Satu sabitan cukup untuk membuat kedua orang pongah itu terbanting jatuh.
Pelindung muncul. Cukup agar yang lain tidak dapat menggangu, dan membuatku tenang karena mereka kemungkinan besar dapat selamat.
"Bagaimana bisa?!" pekik Clarisse. "Kamu, kan, mengorbankan diri."
"Tch!" Allen tampak berang. "Kita melupakan satu hal, dia anak Necromancer."
Aku terkekeh, masih terus mengambang.
"Kalian tidak jago ber-acting tau," ledekku.
"Apa?!" seru Allen.
"Serius? Aura kalian masih kecium di udara," ujarku. "Aku merasakannya ketika berada di kereta perang. Aura kalian itu pekat, half-blood memang memiliki aura yang pekat. Tapi, dia bisa mengendalikannya. Kalian tidak bisa, kan?"
"Tidak mungkin..." Clarisse menatapku.
"Aku tau kalian mengikuti kami terus," lanjutku. "Tapi, kalian tidak bisa masuk ke Last Place of Soul. Kenapa? Karena kalian akan langsung ketahuan."
"Hebat! Aku mengakuimu, Azalea," Allen tetap tampak pongah. "Kamu benar. Jika kami masuk, kami hanya akan mati konyol. Awalnya, kami hanya ingin menghalangimu saja. Kalau sudah begini, lebih baik membunuhmu sekalian!"
Makhluk-makhluk seperti kabut muncul. Mereka berupa tengkorak berjubah robek-robek hitam.
"Kamu kira aku tinggal diam akan hal ini?!" seruku marah.
Tanah berguncang.
Teman-temanku hanya memandangku nanar dan melindungi keluarga Lynch yang sudah pucat pasi.
Kerangka-kerangka muncul.
"Menyingkir dariku, Makhluk Bodoh!" seruku sambil menyabet segerombolan makhluk enggak jelas itu.
Mereka lenyap.
Bunyi seruling yang mendayu-dayu terdengar. Kehidupan di kota menjadi sunyi. Para manusia fana terlelap, dimanapun mereka. Kecuali keluarga Lynch yang berada di lingkup Eternal Paradox.
"Bagus," kekehku.
"Bagus?!" pekik Bella. "Oh! Kamu pasti sudah kehilangan akal! Kamu pura-pura mengorbankan diri untuk menarik perhatian calon suamiku, kan?!"
"Wow! Kamu sudah menjadi tunangannya Bella, ya, Avery," Aku memutar bola mata.
Langit bergemuruh. Roda-roda gigi paling besar muncul di langit. Lantai rooftop gedung itu digenangi darah (Bella menjerit) dan peti-peti mati tersebar.
"Apa-" Allen dan Clarisse memandang sekitar.
Mereka membuat marah anak Necromancer, itu artinya mereka membuat marah seluruh Last Place of Soul.
"Itu yang kamu lakukan!" seru Rick. "Ketika kita menyelinap keluar?"
"Ya," Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku menjalin pertemanan dengan seluruh roh yang terkungkung di sana."
Lucifer membawa sepasukan penuh para pengikut Necromancer. Mereka datang disetai roh-roh yang berkeliaran.
Spellcaster datang membawa sepasukan penuh pengikutnya. Mereka datang dengan kilatan-kilatan mantra.
Alchemist datang dengan membawa para pengikutnya. Disertai percobaan-percobaan mereka, setiap gerakannya menebarkan ramuan berwarna hijau zambrud.
Sedangkan Summoner datang membawa pasukan penuh pengikutnya. Mereka datang membawa iblis-iblis dan monster-monster yang mereka panggil.
"Apa-apaan ini?!" pekik Clarisse.
"Nona, pastikan kami lolos dari hukuman dan omelan Master," ucap Lucifer yang mengabang di sampingku.
"Akan kupastikan itu, Lucifer," kekehku. "Aku juga yang menjaga rahasiamu."
"Wah! Kamu menceritakan itu, ya, Lucifer," kekeh Spellcaster dari kereta perangnya yang ditarik dua buah naga. "Sudah lama saya tidak dipanggil. Terima kasih yang sebesarnya untuk anda, Nona."
"Berikan aku alasan yang bagus untuk tidak membunuh mereka," geram Alchemis, sambil menunding Allen dan Clarisse.
"Kita tidak bisa merusak takdir," Summoner menjawab dengan seringai. "Kalau dilukai, tak apa."
Roda gigir berputar semakin cepat.
Sepasukan Grim Reaper muncul. Dengan sabit mereka yang khas.
"Nona, untuk anda kami melanggar aturan," Undertaker memandangku. "Kami tidak mencium jiwa yang harus diambil. Tapi, kami tetap turun."
"Demi ayah" gumamku.
Aku melirik ke dua orang yang terpana.
"Ada apa, Allen, Clarisse?" ledekku. "Menyesali tindakan kalian itu. Kalian kira aku tidak bisa melakukan hal yang besar?"
"Bagaimana dengan Last Place of Soul, huh?!" Allen menyeringai.
"Ah! Utusan kalian itu, ya?" Aku mengangkat alis.
Peti-peti itu terbuka. Patung berbentuk orang yang tampak ketakutan terjatuh.
Itu membuat Clarisse dan Allen memandangku.
"Pembunuh! Kamu membunuh mereka!" seru Clarisse.
"Bukan aku," Aku mengangkat bahu bosan. "Tapi, Grim yang melakukannya."
Tanah terguncang dengan gerungan marah.
Grim adalah ular dengan panjang mencapai 5 meter. Bola mata kuningnya dapat membuat orang membatu, setetes bisanya cukup untuk membuat orang mati kesakitan, dan giginya amat tajam. Ia memiliki sayap kelelawar yang lebar. Dia adalah penjaga Last Place of Soul.
Aku menyerang Allen. Sedangkan yang lain menyerang Clarisse.
Menyerang Allen dengan sabit cukup susah, jadi aku mengganti senjata dengan pedang.
Bunyi dentingan logam terdengar dimana-mana.
Allen kuat. Kuakui itu.
Tapi, dia tidak cepat. Itu kelemahannya.
Aku cukup bergerak cepat.
Menghindar, menangkis, serang...
Tepat ketika aku menghindar dan dia menyerangku, aku segera menghantam wajah pongahnya dengan gagang pedang.
Ia tersungkur. Kutahan dan kulempar dia ke arah jalanan.
"Dia berat..." keluhku.
Aku bergegas membantu melawan Clarisse.
Yah, pertarungan ini masih berlanjut...