Missy, kucing kesayanganku itu pun makan dengan sangat lahapanya. Semua makanan yang ditaruh di atas piringnya perlahan - lahan mulai habis. Hingga akhirnya piring itu pun kosong. Tak tersisa sebutir nasi pun di atasnya.
Aku merasa senang melihatnya bisa makan sampai kenyang. Kini kelaparan sudah tak dapat menggangu tidur malamnya. Makanan-makanan buatan Ibu sudah pasti tak akan lenyap begitu saja, akibat dimakan habis oleh Missy ketika tengah malam tiba.
Dengan lembut kuraih kucing manis berbulu hitam tersebut. Ku letakkan tubuh mungilnya di atas sebuah kain bekas. Ku rasa kain itu sudah cukup untuk membuatnya tidur nyenyak selama malam ini. Esok setelah pulang sekolah, aku akan pergi ke toko hewan dan mencari tempat tidur yang nyaman untuknya.
Kucing itu pun tertidur pulas di atas sepotong kain bekas yang kuletakkan di bawah meja belajarku. Mataku pun mulai mengantuk. Tanpa tergesa-gesa, aku langsung naik ke atas tempat tidurku. Setelah berdoa, aku langsung tidur.
Selamat tidur Missy 😘. Mimpi indah! See you tomorrow...
*****
Pagi kini telah datang lagi. Kilaunya memancar lewat celah - celah tirai jendela kamarku. Kubuka mataku pelan - pelan, berusaha melihat jam dinding yang terpaku tepat di dinding sebelah kananku. Ternyata, waktu sudah menunjukkan pukul 06.15. Sudah waktunya bagiku untuk bangun.
Aku lalu berdoa dan langsung turun dari atas tempat tidurku. Dengan cepat aku langsung berlari ke kamar mandi.
(5 menit kemudian)
Dengan handuk yang melilit tubuhku, aku berlari kembali menuju kamarku. Kubuka pintu kamarku dan betapa terkejutnya diriku.
Missy sudah tak ada pada tempat tidurnya semalam. Hanya sehelai kain dengan sedikit bulu-bulu hitam di atasnya yang kulihat di bawah meja belajar. Entah kemana perginya kucing itu, aku sama sekali tak tahu. Aku harap dia hanya berkeliaran di dalam rumah.
Aku lalu melepas handuk yang sedang menutupi tubuhku. Dengan cepat, kubuka lemari pakaianku dan langsung mengambil pakaian seragamku. Secepat kilat kupakaikan pakaian itu ke badanku.
Kini aku sudah rapi. Saatnya untuk sarapan pagi. Aku meraih tas sekolah yang kutaruh di atas meja belajarku dan langsung menuju ke dapur.
Sesampainya di dapur, aku langsung duduk di atas kursi. Dan tanpa menunggu yang lainnya datang, aku langsung makan duluan. Tak sampai lima menit semua sarapan di atas piring telah masuk ke dalam lambungku.
Rasanya sudah cukup kenyang. Kekenyangan ini dapat membuatku fit dan bersemangat sepanjang hari ini di sekolah nanti.
Tiba - tiba, ketika aku hendak berdiri dan pergi ke sekolah, ada sesuatu yang menyentuh kakiku yang belum beralaskan sepatu. Aku tahu. Apa benda itu sebenarnya.
Ya. Dia adalah Missy. Kucing kesayanganku. Aku sontak kaget akan kehadirannya. Dia membuatku bahagia. Aku mengira bahwa dia telah hilang. Tapi, syukurlah. Dia tak kemana - mana.
"Dari mana saja kau kucing manis?" Sambil membungkukkan badan, aku mengambil kucing itu dan menaruhnya di atas pangkuanku.
"Sejak tadi dia bermain denganku. Dia sangat manis dan menggemaskan!" seru adikku yang sedang berjalan menghampiriku di meja makan.
"Tentu saja dia sangat manis," sarkasku pada Lily, adik perempuanku. "Bolehkah kau berjanji untuk menjaganya saat kakak sedang di sekolah?"
"Janji, I swear!"
"Adik yang penurut," kataku sambil tersenyum kecil. "Baiklah kalau begitu. Kakak ke sekolah dulu yah. Da da!!!"
Aku berdiri dari tempat dudukku dan menyerahkan kucing manisku itu pada gadis cantik berusia lima tahun itu.
"Jaga dia baik-baik, Lily!" tegasku sekali lagi.
Sepatu telah kusarungkan di kedua kakiku. Kini saatnya untuk berangkat ke sekolah.
Aku tak perlu menyalami kedua orangtuaku lagi karena mereka sudah tak lagi berada di rumah. Jarak menuju tempat mereka bekerja yang sangat jauh menyebabkan mereka harus bangun dan berangkat pagi - pagi sekali.
