Tujuh puluh sembilan

"Pah, kenapa dilepas?" Pak Ardi tersenyum.

"Papa sudah baikan, Nak. O ya, kalau Papa sudah pulang nanti, bawa anak-anakmu menginap di rumah, ya. Papa rindu mereka." Adrian tersenyum, lalu mengangguk, mengiakan keinginan papanya.

Memang, sudah lama mereka tidak berkumpul. Waktu dirinya dan Meera membantu cabang di Bandung pun. Anak-anak tidak dibawa, selain karena mereka sekolah, juga bocah-bocah itu memilih tetap di rumah bersama pengasuhnya.

"Papa manggil Drian cuma buat bilang itu?" tanya Adrian. Rasanya absurd jika ingin bicara empat mata, hanya untuk hal semacam itu.

Pak Ardi tersenyum, sangat tipis. Namun, masih dapat kentara. "Kau memang pintar. Sebenarnya tidak ada yang penting, Papa cuma merindukan Adrian kecil Papa, yang menjengkelkan itu."

Adrian terkekeh. "Papa aneh sekali. Mau ketemu mama?"

Pak Ardi menggeleng, ia ingin istirahat. Bertemu putra satu-satunya sudah cukup untuknya. "Ya sudah, Drian keluar, Papa istirahat."