"Djoni! Dari mana saja kamu, hah?" teriak ibuku dengan suara yang sangat lantang ketika aku sampai di depan pekarangan rumah.
"Habis dari perpustakaan bu," jawabku dengan sedikit rasa takut. Jantungku tak henti - hentinya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Sudah pintar tapi masih saja ingin baca buku. Mata kamu tidak sakit apa? Setiap hari kerjanya hanya baca buku melulu. Bisa - bisa kamu mati akibat keseringan membaca buku," tandas ibu sambil berkacak pinggang.
Tiba - tiba, datanglah malaikat penolongku. Dialah pahlawanku, ya ayahku. Beliau keluar dengan masih membawa koran yang sejak tadi dibacanya. Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, karena beliau datang di waktu yang sangat penting. Di saat aku sangat membutuhkan, beliau hadir saat itu juga.
Sambil berjalan menuju ke arah aku dan ibu berada, Ayah, dengan suara yang tidak kalah tantangnya dengan ibu berkata, "Sudah bu! Biarkanlah dia melakukan hal yang disukai. Toh, kebiasaannya itu juga ujung - ujungnya akan membuahkan hasil bagi prestasinya di sekolah, bukan?"
"Iya, iya. Aku mengalah deh! Kamu itu yah, selalu saja belain anakmu ini. Lama - lama dia bakal jadi anak yang manja. Tapi, karena ada gunanya juga, maka kali ini, Djoni boleh bebas dari hukuman," kata ibuku dengan raut wajah jengkel.
Ibu lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Ayah menggandeng tanganku dan kami berdua masuk ke dalam rumah. Kucing malang yang tadi kutemui di tempat sampah masih ada dalam dekapanku. Sambil berjalan masuk ke dalam kamarku, adikku, Joanne sedang terlihat asik memainkan permainan rumah - rumahan perinya. Aku hanya menganggap bahwa dia sedang bersenang - senang, maka aku hanya menyapa lalu. Dibalasnya sapaanku dengan senyum manis itu.
Namun, tiba - tiba senyumnya kian menipis. Dahinya berkerut, tanda ada sesuatu yang membuatnya ingin bertanya. Aku merasakan apa yang dirasakan adikku juga. Dari ekspresinya, aku tahu ingin menanyakan tentang kucing yang masih terbaring lemah di lenganku. Aku pun meresponnya dengan berlari cepat menuju kamarku. Kukunci kamar, dan lega rasanya. Karena sekarang aku bisa terlepas dari beribu pertanyaan yang bisa saja ditanyakan oleh adikku. Kalau saja aku masih tetap berdiri dan menatapnya, mungkin sekarang aku harus memutar otak untuk mencari jawaban atas pertanyaan - pertanyaannya itu.
"Kucing yang malang," kataku lembut sembari mengusap - usap tubuh mungil kucing hitam itu dengan pelan. "Kau sangat kotor sekali, kucing manis. Sekarang aku akan membersihkanmu. Ayo! Kita ke mar mandi!"
Karena kamar mandi langsung berada di dalam kamarku, maka aku tak perlu repot - repot pergi ke kamar mandi yang berada di luar. Dengan santai dan gembira aku berjalan beberapa langkah ke dalam kamar mandi. Kucing itu kubawa serta. Kami berdua sampai juga di kamar mandi. Dengan perlahan kutaruh kucing itu di lantai. Aku mengangkat gayung dan menimba air di dalam bak. Secara perlahan - lahan, kutuangkan air di dalam gayung itu dan basahlah kucing itu dalam sekejap.
Namun, yang menjadi keheranannya adalah kucing tersebut sama sekali tidak terlihat panik dan takut seperti kebiasaan kucing pada umumnya. Kucing itu tetap nyaman walaupun diguyur air yang dingin. Dia hanya mengeluarkan suaranya yang imut beberapa kali. Dengan begitu aku lebih leluasa untuk memandikannya.
Beberapa saat kemudian, kucing tersebut telah terlihat bersih dan cantik. Baunya sudah harum dan dia terlihat sangat nyaman dengan kondisi yang sangat baik. Namun, masih ada satu kekurangan. Dia masih harus mengeringkan bulu - bulunya yang masih basah walaupun telah dikeringkan menggunakan handuk. Dengan cepat kubawa dia kembali ke dalam kamarku dan kukatakan di atas sebuah kain kering yang berbulu. Setelah itu, aku pergi ke lemari dan membukanya. Dengan penuh semangat kucari kipas yang biasanya aku gunakan. Kipas itu tidak terlalu besar, namun tak begitu kecil pula. Ukurannya sedang - sedang saja.
