BAB 57. NYAI SINAH

Aryo kah yang dia maksud? Menculikku? Sepertinya justru aku yang meminta untuk dilarikan.

"Bibi sudah salah paham. Aku tidak pernah diculik."

"Tapi dalam surat Papamu..."

"Aku melarikan diri. Bukan diculik." selaku.

Mulutnya ternganga karena terkejut

"Margaret? Apa kau serius?"

Aku menganggukkan kepalaku.

"Jadi kau benar-benar menyukainya?"

"Aku mencintainya dan ini adalah anaknya." jawabku sambil menunjuk ke perutku.

"Ya Tuhan!" serunya sambil membuat tanda salib. "Kau pasti sudah diperdaya olehnya. Kau terlalu lugu, Margaret. Bagaimana mungkin kau lari dari perjodohanmu dengan Joseph dan justru bertemu penipu seperti itu."

"Bibi, aku rasa Bibi sudah salah paham. Aku mencintainya. Dia tidak pernah menipuku."

"Aah, keponakanku sayang, kau begitu muda dan lugu. Arme kleine meid." ujarnya sambil memelukku. "Inlander itu hanya memanfaatkanmu. Dia ingin mendapatkan kekuatan dengan menguasaimu."

Tidak sedikitpun gambaran itu cocok untuk Aryo. Aryo bukanlah sosok seperti itu.

"Bibi..." selaku.

"Cukup... Aku tahu kau akan membelanya. Anak ini akan tetap dengan nama keluarga van Jurrien. Kita tidak akan...."

"Bibi... Aku lelah. Aku ingin beristirahat. Aku yakin Bibi juga butuh istirahat setelah perjalanan sekian lama." selaku.

"Ya.. Ya... Tentu. Wanita hamil butuh banyak istirahat." sahutnya. "Ooh, Margie kecilku yang malang." ucapnya sambil mengelus pipiku sebelum aku meninggalkan kamarnya.

Apa yang sudah papa ceritakan, sehingga bibi berpikir bahwa ini semua salah Aryo.

Kenapa semakin runyam?

Papa harus memberi penjelasan padaku! batinku geram.

Sebelum makan malam, kita keluar dari rumah Aryo, menuju rumah Papa. Seorang wanita Jawa berkebaya hijau menyambut kami. Dia masih cukup muda untuk disebut Nyai. Tapi itulah dia, gundik Papa. Baru kali ini aku memperhatikannya dengan baik. Sebelumnya aku tidak pernah peduli dengan keberadaannya. Bagiku itu sama sekali bukan urusanku. Dan aku juga kurang suka dengan apa yang disebut "Ibu tiri". Tapi sepertinya Nyai Sinah bukanlah seperti ibu tiri- ibu tiri kejam yang ada di dongeng. Dia tahu betul posisinya. Ya, Papa tidak pernah menikahinya, secara hukum sehingga dia tidak memiliki hak apapun. Dia tak ubahnya seperti anjing piaraan. Nasibnya tidak lebih baik dariku.

"Nyai!" tegurku setelah makan malam

"Ya, Noni?"

"Apakah aku bisa bicara berdua denganmu?" tanyaku.

Dia menoleh meminta persetujuan Papa. Papa mengangguk kepadanya.

Kami berdua di teras ditemani oleh Dhayu yang kuminta untuk mengipasiku. Batavia terasa semakin panas sejak aku kembali dari Surakarta.

"Nyai, aku ingin meminta bantuanmu."

"Jika saya bisa akan saya lakukan, Noni?" jawabnya sambil menyesap tehnya.

"Kau pasti bisa." sahutku. "Besok bawa aku ke dukun yang pernah kau bawa kemari untuk mengobatiku waktu itu!" perintahku.

"Tapi... Itu.. Saya tidak tahu dimana dia tinggal. Seseorang yang mempernalkannya kepadaku saat itu...."

"Berarti kau cari siapapun yang memperkenalkanmu dan tanyakan kepadanya, dimana dukun itu tinggal. Aku akan kesana." selaku.

"Tapi kenapa Noni ingin menemuinya dan bagaimana Noni tahu soal dukun itu?"