Mission: Day 1

Aku menyuruh Justin dan Will ke pintu masuk eternal paradox. Aku menugaskan mereka karena mereka udah senior. Jadi, aku bisa yakin mereka akan melakukan tugas dengan baik.

Aku, Isla, Avery, Rick diantar oleh Pak Jack ke halte bus di dekat kebun teh.

Pak Jack menunggu hingga kami masuk ke bis.

Kami menuju kota di selatan negeri. Kami telah melewati gedung tertinggi.

Kami sempat melihat kedua orang itu sedang sibuk sendiri. Mungkin mereka memasang perangkap atau detektor.

Kami turun di stasiun terakhir.

"Kemana kita harus pergi?" tanya Isla.

"Di peta menunjuk ke gubuk di tengah hutan," Avery terus mengamati peta.

"Dan dimana hutan itu?" Rick bertanya dengan malas.

"Setauku, hutan berjarak 7km lagi," jawabku.

"Ya," Avery mengangguk.

Isla dan Rick melongo, mereka hanya bisa mendesah kesal.

Kami berjalan di trotoar. Sudah jarang mobil atau kendaraan lain yang melintasi jalan ini. Paling hanya truk pembawa barang atau minyak hasil pertambangan di bagian timur.

Hutan lebih sepi lagi.

Kesannya seperti sudah malam.

Yang bisa kurasakan hanya dingin, takut, dan kehangatan karena Isla sejak tadi memelukku.

Kami berhenti ketika sudah di tengah hutan.

"Dimana rumah itu?" Rick memberengut.

"Aku tidak tau," Avery terus memandang peta dan sekeliling berkali-kali. "Seharusnya ada di sini."

"Ah..." Isla menghempaskan diri duduk di bonggol kayu.

"Kita harus istirahat di sini," ucapku. "Kita tidak bisa lanjut karena ini sudah tengah hutan dan tujuan di tengah hutan pula."

"Tapi-" Avery hendak membantah.

Aku tau apa yang dia khawatirkan. Jangka waktu misi ini bisa dibilang amat mendesak. Ini h-5.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan, Avery," Aku menjelaskan. "Kita tidak bisa pergi. Kita tidak tau apakah kita bisa kembali ke sini atau tidak. Aku tidak mau mengambil resiko."

Avery mengangguk pasrah.

__________________________________

24.00

Grak...

Suara bising itu membuatku dan Isla terbangun serentak.

Suara itu amat memekakkan telinga.

Kami keluar membawa senter dan menyorotkan cahayanya ke arah sumber suara.

Tepat di jantung hutan, terbangun pagar tinggi dari pepohonan dan sulur-sulur. 2 orang yang bertudung hitam berdiri tegap.

Aku bisa merasakan bahwa mata legam mereka memandang kami dengan datar.

Avery dan Rick keluar dari tenda mereka.

"Kalian telah datang, Pengelana," ucap mereka. "Banyak half-blood bertemu dengan master, bodoh..."

"Dia bilang kita bodoh?" bisik Isla.

"Yang bisa menemuinya hanya orang terpilih," ucap yang kanan. "Sia-sia mereka berjuang. Master tidak akan terpana oleh janji omong kosong para half-blood."

"Pergilah!" usir yang kiri. "Pergilah, Wahai! Aku jamin kalian tidak dapat memikat master!"

Ketika Isla sudah panik dan Rick seolah siap melarikan diri, walaupun ditahan oleh Avery yang masih memandang mereka waspada.

"Kenapa kalau master tidak terpikat oleh kami, huh?" Aku menyesali nada ucapanku yang terdengar menantang.

Kedua orang itu memandangku tajam, dingin. Layaknya predator yang kelaparan dan melihat mangsa yang lemah.

"Bilang pada mastermu! Aku tidak peduli apa dia tierpikat oleh kami atau tidak!" Aku menyipit ketika bilah pisau tampak mengkilat. "Kami akan menemuinya sebagai utusan dari para kebajikan dan dosa yang membutuhkan bantuannya."

"Master tidak menerima tamu..." Nada mengancam itu terdengar amat menakutkan di telingaku. "Pergilah! Master tidak ingin diganggu oleh siapapun!"

"Begitu?" Aku mendengus. "Kalau begitu, bilang pada mastermu! Kami akan pergi!"

"Ha-?!" Avery terkejut.

Isla dan Rick memandangku bingung dan panik. Mereka masih ketakutan dengan datangnya 2 orang itu.

"Half-blood selalu sama saja," cemoohnya. "Tak punya tekad yang kuat. Memalukan."

"Tapi bilang padanya!" Seruanku cukup untuk membuat mereka kembali memandangku. "Kalau dia memang seorang pemimpin, Leader of Paradox, dia tidak akan meninggalkan rakyatnya dalam kebingungan dan kegelisahan karena ancaman yang besar."

Suasana hening.

"Kalau dia mengabaikan itu, maka dia bukan pemimpin yang patut dielukan oleh semua orang," lanjutku. "Dia cuma pengecut."

Aku bisa mendnegar desingan pisau dan jeritan Isla yang terdengar panik dan takut.

Pisau itu tertahan di udara dan hancur menjadi debu oleh api ungu kehitaman yang terlihat mengancam.

Aku bisa mendengar nafas tertahan dari Rick dan desahan lega dari Avery.

"M-master?" Yang kiri tampak ketakutan.

"Maaf, nih, Tuan-tuan yang terhormat," Aku menyeringai licik. "Tapi, sepertinya ayah lagi marah saat ini."

"A-ayah?" Yang kanan memandangku. "Kamu anak master yang baru diakui?"

"Aku?" Aku tersenyum. "Aku Azalea, hanya Azalea. Anak dari orang tuaku. Bukan anak siapa-siapa."

Mereka melemparkan kepingan tidak simetris dari perak murni.

"Hm?" Aku kebingungan.

"Ambillah, kumpulkan 2 kepingan lainnya," jelas yang kanan. "Satukan dan letakkan di tempat pintu masuk ke Last Place of Soul."

Aku mengambilnya dan menyerahkannya ke Avery yang langsung menyimpannya di ransel.

"Senang bertemu dengan anda, Nona," Mereka membungkuk. "Anda sangat berbeda. Kami menunggu anda di Last Place of Soul."

Mereka berubah menjadi asap, membumbung dan lenyap di gelapnya malam.

"1 potongan dapat," kekehku. "Kerja bagus, Temanku."

Isla memelukku.

"Thanks, Necromancer," Ia tampak ketakutan. "Kupikir kamu akan mati."

"Kerja bagus, Leader," Avery tersenyum dan memberiku hormat.

"I'm glad you still alive," Rick tampak seolah hendak menangis. "I think you will be die."

Aku terkekeh dan menepuk bahu mereka untuk menenangkan.

"It's ok, guys," tawaku. "Don't cry, Isla. Kembali ke tenda kalian dan ayo kembali tidur. Good night, guys. Have a good dream."

Kami kembali ke tenda.

Aku tau. Tidak semua tantangan akan mudah seperti ini.

Aku tau, tapi aku tidak siap.