Salah satu aturan yang kuketahui adalah setelah kita bercinta, Aryo pasti akan membawaku untuk mandi. Seperti ritual mandi sebelumnya, ada urutan tertentu yang harus aku lakukan.
"Bagaimana mungkin kau memintaku untuk mandi lagi? Bukannya kau tahu, aku baru saja mandi. Bahkan kau datang saat aku sedang berendam." protesku.
Tapi tetap saja dia akan melakukan sesuai adatnya.
Dia semakin pandai merayu. Akhirnya aku terpaksa harus menurutinya.
"Pokoknya kalau aku sakit karena berkali-kali mandi, maka itu adalah salahmu!" runtukku kesal.
Dia dengan telaten mengeringkan air di tubuhku dengan handuk baru. Lalu menyisir dan mengeringkan rambutku dengan lembut.
"Apakah anak kita akan memiliki rambut secantik milikmu?"
"Aku malah ingin dia setampan dirimu." balasku. "Jadi kalau aku tidak bersamamu, aku akan cukup memandangnya sebagai pengobat rinduku."
Sisir itu terjatuh dari tangannya. Dipeluknya tubuhku dari belakang.
"Kata-katamu membuatku takut, Margaret."
Dibenamkan wajahnya dirambutku. Tangannya turun dari pundakku menuju perutku. Dibelainya perutku.
"Aku.... Sakit sekali dadaku saat aku tidak tahu bagaimana keadaanmu. Aku khawatir Daniel menyakitimu. Aku melihat luka-luka ditubuhmu."
Aku menelan ludahku. Aku bahkan sudah lupa dengan luka dan memar-memar di sekujur tubuhku.
"Katakan padaku..." pintanya dengan nada sedih. "Katakan apa yang sudah dilakukannya?"
"Aryo kau salah paham. Untuk luka-luka kali ini sama sekali bukan salah Daniel. Ini salahku sendiri. Ini semua terjadi saat aku kabur untuk mememuimu."
"Ya Tuhan, Margaret... Kau benar-benar menakutkan."
Aku hanya tersenyum memandangnya dari pantulan kaca di depanku.
"Dulu memang aku pernah membawamu kabur untuk menikah. Tapi aku yang membawamu. Aku memastikan keselamatanmu. Tapi kamu..."
Dibalikkan kursi yang kududuki agar menghadap kepadanya.
"... Kamu tidak boleh membahayakan dirimu... Dan anak kita." sambungnya. "Ini pertama kali dalam hidupku melihat wanita dengan kondisi hamil memanjat tembok setinggi itu. Aku pernah berada dalam suatu pertempuran. Tapi pemandangan yang kau sajikan benar-benar lebih menakutkan."
Aku hanya mengangguk menyetujuinya. Setelah rambutku benar-benar cukup kering, dia mengangkatku keatas ranjang.
Lagi? pikirku.
"Istirahatlah. Ik zal je vader ontmoeten."
(*aku akan menemui ayahmu)
Aku memandangnya keberatan. Aku tidak tahu apa yang hendak papa bicarakan dengannya. Papa seorang pedagang, tentunya dia akan meminta syarat sesuatu kepada Aryo. Aku tidak ingin Aryo ditekan dan dirugikan karenaku.
"Nee. Aku tidak capek. Aku akan ikut."
"Tapi..."
Aku menutup mulutnya dengan jari telunjukku.
"Jangan protes apapun!"
Papa berdiri di tepian dermaga.
Aku melambaikan tangan dan berteriak memanggilnya.
Dia menoleh dan segera berjalan kearahku.
"Kenapa kau mengajaknya?" protes Papa kepada Aryo.
Sebelum Aryo menjawab, aku segera memberitahu bahwa aku yang memaksa ikut.
"Margaret ini adalah urusan lelaki." tukas Papa.
"Papa, urusan apapun itu jika menyangkut Aryo maka itu adalah urusanmu juga!" tegasku.
Aryo memandangku tidak puas.
"Margaret jangan membantahku. Ini semua demi kebaikanmu."
"Jika itu demi kebaikanku, maka ijinkan aku ikut memutuskannya, apapun itu." desakku.
Papa masih tidak setuju, tapi aku tidak menyerah begitu saja.
"Kau lihat betapa keras kepalanya dia." kata Papa kepada Aryo. "Mijn beste Margaret, Aku bukan tidak menyetujui hubungan kalian...." jelasnya kemudian "Yaa... Memang awalnya demikian. Bagi kami inlanders baik di Hindia Timur ini maupun di tempat lain adalah bangsa inferior."
Melihat rahang Aryo yang mengeras, Papa buru-buru melanjutkan, "Jangan salah paham dulu. Tidak banyak wanita kami yang berlayar hingga negeri ini. Dan kalaupun ada para wanita yang dikirim kemari adalah orang-orang rendahan di negeri kami. Margaret masih seorang bangsawan. Walaupun aku tidak sekaya kebanyakan bangsawan, karena... Yaaah dulu banyak kesalahan yang kulakukan, hingga menyakiti ibu Margaret."
Aku dan Aryo hanya saling perpandangan. Aku tidak tahu kemana arah pembicaraan Papa sebenarnya.
"Setelah ibu Margaret meninggal, aku menikah lagi." suaranya mendadak berubah suram. "Dia ingin memanfaatkan kecantikan Margaret, dengan koneksi ya, dia menjodohkan Margaret dengan seorang Duke.. Semacam adiapati, disini atau lebih tinggi dari Yorkshire, Inggris. Margaret tidak setuju dan larilah dia kemari." Papa berhenti sejenak memandang kita berdua. Lalu dengan tangan menunjuk padaku, "Dia seorang pelarian." ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Tidak satupun dari aku maupun Aryo yang tertawa. Aku tidak tahu detail bagaimana gadis ini hingga sampai Indonesia.
Aryo memandangku dengan pandangan serius.
"Aku sudah memberi kalian kesempatan untuk bersama. Dan sekarang aku ingin...." Papa melihat kami berdua lalu terdiam.