"Papa!" "Meneer!" seru Aku dan Aryo bersamaan.
"Hij is Javaans!" seru ayah dengan jari mengarah ke Aryo.
"Nou en? Ik ben Nederlands!" sahutku balik "Papa aku mengandung anak Aryo. Apakah Papa sadar apa itu artinya?"
Aryo adalah Jawa dan aku orang Belanda. Lalu apa yang salah dengan itu semua? Perkawinan campur sangat biasa terjadi. Kenapa aku dan Aryo tidak bisa?
"Papa juga punya Nyai. Lalu kenapa aku tidak bisa menikah dengan Aryo?"
"Nyai... Ze is gewoon mijn minnares. Aku tidak pernah menikahinya."
"Apa artinya aku hanya tidak boleh menikah dengan Aryo tapi bisa hidup bersamanya sebagai gundiknya, begitu?"
Dulu itu adalah keinginanku. Aku tidak menyukai ikatan dalam bentuk apapun. Jika bukan karena Aryo, mungkin aku tidak akan pernah menikah seumur hidupku.
"Nee, Margaret!" "Margaret?!"
Papa dan Aryo berteriak bersamaan kepadaku.
Kenapa mereka marah? Jika Genduk dan Nyai Sinah bisa menjadi seorang gundik bagi laki-laki seperti Daniel dan Papa, lalu kenapa aku tidak bisa?
Aturan macam apa ini?
"Jangan merendahkan dirimu seperti itu. Kata-kata itu tidak pantas keluar dari mulutmu!" bentak Papa marah. "Je bent Nederlands. Ras kita lebih unggul dari ras manapun."
Aku menarik nafas panjang. Aku sudah lupa di dunia apa aku berada.
"Dan saat ini Daniel mau menerimamu. Dia tidak peduli kau hamil dengan siapa!" bentak Papa. "Aku takut kau akan disiksa lagi. Berhentilah menolaknya!"
"Papa!"
Aryo memandangiku dengan pandangan yang penuh rasa sakit.
"Margaret... Aku.."
"Dan kau.." katanya kepada Aryo. "Aku paham seperti apa Jawa. Kau anak tertua dikeluargamu. Kau menjadi penerus ayahmu. Semua urusan keluarga ada dipundakmu."
Papa berhenti sejenak untuk mengambil nafas. "Aku yakin posisimu sudah sangat sulit sekarang. Tekanan dari banyak pihak, bahkan keluargamu sendiri."
Papa memandang tajam Aryo. Rahang Aryo mengeras.
Aku lebih merasa bersalah kepadanya. Seandainya dulu aku tidak jatuh cinta dan terus merayunya. Ini semua tidak akan terjadi.
Ya, aku masih ingat isi diary itu sangat memilukan. Kupikir aku tidak akan sama dengan gadis van Jurrien. Ternyata lebih parah. Aku sudah menyakiti banyak orang.
Egois sekali jika aku terus mempertahankan keinginanku.
Tapi bagaimana dengan Aryo? Jika dia mau memperjuangkan hubungan kita, maka aku juga tidak akan menyerah.
"Meneer, bisakah saya bicara berdua dengan istri saya?" pinta Aryo kepada Papa.
Papa mempersilahkan dan segera pergi dari tempat itu.
"Aku akan menjemput bibimu. Mungkin saja kapalnya sudah berlabuh." kata Papa.
"Ja papa, ga je gang." jawabku.
Kupandangi wajah Aryo. Pria ini masih sangat muda. Tapi kesulitan hidup membuatnya tampak lebih dewasa daripada usianya.
Aryo memandangku dengan mata penuh cinta, sekaligus kepedihan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya lirih sambil menggenggam jemariku.
Harusnya aku yang bertanya seperti itu.
"Aku sudah menduga bahwa kebersamaanmu dengan Daniel tidak mudah. Terima kasih sudah menjaga kesucianmu hanya untukku."
Dia menarik tanganku dan menciuminya.
Jemariku basah oleh air matanya.
Tak pernah aku membayangkan pria sepertinya menangis.
"Kau pantas untuk mendapatkan yang terbaik. Aku bisa saja melarikanmu. Kita bisa saja pergi menjauh dari semuanya. Tapi negeriku menjadi taruhannya. Aku tak mampu se-egois itu. Akan banyak nyawa yang dikorbankan. Maafkan aku Margaret."