Jam tanganku menunjukan pukul tujuh kurang lima belas menit. Tanpa membuang banyak waktu, aku langsung berjalan menyusuri jalanan yang biasanya kulewati ketika hendak pergi ke sekolah.
*****
Satpam kami, Pak Bagas tengah berjalan mondar-mandir di depan pagar sekolah. Sambil melirik jam tangannya beliau berteriak lantang dengan suara serak basahnya, "Percepat langkah kaki kalian!!! Sisa dua menit lagi gerbang sekolah akan Bapak tutup!!!"
Mendengar hal itu, aku langsung berlari sekencang mungkin menghampiri gerbang sekolah yang nyaris tertutup. Anak - anak lain pun tak mau kalah kencangnya berlari. Berpacu dalam kecepatan. Jika tidak, maka bersiaplah untuk berdiri di luar gerbang hingga jam istirahat tiba.
"Tunggu Pak!!!" Aku berusaha berteriak sekeras mungkin. Namun sayangnya, pria paruh baya yang tengah berada di depan kami ini mengalami sedikit gangguan pada indera pendengarannya. Itulah yang membuat teriakanku dan juga teman-teman yang lainnya sama sekali tak ada gunanya.
Tapi pagi ini sedikit berbeda dengan pagi pagi yang lainnya. Beliau terlihat seperti mendengar apa yang kami teriakkan. Pagar yang sejatinya sudah tertutup sejak semenit yang lalu, dibukanya kembali.
Kami yang sudah hampir mendekati gerbang sekolah berusaha menambah laju kecepatan berlari kami.
Akhirnya, dengan napas yang tersengal-sengal kami dapat memasuki juga halaman depan sekolah.
Setelah memastikan semua siswa telah masuk ke dalam lingkungan sekolah, beliau lalu menutup gerbang dan menguncinya dengan gembok besar berwarna keperakan.
*****
Teng teng teng teng teng!!!!!! Bunyi bel terdengar menggema di seluruh wilayah sekolah. Tandanya jam istirahat telah tiba.
Ibu Murni, Guru Bahasa Indonesia yang tengah duduk di meja guru memerintahkan kami semua untuk bangkit berdiri.
Skya, ketua kelas kami dengan cepat memukul meja belajarnya, pertanda memberi salam.
"Selamat pagi Ibu Guru..." seru kami kompak.
"Selamat pagi anak-anak," balas Ibu Murni dengan suara khasnya yang lembut.
Kami lalu berjalan satu per satu ke depan dan menyalami tangan Ibu Murni. Setelah itu semua siswa berhamburan keluar menuju ke kantin.
"Kelvin, buruan! Nanti kita tak dapat tempat lagi di kantin," seruku pada seorang teman baikku - Kelvin Praditya.
"Iya, bentar!" Lelaki bertubuh lebih tinggi sedikit dariku itu tengah memasukan buku-buku pelajarannya ke dalam tasnya.
Tak perlu menunggu lama, Kelvin lalu berlari kecil ke arahku. Kami berdua lalu berjalan menuju kantin. Terlihat pula beberapa teman-temanku dari kelas IPS turut berjalan ke arah kantin.
Setelah sampai di kantin, kami berdua lalu mengambil tempat duduk di meja yang berada di sudut kanan kanan kantin. Hampir semua meja sudah tak terlihat kosong. Hanya beberapa saja yang belum ditempati.
Memang beginilah keadaan kantin di sekolah kami ketika jam istirahat datang. Apalagi jam istirahat pertama tiba. Sudah dapat dipastikan bahwa semua meja akan dengan cepat sekali dipenuhi siswa-siswa yang tengah lapar berat.
Oleh karena itu, bagi kelas yang keluar istirahatnya terlambat harus menunggu sekitar sepuluh menit lagi. Baru setelah itu, mereka dapat menempati meja yang sudah kosong. Untunglah jam istirahat kami cukup panjang. Tiga puluh menit sudah cukup untuk mengenyangkan kelaparan yang tengah melanda.
Kelvin memanggil seorang lelaki yang kira-kira berumur tiga puluhan tahun. Lelaki tersebut adalah salah satu pelayan di kantin ini. Namanya Pak Sudan.
"Pak Sudan! Kami mau pesan sesuatu," teriak Kelvin dari meja makan kami, yang sontak membuat semua mata berbalik menatap kami berdua.
Kelvin sama sekali tak peduli dengan tatapan tajam siswa-siswa tersebut. Baginya hal itu merupakan sesuatu yang biasa.
Pak Sudan pun datang dan langsung bertanya dengan suara pelan, "Mau pesan apa, Nak?
"Kamu pesan apa Djoni?" Lelaki itu menatapku dengan wajah penuh tanya.
Aku hanya membalasnya dengan berkata, "Seperti biasa."
