Wajah itu muncul dari balik pintu. Dengan secangkir teh ditangannya. Aku tidak tertarik untuk menyambutnya. Tidak seperti Genduk yang dengan segera bangkit dan menyambutnya dengan sangat antusias, aku membuang muka untuk tidak melihat wajah yang memuakkan.
Tangannya mengulur secangkir teh kepadaku. Aku tetap tidak mempedulikannya. Melihat situasi yang mungkin dapat memburuk, Genduk segera meraih cangkir teh itu dan menaruhnya di meja teh disebelahku duduk.
"Silahkan, Mevrouw." ucap Genduk dengan sopan yang dibuat-buat.
Dia segera beralih ke Daniel dan mencoba meraih tangan Daniel. Tapi sayangnya Daniel hanya melewatinya begitu saja dan segera duduk di tempat yang sebelumnya diduduki oleh Genduk.
Raut kecewa segera sirna dari wajah Genduk. Dia tetap menampilkan senyum sempurna. Aku belum pernah melihat wanita seperti itu. Disaat dia sudah diabaikan, dia masih saja tersenyum dan terus berusaha untuk tampak menggoda. Genduk segera bersimbuh di kaki Daniel, begitu Daniel duduk.
Tangannya yang sudah ditolak oleh Daniel saat berusaha meraih lengan Daniel, tidak menyerah. Dia menggosok-gosokkan telapaknya di paha Daniel.
"Kau sudah sampai Surakarta. Kau senang?" tanya Daniel dengan nada cemooh.
Aku tidak tahu maksudnya membawaku kemari. Tapi yang jelas bukan untuk memberikanku kepada Aryo. Bisa jadi dia merencanakan sesuatu yang buruk.
Aku mengabaikannya. Aku tidak ingin menanggapinya.
Daniel meminta Genduk menjauhinya dengan menggunakan kakinya dan segera menggeser kursinya untuk tepat berada di hadapanku. Aku menarik tubuhku mundur, hingga bersandar ke kursiku.
"Kau... benar-benar sok." ucapnya kesal. "Tapi aku sudah merasakanmu." bisiknya di telingaku lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kau tahu, kau sangat nikmat. Aku benar-benar menginginkannya lagi.." imbuhnya
Dia sungguh tidak waras. Aku menutup mataku. Tanganku bergetar menahan marah. Air mataku berasa akan tumpah. Aku menahannya hingga terasa sesak dadaku.
Tubuhku kaku saat dia mulai menjilat telingaku dan kemudian beralih ke wajahku.
Sial! Dia sungguh menjijikkan. Dia mengunciku sehingga aku sulit untuk menghindarinya. Dia merapatkan cengkeramannya pada lenganku.
"Daniel cukup!" seruku
Aku tidak menyadari sejak kapan Genduk beringsut kembali mendekati kaki Daniel Tangannya tidak lagi berada di paha Daniel, melainkan lebih jauh.
Sialan wanita ini. Dia membangunkan sesuatu yang harunsnya dipadamkan. Wanita laknat! umpatku dalam hati.
Satu yang pasti, aku sungguh tidak dapat menanggung akibatnya. Aku tidak ingin pingsan dan mengalami hal buruk itu lagi.
"Aaargghhh... " Daniel menggerang menahan hasratnya.
Genduk dengan tanpa menyerah terus memainkan tangannya yang mungil.
"Kau!... Aku menginginkanmu lagi." ujarnya kepadaku.
"Daniel, lepaskan aku!"
Apa-apaan wanita ini? Genduk sialan ini justru memperburuk keadaan. Dia membuat Daniel semakin terangsang.
"Daniel! Tidak!" seruku ketika dia menarik tanganku dan membopong tubuhku diatas pundaknya.
Tiba-tiba aku teringat apa yang sudah dia lakukan padaku. Aku berusaha berontak semampuku, hingga kepalaku terasa berputar, perutku terasa bergolak. Aku mual sangat hebat. Begitu Daniel menghempaskan tubuhku diatas ranjang, segera saja seluruh isi perutku tumpah.
Ya, aku muntah!
"Sialan!" serunya menarik dirinya menjauh dariku. "Wanita brengsek! Kau pasti sengaja!"
Dengan sangat kasar Daniel menendang kakiku.
Aku masih dapat melihat Genduk yang mengikuti kami, melihatku dengan pandangan iba.
"Bitch!" umpat Daniel
Sebelum aku tutup mataku, aku lihat Daniel menarik lengan Genduk dengan kasar dan membawanya keluar dari kamar itu. Akhirnya aku menutup mataku. Aku butuh istirahat. Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak peduli dengan kekacauan yang sudah kubuat. Aku tidak peduli dengan bau yang timbul dari muntahku. Aku hanya ingin menutup mataku, mengistirahatkan pikiranku. Aku lelah.
Dua hari kami berada di Surakarta. Sore sebelumnya Dhayu membawakan bungkusan gaun yang baru dipesan dari Batavia oleh Daniel. Gaun berwarna merah satin, tampak begitu mewah dan elegan. Dengan seperangkat perhiasaan yang bermata senada dengan gaun itu, semuanya tampak indah.
