Dua puluh enam

Aww. Masih sedikit nyeri di bagian bawah, tapi ini sudah lebih baik.

"Masih sakit?"

"Sedikit, aku mandi dulu ya,"

"Biar ku bantu,"

"Aku bisa, kau turun saja dulu," dia mengangguk sambil mengusap pipi ku lembut.

30 menit aku selesai. Mama dan mas Adrian sudah menunggu di meja makan. Selama Mama menginap, beliau selalu memasak untuk kami, aku hanya membantu saja. Kami makan dengan tenang seperti biasa.

Satu bulan berlalu. Mama pulang diantar mas Adrian, aku tidak ikut mengantar karena ada masalah di cafe. Entahlah, Ambar tidak memberitahu masalah apa, tapi dia bilang hanya aku yang bisa menyelesaikan. Tiba di cafe aku menelpon Mama dulu sebelum masuk, sekedar mengabari kalau aku sudah sampai, tak lupa ku titipkan salam untuk Papa mertuaku.

Ambar sudah menunggu di depan pintu masuk, ada masalah apa sih ini? gumam ku dalam hati. Aku sedikit bingung, karena Ambar tak menunjukkan ekspresi khawatir atau apa yang menandakan ada masalah.

"Mba Meera dateng juga, ayo masuk."

"Cepat katakan ada masalah apa, sampai harus menyuruh saya datang."

"Sebenarnya ini bukan masalah cafe, tapi masalah mba Meera, mba langsung ke ruangan mba aja, masalahnya ada di sana" Ambar berbicara sedikit berbisik. Ada apa sih ini?.

Saat memasuki ruangan .... Ambar benar, ini masalah ku. Raja langsung menarik ku ke dalam pelukannya begitu aku membuka pintu.

"Raja lepas, sudah cukup!" dia melepas pelukannya.

"Kau terlalu terburu-buru Meera, ayo duduk." siapa yang punya ruangan ini? Harusnya aku yang mempersilahkan dia duduk.

"Ini ruangan ku. Untuk apa kau kemari?"

"Untuk bicara denganmu, apa lagi!"

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, semua selesai. Pertemuan ini, hubungan ini, sudah selesai titik." aku berusaha menahan cairan bening agar tak keluar dari mataku.

"Kalau aku tidak mau ini selesai, bagaimana?"

"Kau tidak waras Raja,"

"Kau yang tidak waras Meera, kita sudah sejauh ini dan kau bilang ini selesai? Tidak Meera, aku mengabaikan keluarga ku untukmu, aku ... aku juga mengabaikan harga diriku untukmu, dan kau bilang ini selesai. Tidak Meera, ini tidak akan pernah selesai." suaranya semakin melemah, dan air mataku sudah terjun bebas melewati pipi yang sudah tidak merona ini.

"Aku tidak pernah meminta mu melakukan itu semua," aku berusaha kuat, menghapus air mataku dan bersiap untuk pergi.

"Kau memintaku Meera, kau yang membawaku masuk kedalam hidupmu. Kau ingat saat di acara ulang tahun PT. Gemilang, kau memintaku menemanimu saat Adrian sibuk dengan rekan bisnisnya," , "itu karena tidak ada yang ku kenal selain kau di sana."

"Kau ingat saat ada masalah dengan baju pengantin Adrian, kau seharusnya menelpon nya, dan menyuruh pulang untuk fitting ulang. Tapi kau memintaku untuk mengurusnya dengan alasan ukuran tubuh ku sama dengan ukuran tubuh Adrian. Kau ingat saat kau ada masalah kau selalu datang pada ku, saat kau kesepian kau selalu mencari ku saat ...."

"Cukup! Aku ingat semuanya, aku ingat, untuk itu aku minta maaf sekaligus memohon padamu, aku mohon lupakan semuanya. aku mohon," Aku terduduk lemah, suaraku pun ikut melemah. Apa yang Raja katakan semuanya benar, aku yang salah, aku yang memintanya, aku yang membawanya masuk dalam hidupku.

*keesokan harinya

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, bagaimana kabar Papa?"

"Papa baik, tadi juga aku mampir ke rumah ibu. Ibu menitipkan ini untuk putri kesayangannya." dia mengacak rambutku.

"Jangan mengacak rambutku, ibu sudah menelepon ku tadi. Ayo makan!"

"Aku tidak mau makan, aku mau ke kamar." dia menatapku sambil terus berjalan ke arah ku, tatapan yang sulit di artikan. Aku mundur sampai .... bukk, punggungku menyentuh dinding. Dia terus mendekat saking dekatnya aku bisa merasakan hembusan nafasnya

"Ma ... mau apa kau?"

