Clarisse terus menerus menggunakan sihir yang ia miliki. Dia tidak bisa bertarung dengan senjata, itulah kelemahan terbesar dari anak-anak Lust.
"Anak sepertimu tidak cocok bertarung!" seru Spellcaster. "Kalian sama seperti ibu kalian!"
"Berisik!" seru Clarisse.
Itu cukup untuk membuat sulur-sulur mawar tumbuh, membentuk sangkar bagi kami.
"Jangan bergerak, Nona!" Lucifer berseru ketika aku hendak menghancurkan sangkar itu. "Ini akan semakin menjerat anda!"
"Aku benci model begini," gumamku.
Aku tidak mungkin memanggil Michaelis di saat seperti ini. Kenapa? Karena energiku sudah terkuras banyak untuk memanggil 4 pasukan penuh itu.
Sekali aku memaksakan diri, aku tau bahwa aku akan terseret kembali ke Last Place of Soul dan tidak sadarkan diri (entah sampai kapan, aku tidak mau mencoba).
"Wah! Lihat itu!" pekik Spellcaster.
Aku mengadah dan melongo ketika melihat sosok Avery dan ibu menembus penghalang sihir yang kubuat sendiri (padahal itu sudah diperkuat oleh Spellcaster sendiri, lho).
Ibu menghampiriku dan Avery menyerang Clarisse.
"Nak, cepat ambil tanganku," ucap Ibu.
"Apa yang mau ibu lakukan?" tanyaku, bingung. "Aku bisa semakin dijerat."
"Ibu ingin melakukan sesuatu yang sudah lama tidak ibu lakukan," jawab ibu cepat.
Aku menggapai tangan ibu, tidak peduli bahwa duri-duri melukai lenganku. Aku tertarik keluar dan menjejak dengan selamat.
"Kau!" pekik Clarisse.
Gelombang sulur mengarah ke ibu.
"Jangan ganggu manusia fana, Bodoh!" seruku sambil menebas dengan pedang. "Avery, satu hal."
"Apa?" Dia menoleh.
"Tolong bebaskan 4 orang itu," pintaku. "Biar aku yang menahannya."
Avery melompat dan memotong sulur dengan belati lipat yang selalu ia bawah di saku celananya.
4 orang itu bebas, kembali memimpin pasukan mereka masing-masing.
Aku merasa hantaman yang kuat membuatku mundur. Allen. Dia mengambang, dibalut cahaya menyilaukan. Dia memilih bertarung tanpa senjata.
Aku tau kalau aku bukan ahlinya bertarung tanpa senjata. Tapi, aku tau siapa yang jago dalam hal itu.
"Michaelis! Aku membutuhkanmu!" seruku.
"Kamu gila?!" pekik Rick. "Energimu sedang kritis sehabis memanggil pasukan sebesar itu."
"Aku tidak ingin kalah, Rick," Aku menyeringai. "Demi harga diriku dan harga diri ayah. Bukan hanya itu..."
Aku menoleh dan tersenyum, "Demi harga diri Last Place of Soul."
Langit bergemuruh. Seorang lelaki berpakaian seperti butler dengan sayap malaikat hitam legam muncul, menjejak di sampingku dan sayapnya pecah.
"Gantengnya~" pekik Bella.
"Nona, siapa yang harus kulawan?" Michaelis memandangku.
"Anak Dilligence, Allen," Aku menunjuk Allen yang masih mengambang.
"Pertarungan di udara dan tanpa senjata, ya," kekeh Michaelis. "Anda tau apa yang saya sukai."
Sosok butler itu melayang dan baku hantam dengan Allen. Bedanya, tendangan Michaelis menghasilkan angin yang berkesiur kencang.
Bum!
Aku mengernyit ketika tubuh Allen terbanting untuk kesekian kalinya.
Aku bergegas membantu yang lain menangani anak Lust yang keras kepala itu.
"Akan kuadukan ke ibunya," batinku. "Biarkan sihirnya diambil."
Langit bergemuruh, penanda bahwa rapat itu telah mencapai puncaknya dan akan selesai.
Allen menyambar Clarisse dan terbang.
Aku mengubah senjataku menjadi panah dan membidik mereka. Mengenai bagian dada Allen, tepat sebelum mereka berpusar dan lenyap.
Mereka lenyap, menyisakan rooftop yang porak poranda.
Pintu lift di rooftop itu berpendar keemasan yang indah.
Semuanya masuk. Kecuali pasukan Last Place of Soul yang bergegas pergi sebelum kena semprot oleh ayah yang sedang dalam mood jelek.
Tapi, keluarga Lynch tidak bisa melangkah lebih jauh ketimbang ambang pintu lift itu. Mereka hanya bisa melihat kami berjalan menyusuri Eternal Paradox.