kau jatuh cinta padaku?"
"Entahlah. Perasaan itu masuk tanpa izin kedalam diriku beberapa waktu lalu."
"Blush. . ."
Wajah Kanna tiba-tiba memerah. Wah, pemandangan yang indah. Kanna yang malu-malu. Aku harus berterimakasih pada master percintaan yang mampu meberikanku ilham dalam menjawab pertanyaan kanna dengan cepat. Terimakasih Master Dilan!
Kami berdua membersihkan serpihan kacanya dan saat ini duduk bersebelahan di depan meja kasir. Rasa canggung benar-benar menguasai kami saat ini. Aku mencoba membuka percakapan terlebih dahulu.
"Jadi. . . Kenapa kau memintaku untuk tidak lagi berbicara denganmu?"
"Karena kau akan membuatku berekspresi."
"Apa itu salah?"
"Ayahku benci saat melihatku berekspresi. Dia bahkan marah ketika melihatku tertawa kemarin."
"Eh. . ? Kenapa ayahmu tidak suka dengan dirimu yang berekspresi."
Kanna menggenggam tangannya. Emosi berwarna biru mulai bermunculan.
"Ibuku adalah seorang aktris. Namun ketika aku berumur 10 tahun, dia meninggal. Semenjak itu, ayahku tidak senang ketika aku menampilkan berbagai macam ekspresi. Dia akan selalu berkata,'berhenti memperlihatkan wajah yang mirip dengan ibumu!'.
Ayahku pria yang baik. Aku sangat menyayanginya, aku tak ingin membuatnya sedih. Jadi demi ayahku, aku mengurung emosi dan ekspresiku sampai sekarang."
"Ah, maaf. Aku tak tahu kau memiliki masa lalu seperti itu."
". . . Tak apa. Aku pun terkadang merindukan saat-saat dimana aku dapat melepaskan perasaan ini. Jadi. . . Terimakasih, Gis."
Kanna tersenyum padaku. Senyum yang tulus dan sempurna. Seakan keindahan seluruh alam semesta berkumpul pada bibir yang melengkung itu. Ah, aku dapat melihatnya. Warna merah muda mengelilingi kami. Ternyata begitu. Kami saling mencintai ruapanya. Berarti aku tidak boleh ragu-ragu dalam menambil tindakan demi orang yang mencintaiku. Dengan semangat membara, aku menatap Kanna.
"Kanna, sudah kuputuskan."
"Eh?"
"Aku akan berbicara pada ayahmu."
***
Aku membuktikan cintaku pada Kanna dihadapan ayahnya.
Awalnya kami berdebat hebat, tetapi akhirnya aku dapat meluluhkan hati sang ayah dengan kemampuan kata-kata yang telah kuasah dengan baik.
"Tidakkah kau ingin melihat Kanna bahagia?"
Ayah Kanna seketika mematung bagaikan terkena sihir tatapan medusa. Dia berdiri dan meninggalkan kami. Namun sebelum benar-benar menghilang dari pandangan kami, dia berkata dengan suara yang lebih halus dan lembut.
"Terserah kalian saja."
Kuanggap itu merupakan restu dari ayahnya bahwa aku diizinkan untuk mencitai Kanna.
Kanna yang duduk di sampingku terlihat sangat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Mungkin dia merasakan sensasi tokoh utama dalam sinetron alay dimana sang kekasih mengorbankan segalanya demi menunjukkan bukti cinta pada calon mertuanya. Yah, aku pun merasa seperti pahlawan saat ini.
Dia memandangku dengan mata jernih dimana pantai pasir putih pun tak dapat mengalahkan kejernihan matanya.
"Aku tidak pernah melihat ayah seperti itu. Mungkin ini pertanda baik."
Dan begitulah, akhirnya kami resmi menjadi sepasang kekasih.
***
(Satu bulan kemudian)
"Kemarin ayah mengajakku ke taman hiburan. Hahaha. . . Tak kusangka dia akan menjerit keras saat menaiki roler coaster."
"Yah, kau tahu'kan. Terkadang laki-laki menyembunyikan kelemahan mereka diahadapan wanita."
"Hehe. . . Ya, persis seperti dirimu, Gis."
"A. . . Aku tidak seperti itu."
"Lihat, kau mengelak. Bukankah itu berarti kau berusaha menyembunyikan kelemahanmu?"
"Erm. . . Uh. . ."
Aku menyeruput cappucino untuk menghindari percakapan yang menyudutkan ini. Sedangkan pacarku yang cantik ini tertawa dihadapanku sebari mengelap gelas.
Kanna menjadi lebih dekat dengan ayahnya. Dia tidak lagi dimarahi karena berkespresi. Sang ayah telah mengubah cara pandangnya sehingga dia kini mencintai ekspresi Kanna.
"Agis."
"Hm?"
"Bagaimana caraku berterima kasih padamu."
"berterimakasih untuk apa?"
"Kau mengubah ayah dan membebaskanku untuk berekspresi. Aku merasa menjadi orang jahat jika tidak dapat mengembalikan kebaikanmu."
Aku melihat Kanna yang wajahnya memerah. Dia berusaha mengucapkan kalimat tersebut meskipun itu membuatnya malu. Ah, sungguh tindakan yang manis. Aku berpikir sejenak. Kemudian aku mendapatkan ide.
"Oke. Mendekatlah! akan kubisikkan apa yang dapat kau lakukan untuk membalas kebaikanku."
Kanna memajukan tubuhnya. Aku mendekatkan mulutku pada kuping Kanna. Tetapi bukan itu yang aku tuju. Melainkan hal yang lain. Aku menekankan bibirku pada pipinya. Kanna terkejut dan melompat mundur sebari memegang pipi dimana bibirku singgah tadi.
Kali ini wajahnya terbakar hebat.
"Agis. . . Apa mak. . ."
Aku tersenyum geli melihat polahnya. Sebelum dia memprotes tindakanku. Aku memberikan jawaban atas pertanyaan Kanna sebelumnya.
"Cukup menjadi dirimu sendiri. Dirimu yang aku cintai."