Aku memandangnya tidak percaya. Sudah beberapa bulan kita menikah. Berulang kali dia mencoba memperkosaku dan gagal. Pasti bukan karena dia tidak mampu, tapi lebih mungkin karena dia masih punya nurani untuk tidak melakukannya.
"Aku sedang hamil." tukasku.
"Lalu apa masalahnya? Aku sama sekali tidak akan mengganggu anakmu."
"Batavia sangat panas. Aku suka... Suka tidur sendiri."
Daniel tidak menghiraukanku. Dia berlalu begitu saja. Aku berdiri atas balkon kamarku. Memandang perkebunan yang luas. Rumah ini berada di luar benteng. Sejak wabah malaria menyerang, Papa memilih untuk tinggal diluar benteng, di dekat perkebunan kopi miliknya.
Dulu aku tidak tahu dimana Nyai Sinah tinggal, tapi kini hampir setiap hari dia berada di rumah ini.
"Bagaimana kabarnya?"
"Mevrouw de Bollan, saya berhasil bertemu dengan orang yang juga mengenalnya." ujarnya bersemangat.
Kupikir kenapa tiba-tiba dia memanggilku seperti itu. Rupanya Daniel berada di belakangku.
"Siapa yang kau cari?" tanya Daniel menyela
Aku tidak ingin menjelaskan apapun kepadanya
"Bukan siapa-siapa."
"Dukun yang mengobati Noni."
Jawab aku dan Nyai Sinah bersamaan.
"Apa yang kau inginkan dari dia? Apa kau sakit?" tanya Daniel.
Nyai Sinah diam. Dia juga tidak paham kenapa aku ingin sekali bertemu dukun tua itu.
"Kita punya dokter yang hebat. Apa bagusnya seorang dukun?" sambung Daniel
Kalaupun aku menjelaskan, pasti aku akan dianggap gila. Lebih baik aku diam saja.
"Aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku baik-baik saja."
Sore itu Nyai Sinah mengajakku ke dalam benteng, ke tengah kota untuk bertemu dengan seseorang.
Daniel tidak mencegahku. Tapi tetap seperti biasa ada orang-orang suruhannya yang mengikutiku.
"Kita kemana?" tanyaku kepada Nyai Sinah.
Dia tidak menjelaskan secara rinci tentang siapa yang akan kutemui.
"Kenalan saya, Noni."
"Hmm..."
Aku mengangguk.
Kereta itu cukup cepat melaju. Jalanan yang tidak rata membuat perutku terasa diaduk.
"Coba pelan-pelan saja!" perintahku kepada kusir kereta.
"Iya, Noni. Maaf!" serunya menyahutiku.
Aku melihat keluar melalui jendela. Aku sampai di sisi kumuh dari Batavia. Rumah-rumah yang buruk di sepanjang jalan. Orang-orang yang bertelanjang dada. Anak-anak kecil yang tampak lusuh dan kotor.
"Daerah apa ini?"
"Dari sinilah kemungkinan malaria itu berasal, Noni." jawab Nyai Sinah. "Ini daerah paling miskin di Batavia. Disini tinggal para penduduk lokal yang bukan budak, tapi anak-anak mereka kadang dijual di rumah pelacuran atau menjadi gundik dan budak."
Suaranya meredup penuh kesedihan.
Apakah dia berasal dari sini juga?
"Keluargamu tinggal di sini?"
Dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Saya berasal dari jauh."
Suaranya semakin suram. Dia masih cukup muda. Bisa jadi hampir seusiaku. Tapi dia tampak dua puluh tahun lebih tua.
Kami sampai pada ujung kota hingga perbatasan. Nyai Sinah membawaku ke sebuah rumah tua yang lebih tepat disebut gubuk. Rumah itu seakan hampir roboh.
Seorang pria tua menyambut kami.
"Ini Noni-ku." kata Nyai Sinah memperkenalkan aku.
Aku mengulurkan tangan untuk menjabatnya. Dia tampak ragu-ragu menjabat tanganku. Digosok-gosokkan tangannya ke bajunya sebelum menyambut tanganku seakan tangannya penuh kotoran.
Aku tersenyum memandangnya.
"Kau datang dari jauh." katanya dalam bahasa yang tidak kukenal, yang segera diterjemahkan oleh Nyai Sinah.
Aku tidak tahu maksudnya tapi aku mengangguk.
"Jauh sekali.." katanya lagi.
Dia mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumahnya.
Dia menuangkan minuman untukku pada sebuah cangkir yang terbuat dari tanah liat. Air itu agak keruh. Aku ragu-ragu untuk meminumnya.
"Apa ini?" tanyaku
"Minum saja." katanya. "Itu akan baik untuk tubuhmu." imbuhnya.
"Aku mencari dukun wanita itu." kataku menegaskan. Aku tidak nyaman berlama-lama di tempat ini. Entah kenapa dadaku terasa sesak dan tubuhku menggigil.
"Minumlah." ulangnya lagi.
Pak tua itu tersenyum menunjukkan deretan giginya yang menguning dan tidak lagi utuh.
"Anak laki-laki itu akan dibawa pergi jauh." katanya.
Aku masih belum paham maksudnya.
Aku memegang cangkir itu. Menghirup aromanya membuatku teringat bau kayu-kayuan, dedaunan dan tanah yang bercampur menjadi satu.
"Minumlah.." Dia mengulanginya lagi, melihatku ragu-ragu.
Aku mengangkat cangkir itu dan meminumnya dalam sekali telan.
Ingin muntah rasanya. Ada rasa pahit, manis asam yang bercampur, lalu hangat. Ya, tubuhku menjadi lebih hangat.
"Dia wanita ceroboh." katanya kemudian. "Dia pergi ke gunung dan belum kembali hingga sekarang." jelasnya. "Rumahnya ada di desa sebelah. Rumah paling ujung dekat hutan. Jika kau masih ingin kesana."
Orang tua ini benar-benar menyebalkan. Kenapa tidak sejak awal dia memberitahu kami, sehingga kami tak perlu berlama-lama di rumahnya.
Aku bangkit dari tempatku duduk.
"Tunggu!" serunya ketika aku melangkah ke arah pintu. "Ini adalah kesalahan kau ada disini. Kau ingin kembali?"
Aku menatapnya tajam.
"Tidak lama lagi. Hanya hitungan bulan. Tunggu saja."