Memilih Senjata

"Ah . . . ternyata kau lagi," dengan lesu pria tua tersebut mengalihkan pandangan kearah sampingnya.

"Hei bisakah kau sedikit lebih ramah terhadap pengunjung setia mu ini. Lihatlah apa yang ku bawa hari ini." Pak Rovel bergeser kesamping untuk menunjukan murid-muridnya yang tersembunyi dibalik tubuhnya.

Melihat terdapat tiga orang bocah yang berada di belakang pak Rovel, mata lelaki tua tersebut melebar. Hehehe . . . apakah kali ini Rovel sialan itu membawa pelanggan yang memiliki banyak uang? Meskipun tampang mereka sangat lusuh, tapi jangan pandang seseorang dari luarnya. Aku yakin bisnis kali ini akan membaik.

Wajah cerah kembali pada muka lelaki tua tersebut. Ia tersenyum sambil menggosok-gosokan tangannya lalu berkata, "Selamat datang anak-anak muda. Selamat datang di Toko Senjata Griya. Silahkan pilih senjata yang kalian suka."

Pak Rovel mengingat sesuatu, lalu berkata, "ah maaf maaf. Apa kalian memiliki uang untuk membeli senjata?"

Mendengar hal tersebut, Ajie, Javar, dan Izan hanya memiringkan kepala mereka dan mencoba berpikir tentang apa yang sedang terjadi. Uang? Bukankah kami akan dibelikan senjata oleh pak Rovel? Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa "pilihlan senjata yang cocok untuk kami"?

Javar pun mengingat sesuat setelah cukup lama ia terdiam. Tunggu sebentar, tunggu sebentar. Setelah aku ingat-ingat, pak Rovel memang tak mengatakan bahwa ia akan membelikan senjata untuk kami. Apakah berarti kami harus membeli senjata sendiri?

Setelah pemikiran tersebut, akhirnya Javar menjawab pertanyaan pak Rovel sambil menepuk bagian belakang kepalanya dengan salah satu tangannya. "Maaf Pak Rovel, aku tak membawa uang."

Javar segera memalingkan muka dan melihat ke arah Ajie dan Izan. Namun, Ajie dan Izan segera menggelengkan kepala mereka sambil menatap Javar.

"Ah kalian ini. Bukan kah sudah bapak bilang kita akan memilih senjata. Bagaimana mungkin kalian lupa membawa uang?" Pak Rovel mengeluh.

Ajie, Javar, dan Izan hanya bisa tersenyum masam. Mereka tak dapat berkata apa-apa.

"Ya sudah lah. Kali ini bapak akan mentraktir kalian semua," ucap pak Rovel sambil menghela napas.

Javar, Ajie, dan Izan tersenyum lebar setelah mendengar apa yang dikatakan pak Rovel.

"Pak Rovel memang yang terbaik." Mereka berterimakasih dengan memuji pak Rovel.

Merasa terpuji, pak Rovel tersenyum lebar, mengangkat dagunya, membusungkan dadanya, dan mengacungkan jempolnya kearah dadanya seraya berkata, "Itu sudah pasti. Aku memang yang terbaik."

Clap clap clap!

Murid-muridnya hanya sanggup bertepuk dangan dengan senyum pasrah melihat kelakuan pak Rovel.

Lelaki tua kembali menunjukan muka lesunya setelah mendengar ucapan Ajie, Javar, dan Izan.

"Ah ternyata hanya orang miskin lainnya," gumam lelaki tua tersebut.

Tanpa mendengar perkataan dari lelaki tua tersebut, pak Rovel jalan menuju kasir. Dia pun mengeluarkan sebuah dompet dari kantong celananya dan menunjukannya pada lelaki tua tersebut.

"Kakek Louis, aku akan membeli 3 senjata dengan 1 koin ini. Berikanlah yang terbaik untuk mereka," sembari tersenyum, pak Rovel memberikan uang tersebut kepada kakek Louis.

Melihat hal tersebut bibir kakek Louis menjadi cemberut.

"Hanya dengan 1 koin perak kau ingin membeli peralatan ku? Apakah kau tahu harga rata-rata senjata ku? 20 koin perak! Apakah kamu sadar? Ah sial, kamu adalah pembeli terburuk yang aku miliki," gerutu kakek Louis.

Meskipun kakek Louis berkata begitu, ia tetap menerima uang yang diberikan oleh pak Rovel.

"Hei bocah, kemarilah." Kakek Louis memanggil Ajie, Javar, dan Izan lalu membalikkan badanya dan menuju ke sebuah ruangan yang berada di balik kasir.

Mereka pun mengikuti kakek tersebut dan masuk ke dalam ruangan bersama pak Rovel.

Senjata menghiasi dinding ruangan yang mereka masuki. Mulai dari pedang, panah, perisai, dan masih hbanyak lagi. Senjata-senjata tersebut memiliki pola yang cantik, bersinar, dan terlihat mewah. Tak terlihat satupun senjata murah di dinding tersebut.

Mata mereka bersinar terang. Senyuman lebar muncul dari bibir mereka yang kecil. Ajie, Javar, dan Izan telah membayangkan sesuatu yang menyenangkan dalam pikiran mereka. Apakah mereka akan mendapatkan senjata tersebut?

Namun, harapan itu hancur seketika itu juga.

Mereka tak berhenti di ruang tersebut. Mereka masih berjalan menuju pintu yang berada di ujung ruangan yang mereka masuki. Apa yang teradapat di ruangan tersebut adalah gentong-gentong berisikan senjata. Senjata di dalam gentong tersebut merupakan senjata terburuk yang pernah mereka lihat.

