Ketika malam tiba, ayah harus kembali ke Last Place of Soul terlebih dahulu sebelum ia beristirahat (Ayah sudah pergi beberapa jam yang lalu).
Aku masih terduduk di kamar. Lagu-lagu di album itu mengalun. Aku duduk di sofa dengan lampu baca tinggi di belakang, membaca novel yang belum juga selesai.
Bunyi lonceng terdengar dari pintu depan.
Aku meletakkan buku dan berjalan keluar untuk membukakan pintu.
Yang membuatku malas adalah aku harus turun tangga, karena kamar-kamar berada di lantai atas.
Ketika aku membuka pintu kayu ganda itu...
Lust dan Diligence.
Lust sudah memakai piyama-nya (tapi tetap saja terbuka).
"Dia kekurangan bahan apa?!" batinku kesal. "Setidaknya pakai yang sopan kalau mau bertamu dong."
Sedangkan Diligence masih memakai pakaian yang cocok untuk olahraga. Celana training hitam, kaus orange tua, dan jaket hitam.
"Ada apa?" tanyaku. "Ayah sedang pergi ke Last Place of Soul."
"Tak apa," Lust menggeleng.
"Kami punya keperluan denganmu," lajut Diligence.
"Denganku?" Aku mengangkat alis.
Aku membuka pintu lebar-lebar dan menyingkir dari ambang pintu agar kedua roh besar itu dapat masuk.
Kami duduk di sofa hitam berhadapan yang dipisahkan oleh meja kaca bertaplak ungu.
"Jadi, ada apa sampai para roh besar mencari half-blood ini tengah malam?" tanyaku.
"Soal anak kami itu..." gumam Lust.
"Allen dan Clarisse?" Aku memastikan.
"Ya," Diligence mengangguk.
"Ada apa dengan mereka?" tanyaku.
"Mereka bergabung dengan malaikat..." gumam Lust.
"Aku benar-benar tidak percaya itu," geram Diligence. "Allen adalah anakku. Seharusnya dia adalah saint, orang baik-baik. Tapi..."
"Anakku mungkin memand sinner," isak Lust. "Tapi, aku tidak mengira dia bisa menjadi pengikutnya. Itu keterlaluan. Aku sudah melenyapkan berkat dan sihirku dari tubuhnya. Aku tidak sanggup melakukan itu."
"Anak dosa menjadi sinner dan anak kebajikan menjadi saint," gumamku. "Siapa yang memastikan itu?"
Kedua roh itu mendongak, mulai tertarik dengan arah pembicaraan itu.
"Itu tergantung anak kalian sendiri, kan?" lanjutku. "Jika mereka memang baik, mereka akan menjadi saint dan sebaliknya. Tidak ada hubungannya dengan orang tua roh mereka. Kejadian ini adalah buktinya."
Lust menghela nafas pasrah, sedangkan Diligence hanya menggeram dan mengepalkan tangan.
"Lagi pula, tidak baik kalau memihak salah satu sisi," lanjutku. "Dunia harus seimbang."
"Aku harap anakku bisa berubah pikiran," gumam Lust.
Aku dapat melihat Diligence yang tampak mengharapkan hal yang sama dengan Lust, dia ingin anaknya sadar.
"Bagaimana kalau mereka tetap tidak sadar?" tanyaku. "Dan saat itu perang meletus."
"Kami akan bertarung melawan mereka," Lust dan Diligence mengangguk.
"Kalian yakin bahwa kalian bisa?" tanyaku.
"Kami tidak tau pasti," Lust tersenyum tenang. "Tapi, saat itu kami akan berusaha bertarung melawan mereka."
"Karena saat itu kami bukan sebagai orang tua, tapi sebagai penguasa," lanjut Diligence.
"Itu terdengar bagus," Aku menganguk-angguk mengerti.
"Ayahmu juga seperti itu, kan?" Diligence menatapku.
Aku mengangguk. Ya, ayah memang seperti itu.
"Apa kamu tidak sedih?" tanya Lust.
"Biasa saja," Aku mengangkat bahu. "Memang itu tanggung jawabnya, kan?"
Kedua roh itu mengangguk dan pamit tepat beberapa menit sebelum ayah kembali.
Allen... Clarisse...
Segitu kejamkah kalian sampai tidak peduli dengan perasaan orang tua kalian?