Setelah lama mencari, akhirnya aku menemukan kipas itu. Ternyata ada di dalam sebuah kotak yang disembunyikan di balik pakaian - pakaianku. Dengan cekatan aku mengeluarkan kipas itu dari dalam kotak yang sudah sedikit berabu itu, lalu kubawa pergi ke tempat kucing itu berbaring. Dia masih tetap setia menungguku, namun sekarang dengan sedikit badan yang gemetar.
Hal itu sontak membuatku sedikit panik. Jangan - jangan karena menungguku terlalu lama, akhirnya dia jadi menggigil seperti itu. Tak berlama - lama, aku langsung menyalakan kipas itu. Angin sedikit demi sedikit keluar. Aku lalu memasangnya dengan posisi menyamping agar seluruh badannya dapat menerima angin. Tak menunggu waktu lama, kucing manis itu kini telah kering. Aku lalu menyisir bulu - bulunya. Kini, kucing kecil manisku telah bersih dan cantik. Dia lalu ditempatkan di tempat tidur ku. Aku pun naik ke atas tempat tidur ku.
Aku lalu teringat akan buku yang tadi telah aku pinjam. Dengan cepat, kurang tasku yang juga terletak di atas tempat tidur ku. Kubuka dan ternyata buku itu masih ada di sana. Aku kira sudah tak ada lagi.
"Pikir apa aku ini ya?" batinku. Jelas - jelas buku itu berada di dalam tasku. Tidak mungkin bisa hilang karena sejak tadi ditaruh saja di dalam dan tas ini sama sekali tak pernah kubuka. Aku lalu mengeluarkan buku itu dan mulai membacanya. Sampul buku itu cukup seram, namun menurutku itulah yang membuatku tertarik untuk membaca buku ini. Dengan cepat kubuka sampulnya dan mulai membacanya dari bab pertama. Buku itu sangat tipis dan tidak terlalu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membacanya. Hanya dalam satu jam, aku sudah dapat menyelesaikan seluruh cerita di dalam buku yang berjudul "MISSY" itu. Ternyata buku itu menceritakan kucing malang yang hilang. Dan jika dilihat - lihat, buku itu ternyata memiliki cerita yang sama seperti pengalamanku yang kualami dari sejak sore tadi. Semua jalurnya sama persis.
"Entah ini kebetulan atau keajaiban? Aku pun tak tahu. Biarkanlah, tak terlalu menjadi masalah bagiku. Lagi pula, cerita dalam buku ini juga sangat menarik! Sangat bagus!" ujarku pada diriku sendiri.
Aku senyum - senyum sendiri, ketika kulihat kucing itu sudah tertidur pulas di sampingku. Karena cerita tadi menceritakan seekor kucing bernama "Missy", maka aku memutuskan untuk memberi nama itu pada kucing baruku ini. Daripada aku harus bersusah payah mencari - cari nama untuk kucing ini, mending kuberi saja dia nama ini.
Mulai saat itu, namanya Missy. Aku berjanji untuk menyayanginya seperti aku menyayangi keluargaku. Dia akan merawat dengan sepenuh hati. Dan seluruh kebutuhannya akan aku penuhi.
"Djoni! Buruan kemari dan makan malam!" teriak ibu dari dapur dengar suara lantang.
"Baik bu, Djoni akan segera ke sana!" Bawaslu dengan suara yang tak mau kalah kencangnya dengan ibu.
Aku lalu memasukkan kembali buku yang telah selesai ku baca itu ke dalam tas sekolah dan langsung melompat turun dari atas tempat tidur ku. Karena kucing terlihat tidur dengan sangat pulas, maka aku memutuskan untuk tidak membawanya untuk ikut makan denganku. Dengan sedikit mempercepat tempo langkah kakiku, aku berjalan keluar dari kamarku menuju ke dapur.
Ketika sampai di dapur kulihat ibu sedang sibuk menyiapkan masakannya di atas meja. Sungguh aneh penampakan yang kulihat itu. Ibuku yang selama ini tak suka memasak makanan yang enak - enak, hari ini berubah drastis. Biasanya beliau hanya memasak makanan seadanya saja. Nasi, tahu dan tempe goreng, dan kalau memang Ayah lagi punya banyak uang, ibu biasa menambahkan sayur kangkung dan sedikit buah. Namun, berbeda dengan malam ini. Ibuku telah bolak - balik dari dapur menuju ke meja makan kira - kira sebanyak sepuluh kali, hanya untuk membawa masakannya untuk ditaruh di atas meja makan. Aku hanya bisa terdiam melihat pemandangan aneh itu.
Namun, berbeda lagi dengan Ayah dan adikku, Joanne. Mereka terlihat biasa - biasa saja. Sambil duduk di atas kursi mereka memberikan senyum manis kepada diri mereka sendiri. Entah apa arti senyum itu, aku pun tak tahu.
