Mission: Day 5

Rupanya waktu sudah menunjukkan tengah malam ketika kami tiba di kastil ayahku, Eternal Castle.

Pintu tertutup rapat.

Kami duduk berhadapan. Rick yang duduk di sebelahku sedari tadi bergerak-gerak gugup.

Perapian mengobarkan api ungu. Chandelier menyala sejak tadi. Ayah menyikirkan buku-buku dan arsipnya dari meja agar dapat memandang kami dengan lebih jelas.

"Mengapa ayah tidak mau datang di rapat?" tanyaku.

Ayah terkekeh dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia tampak lebih santai ketimbang tadi, saat aku dan Rick baru saja masuk.

"Urusanku di Last Place of Soul ini masih amat banyak, Sayang," Ayah tersenyum simpul.

Satu senyuman itu membuat kegelisahanku dan Rick berkurang. Senyumannya bukan senyuman yang ia tunjukkan ke Strength dan Lucifer, sebagai penguasa. Tapi, senyuman tulus sebagai seorang ayah.

Aku menyukai senyuman ramahnya.

Ia jauh berbeda dengan Chad yang selalu tersenyum pongah, kemudian ditiru oleh anak mereka, Bella.

"Last place of soul adalah tempat bagi tukang sihir setelah mati," jelas ayah. "Segala jenis sihir. Spellcaster, summoner, alchemist, atau bahkan cabang ilmu sihirku. Mereka semua akan dikurung di sini."

Aku dan Rick sekarang sadar. Penjara-penjara itu adalah tempat bagi setiap jiwa.

"Kenapa diletakkan berjauhan?" tanyaku.

"Sebesar apa tempat ini?" sahut Rick.

"Sebesar dunia kalian," jawab ayah. "Setiap cabang ilmu sihir punya tempatnya sendiri. Para penganut spellcaster akan ditempatkan di gua-gua, dijaga langsung oleh spellcaster itu sendiri. Penganutku akan diletakkan di dasar palung, diamati oleh Lucifer. Penganut summoner akan diletakkan di permukaan, dijaga oleh summoner. Kemudian, penganut alchemist akan diletakkan di dasar kawah gunung berapi dijaga oleh alchemist itu sendiri."

Itu artinya, ayah yang menyelesaikan segala hal di sini. Karena tugas Spellcaster, Lucifer, Alchemist, dan Summoner hanyalah menjaga dan mengamati.

"Tepat sebelum rapat, banyak yang melarikan diri," jelas ayah. "Tidak. Dibebaskan."

Rick terkesiap.

"Spellcaster, Lucifer, Summoner, dan Alchemist sudah mengecek mereka sebelum melapor," jelas ayah. "Itu artinya mereka dibebaskan ketika keempat roh itu melapor."

"Berapa yang kabur?" tanya Rick. "Maaf kalau itu pribadi."

"Nyaris 30 per bagian," jawab ayah. "Tapi, aku beruntung para pengikutku tidak ada yang kabur. Mereka yang paling berbahaya kalau sampai kabur."

"Apa karena itu ayah tidak datang?" tanyaku. "Apa cuma itu alasannya."

"Ada 1 lagi," Ayah menghela nafas berat.

"Mungkin, ini masalah yang lebih berat," pikirku sambil terus mendengarkan.

"Aku merasa ayah semakin kuat," lanjut ayah.

"A-ayah?" Aku mengernyit.

"Aku tidak mau bilang ini," desah ayah. "Ya, kakekmu. Witchcraft atau magic."

"Bukannya anda dan para roh besar sendiri yang menyegelnya terpisah?" tanya Rick, panik.

"Ya, saat itu ada campur tangan 3 saudaraku," Ayah mengadah.

"Saudara?!" jerit Rick. "Anda punya saudara? Bagaimana kami tidak tau?"

"Mereka bertiga meminta agar tidak dikenalkan secara luas," jelas ayah. "Tapi, mereka tetap memiliki anak Half-Blood. Hanya saja anak-anak mereka ada di kemah yang beda. Kemah Mezzosangue."

Rick mengangguk-angguk.

Iru artinya aku punya sepupu? Sepupu Half-blood! Aku senang sekali rasanya.

"Sebulan ini aku menemui mereka dan mengabari untuk mempersiapkan kemungkinan terburuknya," jelas ayah. "Kami sepakat akan memunculkan diri secara langsung jika tahun besok semakin runyam."

"Kalau begitu, bisakah ayah kembali ke eternal paradox dan membicarakan ini dengan para roh besar?" bujukku. "Bukankah semakin baik jika begitu?"

