Sembilan Tahun Lalu

"Aku berandai kamu adalah seorang muslim," ucapku lirih. Binar, teman baik yang selalu ingin menyenangkan hatiku dan tidak pernah membiarkan setetespun air mataku jatuh itu semakin menunjukkan rasa cemas tatkala mendengarkan setiap kataku. Ia berusaha meredam situasi saat itu, beranjak mendekati Mbak Yanti pengurus rumah kost yang tengah menyetrika sambil menonton sinetron di ruang tempat penghuni kost menerima tamu, meminta segelas air untukku. Aku tahu dia sedang gelisah menghadapi kondisi ini, namun ia mencoba menenangkanku terlebih dahulu. "Minumlah dulu," ucapnya.

"Jangan biarkan aku kehilanganmu sebelum waktunya," tukas Binar sebelum meninggalkanku bersama Mbak Yanti di ruangan itu. "Jaga dirimu, Ri," sambungnya. Aku terus menunduk, kudengar deru mesin taksi yang membawa Binar pergi semakin menjauh hingga tidak terdengar lagi. Sepanjang pertemuan sekian jam di malam itu, aku lebih banyak diam. Binar sangat merasakan perubahan sikapku itu. Berbagai cara ia lakukan agar aku banyak bercerita seperti 2 tahunan sebelumnya saat masa sekolah, ketika pertemanan belum menjadi serumit ini. Seiring waktu yang berjalan, aku berpikir segalanya akan baik saja. Namun apalah daya, kudapati hati ini justru berbisik; andaikan boleh, aku ingin menahan langkahmu...

Di layar depan ponselku, muncul tulisan:

_1 message received_

Kubuka flip ponsel berwarna silver itu. Pesan singkat baru dari Binar, dia berpamitan dan memberitahu bahwa dia sudah sampai di stasiun. Kereta yang akan membawanya kembali ke ibukota akan berangkat pukul 17.00. Aku tahu dia berharap aku datang ke stasiun. Jarak rumah kost dan stasiun sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi aku memutuskan untuk tidak menyusulnya. Pesan singkatnya pun tidak aku balas termasuk panggilan teleponnya. Aku lepas baterai ponselku agar tidak lagi terdengar bunyi apapun, dengan kegundahan dan kepiluan mendalam.

Henny sahabatku yang juga ngekost di situ, masuk ke kamarku. "Mentari itu udah silau, gak butuh binar-binaran apapun lagi. Sudah, ya, kamu dan dia berteman 'kan dari dulu? Ya sekarang tetap berteman aja.." selorohnya. Henny duduk di sebelahku. Ia menyatukan baterai dengan tubuh ponselku dan mengaktifkannya. "Udah pulang, ya, dia? Baguslah. Eh, Ri.. Kita kerjain tugas aja, yuk di rental komputer seberang? Senin dikumpulin. Terus masih ada 2 tugas paper, lho. Sampai kita lulus, tugas kita bakalan tetap banyak, gak ada kesempatan mikirin dia, Ri. Emmm... Lagian aku percaya kamu bakalan dapat jodoh yang baik, pencinta dakwah, seiman...ingat, Ri..seiman!" Aku memandangi Henny tanpa bicara apapun.

Selepas maghrib, aku dan Henny mengetik tugas di rental komputer. Di sela waktu mengetik, aku membuka akun friendsterku. Fitur "Who's viewed your profile" di friendster adalah yang pertama aku buka. Sudah kuduga, ada profil Binar di sana. Aku kunjungi balik profilenya. Di album fotonya terdapat album terbaru, album wisudanya beberapa bulan lalu. Ada foto Binar berdua sedang merangkul Mamanya..seketika membuatku begitu merindu pada beliau. "Lho, kok dia udah wisuda, Ri? Katanya seangkatan sama kita?" tanya Henny tiba-tiba, membuatku tersentak kaget. Rupanya Henny mengamatiku. "Dia kan sekolah kedinasan, Hen. Tiga tahun udah kelar," jawabku sambil melanjutkan ketikan tugas yang belum selesai.

Aku bertekad memperbesar jarak dengan Binar. Aku lebih sering mengabaikannya setiap kali ia menyapaku saat terhubung internet. Ia tetap baik dan santun meski jawabanku irit kata-kata. Tahukah kamu, Bin...aku sesungguhnya sangat ingin mendengar kabarmu. Setiap kali mengabaikanmu, aku ikut merasa sakit. Sementara kamu selalu bersikap baik kepadaku, bahkan ketika hari upacara wisudaku, buket bunga merah jambu yang begitu indah kamu kirimkan untuk aku sebagai pengganti kehadiranmu. _Aku tidak bisa hadir di saat pentingmu ini, Ri. Aku sedang UTS._ Binar mengirim pesan singkat. Ternyata saat itu dia sedang melanjutkan kuliah.

Di penginapan kota tempat kuliahku selepas upacara wisuda, aku menghirup aroma buket bunga yang sedari tadi aku genggam. "Itu kembang dari Binar yang itu?" tanya salah satu abangku. Mama dan Papaku mengarahkan pandangannya kepadaku, seperti menunggu-nunggu jawabanku. Aku meletakkan buket bunga di kursi, melepas toga dan medali yang masih kukenakan. Aku mengangguk. "Dia sekarang di mana, Ri?" Papaku bertanya. "Di Jakarta, Pa. Penempatan di sana. Katanya lagi lanjut kuliah," jawabku. "Kamu masih kontak2an sama dia?" Mamaku angkat bicara. "Udah jarang, Ma. Tenang aja, Ma. Mama percaya aku, kan?" "Iya...Mama cuma tanya." "Mm..tahun lalu dia pernah ke sini, Ma." "Terus?"