Mission: Final

Eternal Paradox sangat luar dan begitu indah.

Lift masuk itu berada di bukit bagian barat yang berumput tinggi.

Di bukit itu ada tangga batu yang meliuk-liuk, tersambung dengan jalan setapak meliuk yang diapit oleh semak-semak mawar yang tertata rapi.

Jalan setapak itu memisahkan 2 deretan rumah yang berlainan.

"Rumah liburan para roh," gumam Will.

"Aku tidak menyangka bisa melihat rumah ayah dengan mata kepalaku sendiri," sambung Justin.

"Rumah ayah tetap seperti penjara," timpal Avery yang melihat sebuah rumah yang memang tampak seperti penjara.

Jalan setapak itu berlanjut dengan mengintari danau lebar. Di tengah danau itu terdapat rumah bergaya zaman victoria yang mengambang di tengah danau dengan jembatan marmer yang melengkung, menghubungkan rumah itu dengan jalan.

"Biar kutebak," kekeh Isla dan Rick kompak. "Ini rumah Necromancer."

"Bagaimana kamu bisa tau?" Aku menoleh.

"Paling beda," jawab Rick.

"Dan..." Isla menunjuk ke danau.

Roh-roh perempuan dan laki-laki berpakaian kuno membawa kendi menuangkan air ke danau.

"Wah..." Aku memandang rumah itu kagum.

Jalanan kembali menjadi tangga-tangga yang menuju ke arah puncak bukit.

Di puncak bukit terdapat Atlar berbentuk bulat dengan lantai berupa lukisan dari pecahan kaca yang menggambarkan para roh (mengeluarkan cahaya). Pilar-pilarnya dililit aneka bunga. Ada 2 deret singgasana yang saling berhadapan, menjadi satu di singgasana yang diletakkan paling tinggi (2 singgana di dekatnya juga diletakkan cukup tinggi).

"Aku sudah tau rencanamu dari Michaelis," Ayah memandangku. "Lain kali, bicarakan dulu."

"Baik, Ayah," gumamku.

Aku memandang yang lain, melambai dan segera menuju ayah.

Selama berjalan, para roh membungkuk sambil tetap duduk. Humility dan Pride memandangku ramah ketika aku berdiri di dekat ayah.

"Jadi, siapa pelakunya?" tanya Pride.

"Kamu mau menjelaskannya, Anakku?" Chaos mengangkat alis kepada Avery.

"Bersikaplah lebih lembut kepada anakmu, Kak Chaos!" Fraudulence memukul kepala Chaos yang duduk di sampingnya.

"Wah! Jangan-jangan kalian berdua kawin lari, ya?" Slander tertawa.

"Jangan sebarkan fitnah, Bodoh," sambar Spite. "Kak Envy, tidak perlu mendelik begitu."

"Tolong tenang," Patience angkat bicara. "Jangan bertengkar di rapat ini, ok? Tolong..."

Ayah menghentakkan kaki, cukup untuk membuat yang lain terdiam dan fokus kepada ayah.

"Untuk beberapa hari ke depan, aku akan melepaskan aturan yang membuat kita tidak bertemu anak-anak," ucap ayah.

"Kenapa begitu, Necromancer?" Humility tampak semangat.

"Tidak adil jika hanya mereka yang dapat melihat kita, Humility," jelas Necromancer. "Untuk mereka, ajak mereka ke rumah kalian masing-masing. Besok aturan mulai berlaku. Apakah ada yang keberatan?"

"Bagaimana dengan keluarga Lynch?" tanya Will.

"Bagaimana dengan mereka yang fana?" sahut Gluttony.

"Biar mereka berada di rumahku," ucap Temperence ramah. "Tidak apa-apa, kok. Toh, tidak ada anakku."

"Azalea, bisa kamu melepaskan proteksi untuk sementara?" tanya ayah.

"Akan kutemani," Sloth menguap dan berdiri. "Ayo, Nak!"

Aku bergegas mengikuti Sloth yang berjalan menuju lift itu.

Keluarga Lynch diantar hingga ke rumah milik Temperance yang sederhana, mereka tidak boleh ke atlar.

Rapat selesai.

Sebelum kembali ke rumah, diadakan acara makan (hanya karena ada half-blood dan manusia fana).

"AYAH!!!" Seruan Avery membuat semuanya menoleh. "TOLONG AKU!!!"

"Ada apa?" tanya Chaos.

Ternyata, Bella tidak mau berpisah dengan Avery.

Bella bergegas ditahan oleh ibu dan Chad yang tampak amat sangat malu.

Will dan Gluttony masih tampak memakan makanan penutup. Isla dan Fraudulance sedang bertukar pelukan. Justin sedang curhat dengan Patience. Sedangkan Rick dan ayahnya asyik dengan Slander.

"Ayah, boleh aku melakukan sesuatu?" Aku menoleh.

"Apa itu?" tanya ayah.

"Menampilkan sesuatu," kekehku.

Ayah mengangguk.

Aku membuat proyeksi di langit dan berusaha mengingat kenangan yang hendak aku tontonkan.

Kenangan itu berupa film. Dimulai sejak kami di festival.

"AZALEA!!!" pekikan Rick mengagetkan yang lain. "HAPUS, GAK?!"

"Kenapa? Enggak denger, tuh. Aku pake tudung," ledekku.

"Hapus!" pekik Rick.

Dan malam itu diakhiri dengan aku yang lari, dikejar-kejar oleh Rick yang ngamuk dan mengayun-ayunkan pentungan bisbol yang ia dapat dari Slander.