"Aku tidak mau mereka semakin kesulitan, Sayang," Ayah tersenyum sedih.

"Tapi, ayah beri tau atau tidak hasilnya akan sama," lanjutku. "Bahkan, lebih baik beri tau dan kalian dapat mempersiapkannya lebij cepat."

Rick hanya mengangguk.

"Akan kupikirkan," Ia menghela nafas. "Michaelis!"

Butler yang tadi mengantar kami masuk dan menunduk 90° kepada ayah dan aku, lalu membungkuk 45° kepada Rick.

"Bawa mereka ke kamar tamu," ucap ayah. "Biarkan istirahat. Bangunkan mereka kalau waktu daratan sudah menunjukkan waktu untuk sarapan."

"Daulat, Master," Ia mengantarku dan Rick ke kamar yang berbeda.

Ia mengantar Rick terlebih dahulu, baru mengantarku.

Kamar itu luas dengan bagian depan berisi sofa hitam berbantal ungu yang mengapit meja kaca bertaplak ungu dengan vas porselen. Lalu, ada pembatas ungu.

Tempat tidur itu luas berseprai ungu-hitam dengan kelambu ungu. Ada lemari hitam, rak-rak buku, pintu menuju kamar mandi di ujung, sofa panjang, sofa kecil dengan meja untuk membaca, meja rias, meja belajar(?) dan pintu menuju balkon.

Jendela melengkung indah dengan tirao hitam. Chandelier tampak sama mewahnya dengan chandelier yang berada di ruang kerja ayah. Di lemari kaca tampak miniatur-miniatur.

"Ini seperti kamar seseorang," gumamku.

"Master dulu bahagia sekali ketika anda lahir, Nona," jelas Michaelis. "Ia membuat kamar khusus untuk anda, berharap bahwa anda punya kesempatan untuk tinggal di sini. Saya pun merasa bahagia anda bisa tiba di sini."

"Kenapa begitu?" tanyaku bingung.

"Ibu anda dan suaminya membawamu dan anak fana mereka ke sini," jelas Michaelis. "Mereka mengancam akan memperlakukan anda semena-mena jika master terus berhubungan."

Tinjuku terkepal.

Chad...

Keluarga macam apa itu?! Tanpa ayah berhubungan denganku saja mereka sudah memperlakukanku seperti orang luar. Munafik!

"Master pasrah," Michaelis menghela nafas. "Beliau menutup pintu ini rapat-rapat, saat itu saya kira kamar ini tidak akan kedatangan pemiliknya. Tapi, saya salah. Anda datang kemari."

"Tapi, ayah terus berhubungan denganku," Aku menghadap ke arah Michaelis.

"Karena master tau bahwa anda sudah diperlakukan tidak hormat," jelas Michaelis. "Mereka tidak menepati janji. Maka master pun akan melanggar janjinya."

"Aku senang ayah datang," Aku terkekeh.

"Saya sering dikirim untuk menemui anda," ucap Michaelis. "Paman dan Bibi anda juga sering mengunjungi anda."

"Oh! Hewan-hewan itu!" Aku memekik.

"Ya," Michaelis mengangguk. "Saya berubah menjadi gagak. Tuan Demonisme berubah menjadi kucing hitam, Nyonya Curse berubah menjadi ular, dan Nyonya Animancy menjadi burung merpati."

"Aku ingin bertemu mereka," ujarku.

"Anda akan bertemu mereka, itu sudah menjadi takdir anda," Michaelis tersenyum. "Selamat berisitrahat, Nona. Saya akan datang lagi."

Pintu ditutup setelah Michaelis membungkuk.

Aku merebahkan diri setelah melempar ransel ke sofa dan meletakkan sepatu di rak, lalu menggunakan sandal kamar.

Aku tidak bisa tidur dan memilih membaca novel dalam kegelapan.

Pintu diketuk.

Aku melompat dan memakai sandal kamar, bergegas membukakan pintu.

Michaelis membawa troli berisi teko dan gelas-gelas. Ia juga membawa toples berisi madu(?) Terdapat tempat lilin dengan lilin menyala.

Ternyata lampu lorong dimatikan.

"Anda mau susu?" tanya Michaelis.

Aku mengangguk. Michaelis menuangkan susu dan memberikan sedikit madu.

"Terima kasih," ujarku.

Michaelis tersenyum dan berjalan setelah aku kembali masuk.

Aku terus membaca sampai ketiduran.