"Baiklah anak-anak, pilih lah salah satu senjata ini." Kakek Louis menunjukan jari telunjuknya pada gentong-gentong tersebut.

Senyum sedih mencuat dari bibir mereka. Apakah pak Rovel benar-benar ingin mentraktir kita? Atau dia pun sama-sama tak memiliki uang?

Meskipun begitu, mereka tetap berjalan menuju gentong-gentong tersebut dengan langkah berat. Wajah yang cerah yang tadi menghiasi muka mereka, kini hilang tanpa jejak.

Senjata yang terdapat di dalam gentong tersebut tidak tersusun sama sekali. Mereka harus mencari dengan teliti untuk menemukan senjata yang mereka inginkan. Walaupun sebenarnya mereka tidak tahu harus memilih apa.

Mereka pun mencoba semua senjata yang ada di gentong tersebut, mulai dari pedang, kapak, perisai, panah, dan masih banyak lagi. Namun, mereka terus mencoba senjata yang berada di dalam gentong-gentong tersebut hingga tak ada satupun senjata yang tersisa di dalam gentong tersebut.

"Apakah kau sudah memilih apa yang kau inginkan?" tanya Javar pada kedua temannya.

Ajie dan Izan menggelengkan kepala mereka. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka pilih. Begitu banyak senjata yang harus dipilih, namun tak ada satupun yang menarik bagi mereka.

Mereka seperti itu diakibatkan karena rasa kecewa mereka terhadap senjata-senjata tersebut. Senjata yang berada di ruangan pertama jauh lebih baik dibandingkan senjata yang berada di ruangan ini. Ekspektasi mereka terlalu tinggi hingga memunculkan rasa kecewa dalam hati mereka.

Melihat kedua temannya tak ada yang mengambil satupun senjata, Javar mendatangi pak Rovel dan bertanya, "Pak Rovel. Sebenarnya untuk apa kami harus memilih senjata?"

Pak Rovel memegang dagunnya dan mengelusnya dengan lembut. Ia pun menjawab apa yang ditanyakan oleh Javar, "Apakah kalian tidak menyadari? Dengan mengeluarkan sedikit aura saja kalian sudah kelelahan. Bagaimana cara kalian bertarung jika hanya mengandalkan aura? Tentu saja kalian akan kelelahan dengan cepat. Kalian harus mengandalkan cara lain, yaitu dengan bertarung menggunakan senjata. Dengan begitu kalian hanya perlu melapisi tubuh kalian dan senjata yang kalian kenakan dengan aura."

Pak Rovel tak berhenti hingga situ. Dia mengacungkan jari telunjuknya dan berkata, "Tapi itu semua berbeda jika kalian memiliki aura yang banyak. Kalian bisa menggunakan aura kalian sebagai senjata, tidak hanya sebagai penguat tubuh kalian. Namun untuk saat ini, hal tersebut masih mustahil bagi kalian."

"Cepat lah kalian pilih senjata yang cocok menurut kalian." Pak Rovel menghela napas.

Mereka akhirnya bergegas memilih kembali senjata yang berada di dalam gentong-gentong tersebut. Kali ini mereka memilih dengan serius. Mereka mencoba semua senjata, mengayunkannya, mengangkatnya, hingga membandingkan dengan postur tubuh mereka.

Akhirnya mereka menemukan senjata yang lumayan menarik bagi mereka.

Izan mengambil sebuah tombak berukuran 1,5x tinggi tubuhnya. Tak ada yang spesial dari tombak tersebut. Namun ketika Izan mengayunkannya, rasanya seperti tombak tersebut adalah bagian dari tubuhnya.

Ajie mengambil sebuah katana yang memiliki panjang sedikit lebih pendek dari ukuran tubuhnya. Tak ada yang spesial dari katana tersebut, sama seperti tombak yang Izan ambil. Namun, Ajie terlihat senang dengan katana tersebut.

Yang terakhir adalah Javar. Javar mengambil sebuah perisai dan pedang. Perisai tersebut berbentuk persegi pada bagian atasnya dan setengah lingkaran pada bagian bawahanya. Bagian bawah yang berbentuk setengah lingkaran, memiliki ujung yang lancip. Perisai tersebut terlihat keren meskipun berasal dari bahan murahan.

Pedang yang Javar ambil memiliki panjang setengah kali tinggi tubuhnya. Tak ada yang spesial dari pedang tersebut. Namun, Javar merasa mudah mengayunkan pedang tersebut.

Mereka akhirnya kembali kehadapan pak Rovel dengan membawa senjata-senjata tersebut.

"Apa kalian sudah yakin dengan senjata yang kalian pilih?" tanya pak Rovel setelah melihat mereka tepat berada di depannya.

Mereka menjawab pertanyaan dari pak Rovel dengan menganggukan kepala mereka.

"Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita mulai berlatih menggunakan senjata-senjata tersebut."

Pak Rovel membalikkan badanya dan menghadap ke arah kakek Louis. Lalu berkata, "Kakek Louis, sepertinya mereka harus berlatih menggunakan senjata itu. Dengan begini sepertinya kita akan berpisah kembali." Pak Rovel tersenyum kepada kakek Louis. Namun, Ajie, Javar dan Izan tak mengetahui arti dari senyuman tersebut.

"Sudahlah cepat pergi, dasar bocah pelit! Lain kali bawakan aku uang yang lebih banyak." Kakek Louis pun tersenyum pada pak Rovel. Dan lagi-lagi Ajie, Javar, dan Izan tak mengetahui arti dari senyuman tersebut.

Sebenarnya apa hubungan dari Pak Rovel dengan Kakek Louis?