Tiba - tiba, kebisuanku dibuyarkan oleh tepukan tangan sesorang di pundakku. Aku melirik dan ingin memastikan bahwa itu bukanlah hantu. Dan yah, memang betul itu bukan hantu. Itu adalah ibuku.
"Hei, Djoni! Jangan hanya bengong begitu, cepat bantu ibu membawa makanan ini ke meja!" pinta ibu dengan suara memerintah.
Aku hanya bisa menurutnya. Ibu memberikanku sebuah nampan. Aku lalu mengikuti ibu ke dapur. Ibu menaruh beberapa balkon yang berisi ikan kuah dan langsung menyuruhku untuk membawanya ke meja makan.
"Jangan sampai jatuh, nak! Kalau sampai jatuh, maka sebagai gantinya maka kamu ayang aku masak adalah kamu!" katanya sambil tertawa kecil.
"Baik bu!" aku membalas sambil ikut tertawa pula.
Walaupun nampan itu terasa sangat panas, namun aku berusaha untuk tidak melepas kedua tanganku dari nampan yang sedang kubawa ini. Akhirnya, sampailah aku di meja makan. Ayah dengan cekatan meraih baskom - baskom yang panas itu dari atas nampan, karena dari raut wajahku beliau dapat tahu bahwa aku sudah tak sanggup menahan panasnya nampan yang kubawa itu.
Tak berapa lama, akhirnya selesailah aku dan ibu membawa semua hidangan makan malam ke meja makan. Aku begitu lega, karena sekarang aku sudah bisa membayarkan kelelahanku dengan makan. Dari semua piring, makanan di piringkulah yang paling banyak. Aku sedikit malu dengan hal itu, karena itu memang bukanlah kebiasaannya saat makan. Aku selalu makan sedikit sekali. Apalagi ketika malam. Namun, perutku tak bisa diajak berkompromi. Sejak tadi perutku terus mengeluarkan bunyi - bunyian khasnya. Akibatnya, makanan hampir setinggi gunung Merapi. Walaupun begitu tak kupedulikan tatapan tajam dari ibuku. Ayah dan adikku hanya bisa membuka mata lebar - lebar dengan mulut terbuka lebar.
Kami pun mulai makan, dan Joanne membuka percakapan. "Kucing milik siapa yang tadi kakak bawa?" tanyanya dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Kalau ingin berbicara, habiskan dulu makanan di dalam mulut mu, Jo!" tegur Ayah dengan lembut.
"Oh, kucing tadi itu kakak bawa dari tempat sampah. Waktu kakak pulang dari perpustakaan, kakak melihat kucing itu seperti sedang mencari - cari makanan dan terlihat sangat kurus. Akhirnya kakak memutuskan untuk membawanya pulang untuk kakak rawat dan pelihara," jelasku pada Jo.
"Wah, senangnya hatiku. Kini aku bisa bermain dengan kucing itu ketika kakak sedang berada di sekolah. Boleh kan kak?" tanya Jo dengan wajah penuh harap.
"Boleh saja kok, adikku yang manis. Asalkan kamu berjanji untuk menjaganya dengan baik. Dan jangan sekali - sekali kau sakiti dia. Sekali saja kau sakiti dia, maka kakak tidak akan membiarkannya dekat - dekat lagi denganmu.
"Janji kak!" katanya dengan menaikan jari kelingkingnya. Aku lalu mengaitkan jari kelingkingku dengan punya nya dan mulai saat itu, dibuatlah perjanjian itu.
"Kamu boleh saja memelihara hewan apa pun yang kamu mau di dalam rumah ini. Tapi, ingat!" kata ibu dengan suara tegas. "Kamu harus menjaganya agar tidak mengeluarkan kotorannya di sembarang tempat. Mengerti kamu, Djoni?"
"Baik bu, Djoni paham!" jawabku datar.
Kami lalu membereskan makanan yang masih tersisa di atas meja makan karena sekarang semua orang sudah selesai makan. Ayah sudah duluan masuk ke dalam kamarnya dan tidur. Sedangkan Jo masih terus menonton kartun kesayangannya dengan serius. Akulah yang membantu ibu membereskan sisa - sisa makanan.
"Ibu, bolehkah jangan ibu buang makanan sisa ini dan memberikannya untukku saja?" tanyaku dengan pelan.
"Untuk apa? Masih belum kenyang saja kamu?" balas ibu dengan sedikit jengkel.
"Bukan bu. Makanan - makanan sisa ini akan aku berikan kepada kucingku itu. Kasihan dia belum makan sejak sore tadi."