Ibunda Aryo berdiri dihadapanku. Wajahnya lebih tua berkali lipat daripada sebelumnya. Raut mukanya dipenuhi kesedihan. Tubuhnya yang mungil tampak semakin menyusut.
"Ibu..." tangisku seraya bersimpuh dihadapannya.
Kepalanya tetap tegak.
Apakah dia tidak ingin melihatku?
"Aku terkadang bimbang apakah yang dilakukan Aryo sudah benar? Apakah dia menjatuhkan pilihan dengan benar? Selama ini dia adalah anak yang dapat kuandalkan. Dia selalu lurus dalam berpikir dan bijak dalam memutus perkara. Dia mungkin masih muda, tapi banyak yang mengakui kemampuannya dan segan kepadanya." jelasnya.
"Ibu..." tangisku.
Aku tahu kemana arah bicaranya. Mungkin jika aku berada di posisinya, aku pun juga akan berpikir seperti dia.
Aryo adalah kebanggaannya. Kebanggaan keluarganya.
"Tapi mengenalmu, membuat dunianya jungkir balik. Aku bahkan terkadang seperti tidak mengenalnya." dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, "Sampai aku berpikir pelet apa yang sudah kau gunakan ke putraku? Apakah guna-guna dari negerimu begitu hebatnya, hingga semua upayaku gagal?"
Aku tidak paham apa yang dikatakan.
Pelet? Apa itu?
Guna-guna?
Apakah itu semacam sihir?
Apa ibu berpikir aku sudah melakukan sihir kepada Aryo?
Bahkan aku tidak pernah mempercayai hal-hal seperti itu dalam hidupku.
"Ibu... Aku.. Aku tidak melakukan apapun." tenggorokanku tercekat menahan sedih, marah dan kecewa yang bercampur aduk.
"Setiap hari aku harus memandang wajah suramnya." selanya. Suaranya masih tetap datar. Tapi aku tahu ada nada getir didalamnya. "Dadaku sakit melihatnya seperti kehilangan hidupnya. Aku pikir aku sudah membahagiakannya, dengan memberinya restu untuk menikahimu. Aku tidak pernah tahu bahwa kalian menikah tanpa sepengetahuan papamu."
Ibu melihatku dengan sorot marah. Kemudian segera mengalihkan pandangannya lagi.
"Ibu.. Aku... Tidak ada sihir ibu. Jika ada maka berarti aku pun juga sedang terkena sihir. Kami saling mencintai. Aku tidak pernah mau menikah dengan Daniel. Aku tidak hamil oleh Daniel.." jelasku dengan suara terisak. "Ini anak Aryo, ibu. Daniel tahu itu."
Ibu melihatku dengan tatapan tajam.
Apakah dia tidak mempercayaiku?
"Apa kau pikir kami akan percaya?" sela Mashita tiba-tiba. "Kau sudah bersama pria kompeni itu. Siapa tahu itu anak siapa dalam perutmu!" ucapnya pedas. "Dasar jalang tidak tahu malu!"
"Mashita!" seru ibu. "Jaga ucapanmu. Bagaimana jika Aryo mendengar kata-katamu?"
Kata-kata Mashita sangat menyakitkan. Aku tidak mungkin membahas tentang teori genetika dan konsepsi kepadanya. Aku juga tidak mungkin melakukan tes DNA untuk membuktikan bayi siapa ini.
Aku hanya bisa membuktikan saat anak ini memiliki kemiripan dengan Aryo.
Bagaimana jika dia hanya mirip denganku? Bagaimana jika gen ku lebih superior?
Tidak adakah jalan?
"Inggih ibunda, saya mohon maaf." timpal Mashita dengan menangkupkan kedua tangannya.
"Apa benar itu anak Aryo?" tanya ibu dengan nada tenang.
"Benar ibu. Daniel sudah mengetahui bahwa saya hamil anak Aryo. Dia sengaja ingin menyakiti kami." kataku dengan terisak
"Saya dinyatakan hamil saat kembali ke Batavia."
Aku berusaha mencari tahu yang tersirat dibalik wajah ibu yang selalu tampak berwibawa dan angkuh itu. Dia benar-benar gambaran seorang wanita bangsawan yang menjunjung tinggi harga dirinya.
"Dalam perjalanan saya pingsan. Jadi sesampai kami di Batavia, papa meminta dokter untuk memeriksaku." Aku kembali berhenti untuk melihat reaksinya. "Dokter yang menyatakan bahwa saya hamil..."
"Hmmm.." Ibu mengangguk-anggukkan kepalanya seakan sedang memahami sesuatu.
Prajurit yang tadi membawaku tiba-tiba menarik tubuhku kembali berdiri.
"Mevrouw kita harus segera kembali. Atau Heer de Bollan akan sangat marah." ucapnya dalam Bahasa Belanda.
"Kan me niet schelen!" bentakku (*Aku tidak peduli)
"Mevrouw.. ik smeek je alsjeblieft." (*saya mohon, tolonglah.)
"Ga weg!" seruku sambil melepaskan lenganku dari cengkeramannya.
Prajurit yang lain ikut maju untuk membantu memegang lenganku.
Aku terus berusaha melepaskan diri.
Ibu Aryo yang sebelumnya hanya diam melihatku meronta, kemudian mendekat dan berusaha membantuku.
"Apa kalian lupa, bahwa dia sedang hamil!" serunya. "Kalian bisa menyakitinya!"
Mashita kebingungan melihat ibu yang berusaha membantuku.
Ya, dia tidak menyukaiku sejak lama. Jadi kepergianku dari hidup Aryo tentu adalah yang terbaik.
Mashita tidak ingin membantuku. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Ibu Aryo begitu saja.
Setelah beberapa waktu Mashita ikut membantu kami.
Dua orang prajurit itu kualahan menghadapi kami.
Jika sebelumnya orang hanya melihat kami dari kejauhan tanpa mendekat, orang-orang mulai berkerumun didekat kami.
Aku terus meronta berharap kedua anak buah Daniel menyerah.
"Mevrouw... Jangan sampai kami berbuat kasar kepada Mevrouw." ucap salah seorang.
"Ada apa ini!" seruan itu menghentikan kami.
Aku terpaku di tempatku.