Tapi semua itu tidak dapat membuatku tersenyum. Daniel hanya berpesan bahwa pagi ini dia akan membawaku ke Keraton untuk bertemu dengan penguasa setempat.
Sejak pagi dua orang pelayang sudah menunggu di luar kamarku bahkan sebelum aku bangun. Mereka segera menyiapkan diriku sesuai perintah Daniel.
"Noni sangat cantik. Warna gaun Noni sangat sesuai dengan Noni." kata Dhayu, setelah kedua pelayan itu selesai mendadaniku.
"Waaahhhh... Mevrouw memang sangat luar biasa. Mevrouw cantik sekali." ujar Genduk yang tiba-tiba masuk kedalam kamarku. "Mevrouw, Tuan Meniir sudah menunggu didepan." sambungnya sambil berusaha bersikap sopan yang sangat berlebihan.
Walaupun aku tidak terlalu menyukai perempuan seperti Genduk, tapi dalam kondidiku saat ini, dia sangat membantu sekali. Paling tidak dia dapat mengalihkan perhatian Daniel. Dia dapat membantuku untuk lepas dari Daniel.
Aku berjalan pelan menuju ruang depan. Daniel sudah memakai pakaian resminya menunguku. Sesaat dia tampak tertegun melihatku, kemudian baru dia membuka suara, "Istriku memang sangat cantik." dengan nada hinaan.
Daniel meraih tanganku dan membimbingku masuk kedalam kereta yang sudah dipersiapkan.
Rumah kami tidak terlalu jauh dari Keraton. Dalam perjalanan tidak sekalipun aku melihat kearah Daniel. Sedang Daniel memandangiku dengan pandangan yang sangat menjijikkan. Pandangan rakus, yang penuh birahi.
Dia beberapa kali meletakkan tangannya diatas pangkuanku dan segera saja kusingkirkan.
"Kau saja kamu tidak secantik ini, mungkin sudah kulempar keluar tubuhmu." ucapnya.
Lempar saja! jawabku dalam hati. Mungkin malah justru itu akan lebih menyenangkan daripada harus bersebelahan dengan pria brengsek macam dia.
Ini adalah pertama kalinya aku memasuki Keraton. Bangunan itu mirip dengan rumah Aryo, hanya ini jauh lebih besar dan lebih megah. Ada sepasukan yang menyambut kami saat memasuki halamannya. Seorang pria yang sudah cukup berumur maju menyambut kami. Dia memakai tutup kepala yang lebih aneh. Bukan seperti yang biasa dipakai Aryo. Pakaiannyapun lebih rumit daripada yang digunakan Aryo. Pasti dia memiliki pangkat yang lebih tinggi dari Aryo. Kami dibawa ke sebuah ruangan yang terbuka. Sudah banyak orang disana begitu kami memasuki ruangan. Aku masih berjalan disebelah Daniel. Aku tidak tertarik dengan pertemuan-pertemuan seperti ini. Apalagi aku masih merasa pusing. Aku segera saja menjatuhkan tubuhku ke kursi terdekat.
Daniel melihatku tidak senang dan segera menarikku untuk tetap berada didekatnya. Dan kami pun dipersilahkan untuk duduk di tempat yang bagiku sangat tidak nyaman. Kenapa? Karena posisinya benar-benar berada pada pusat perhatian. Aku tidak menyukai hal itu.
Daniel segera menarik kursi untuk mempersilahkanku duduk terlebih dahulu sebelum dia duduk.
Aku menjatuhkan pantatku dengan kesal. Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling. Ada beberapa orang yang pernah aku temui saat bersama Aryo. Dan yang lebih menarik adalah seorang wanita yang berdiri agak jauh dibelakang para pria, dia adalah salah satu istri Aryo, Mashita.
Dimana Aryo? Aryo pasti juga ada disini.
Aku kembali melihat sekeliling untuk memastikan melihat semua orang yang hadir.
Tidak ada!
Dimana dia?
"Apa yang kau cari?" tanya Daniel tiba-tiba.
Daniel sialan, aku benar-benar terkejut dibuatnya.
Aku tidak menjawabnya dan hanya memalingkan wajahku dengan kesal.
Seseorang yang tadi menyambut kami, berdiri dan berkata kepada para tamu,
"Saya mewakili Ayahandaku menyambut utusan dari Batavia, Tuan de Bollan."
Dia mengangkat gelasnya dan mengajak yang lain melakukan hal sama.
Apakah disini juga ada budaya bersulang?
Sepertinya pangeran itu suka sekali bersikap kebarat-baratan.
Daniel berdiri dan memberikan sambutannya dan di akhir dia memperkenalkanku sebagai istrinya.
Aku melihat kearah Mashita. Dia menatapku dengan penuh kebencian.
Dan tiba-tiba ada seseorang berdiri dihadapanku.