"Mau meniduri mu apa lagi."

"Di siang hari?"

"Hahaha ... ekspresi macam apa itu, aku hanya menggoda mu Meera." aishh, tuan muda ini, memang paling pandai soal goda menggoda.

"Dasar menyebalkan, kau pergi sana," aku mengerucutkan bibirku dan mendorongnya.

"Hei, jangan cemberut begitu dong, ayo makan aku sudah lapar." Kami makan dengan tenang seperti biasa. Selesai makan mas Adrian langsung pergi ke kantornya, kemarin dia menginap di rumah Mama, sekarang pasti banyak dokumen yang harus ia cek dan tanda tangani.

Rumah ini tampak sepi sejak Mama pulang, jadi teringat omongan Mama kemarin, "kalian sudah setahun lebih menikah, apa tidak kesepian? Mama rasa kalian sudah saatnya punya anak." aiiih rasanya aku belum siap, mencintai suamiku saja aku belum bisa.

Rasa bosan sudah tidak bisa di tolerir. Aku bersiap hendak ke cafe, ahh tidak, kalau tiba-tiba Raja ke cafe bagimana? Ke kantor mas Adrian mengganggu tidak ya? Kabari mas Adrian dulu deh. Aku berbicara dengan diriku sendiri.

To: Suamik

Aku bosan, ke kantor boleh?

From: Suamik

Sangat boleh istriku, sekalian bawakan aku baju ganti ya.

To: Suamik

Dengan senang hati, tunggu akuuuu.

 ******

Senyum ku mengembang saat melihat nama pengirim pesan.

From: Istri

Aku bosan, ke kantor boleh?

To: Istri

Sangat boleh istriku, sekalian bawakan aku baju ganti ya.

From: Istri

Dengan senang hati, tunggu akuuuu.

Ini pertama kalinya Meera datang kesini atas keinginannya sendiri. Jika kebanyakan istri para bos besar akan sering keluar masuk kantor suaminya dengan seenaknya, maka Meera tidak. Dia kemari hanya saat aku yang memintanya, dia bukan wanita merepotkan, dia selalu mengerti pekerjaan ku.

"Fit, tolong belikan ini ya, di toko kue depan." aku memperlihatkan ponselku yang menampilkan beberapa kue rasa vanilla kesukaan Meera, dan meminta Fitri untuk membelikannya.

"Bu Meera mau kesini ya, pak?"

"Ko tau?"

"Bapak selalu membeli itu tiap bersama bu Meera." aku tersenyum kecil. Fitri benar, aku selalu membeli kue yang sama jika bersama Meera di sini.

"Nanti bawa masuk ya."

"Baik pak." aku kembali ke ruangan ku.

Tidak lama Fitri masuk dengan membawa kue yang ku maksud beserta minumannya.

"Cepat sekali Fit?"

"Saya langsung pesan waktu bapak meminta saya membelikan tadi, saya kembali pak."

"Terima kasih ya, Fit."

"Sama-sama pak." tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Meera.

Yang ditunggu akhirnya datang. Dengan senyum yang mengembang membuatnya semakin terlihat cantik. Semoga senyum itu hanya untuk ku Meera, semoga.

"Ini untuk ku?" Dia menunjuk kue yang ada di meja. Aku mengangguk.

"Aku bersih-bersih dulu ya," aku mengusap pipinya dan mengambil alih goodie bag yang ia bawa. Dia mengangguk, "oh iya, kau boleh menghabiskan kue-kue itu." aku berbalik sesaat sebelum masuk kamar mandi yng ada di dalam ruangan ku.

"Tentu saja, tidak ada sisa untukmu tuan muda." aku terkekeh, dia selalu saja menggemaskan.

Aku bersih-bersih secepat mungkin, aku tidak mau Meera menunggu lama. Begitu aku keluar Meera tidak ada di tempatnya, dan piring kue sudah kosong, dia benar-benar menghabiskannya. Di luar terdengar suara orang mengobrol, itu pasti Meera sedang mengobrol dengan Fitri.

"Ayo sayang. Fitri, kita duluan ya."

"Iya pak."

Aku cukup kaget saat Meera menggandeng tanganku, biasanya aku yang melakukannya. Apa kau sudah mulai mencintai ku, Meera?.

*Di mobil

"Kita mau kemana mas?" ku daratkan kecupan lembut di keningnya.

"Kau tidur saja, kita ketempat jauh. Telpon bi Surti suruh tunggu rumah, malam ini kita tidak pulang." dia mengangguk.