"Nasi kuning spesial satu, Nasi goreng pakai telur satu, nutri sari dingin satu, dan es tehnya satu. Jangan lupa juga dengan keripik singkong balado satu bungkus yah Pak!"
Setelah mendengar semua ucapan dari mulut Kelvin, tanpa banyak bicara dan hanya menganggukkan kepala, pria bertubuh pendek itu lalu berjalan meninggalkan meja tempat kami duduk.
Lima menit kemudian, Pak Sudan telah kembali ke meja kami dengan membawa sebuah nampan. Di dalam nampan tersebut, terdapat pesanan sesuai dengan apa yang dikatakan Kelvin kepadanya tadi.
Seraya mengulurkan tangan untuk mengambil nampan itu Kelvin berkata, "Terima kasih banyak Pak."
"Sama-sama Nak Kelvin," ujarnya ramah.
Aku lalu membantu Kelvin untuk mengeluarkan makanan dan minuman tersebut dari nampan. Nampan sudah kosong dan kini semua hidangan tersebut telah tertata rapi di hadapan kami masing-masing.
Pak Sudan lalu meraih nampan itu dan berjalan meninggalkan kami menuju ke meja yang lain.
Kelvin terlihat asyik menyantap makanan yang berada di depannya itu. Dia sama sekali tak mau diajak mengobrol ketika sedang makan. Aku hanya bisa sesekali meliriknya.
Aku tak berusaha untuk menyamai kecepatan makannya yang terbilang cukup cepat. Perlahan namun pasti, aku memasukkan sesuap nasi kuning yang kata Kelvin enak itu ke dalam mulutku.
Beberapa menit kemudian, piring Kelvin sudah kosong. Tak tersisa sebutir nasi pun didalamnya. Dia lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Djoni," katanya sambil mengusap-usap perutnya, "aku merasa sangat kenyang sekali. Rasanya seperti perutku ini ingin pecah saja."
Mendengar itu aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Dia lalu cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arahku, memperlihatkan raut muka sedikit tak senang.
"Apa yang kamu tertawakan? Apanya yang lucu?"
"Tidak. Bukan apa-apa. Tak perlu dibahas," kataku sambil berusaha untuk tidak tertawa lagi.
Untunglah Kelvin sangatlah pengertian denganku. Dia dapat kembali terlihat seperti biasanya.
"Djoni!"
"Ya," balasku.
"Apa kamu bisa membantuku?" Wajahnya seperti mengharapkan jawaban ya dariku.
"Menolong apa? Kamu sedang ada masalah apa? Katakan padaku."
Kelvin lalu menarik napas panjang dan memperbaiki posisi duduknya kembali menjadi baik.
"Apa aku bisa tinggal bersama denganmu di rumahmu?"
Aku hanya bisa terdiam sesaat. Apa yang harus kukatakan padanya? Aku yakin Ayah pasti mengizinkan Kelvin untuk tinggal bersamaku di rumah. Namun, berbeda dengan Ibu. Ia pasti tak memberikan izin. Tapi, apa salahnya mencoba dahulu? Siapa tahu Ibu berubah pikiran.
Kelvin yang tak kunjung mendapat jawaban dariku mulai tampak gusar. Dia hampir patah semangat.
Sambil menepuk pundaknya pelan aku berkata, "Boleh saja kawan. Tapi, apakah aku boleh tahu apa alasan sehingga membuatmu tidak tinggal di rumahmu dan harus tinggal bersamaku?"
Mendengar aku menyetujui permohonannya, Kelvin lalu tersenyum gembira. Dia lalu memelukku beberapa saat lalu melepaskannya.
"Terima kasih sahabat terbaikku sedunia!!!" serunya dengan suara sedikit lantang. "Kedua orangtuaku baru saja berangkat ke Australia tadi pagi. Ayahku sedang menjalankan tugas kantornya dan Ibu diajaknya serta. Mereka berdua pergi tanpa memberitahukan kepadaku. Hanya selembar surat yang menjelaskan kepergian mereka. Itulah alasan aku ingin agar kau bisa meminjamkan rumahmu untuk kutinggali. Tak lama. Hanya sebulan saja orangtuaku pasti sudah akan kembali. Setelah mereka pulang, aku bisa kembali tinggal di rumahku seperti biasa."
Setelah menjelaskan alasannya panjang lebar, bel tiba-tiba berbunyi dengan sangat nyaring. Pertanda jam istirahat kedua telah berakhir. Aku dan Kelvin pun bangkit berdiri dari meja kami dan langsung berjalan menuju ke kelas untuk menerima pelajaran selanjutnya.
*****
Jam pulang pun tiba. Kami semua lalu bangkit berdiri, memberi salam, menyalami tangan guru, dan langsung keluar dari dalam kelas.
Sementara itu Kelvin sedang merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.
Lelaki itu menghampiriku. Dengan gembira kami berdua berjalan bersama-sama meninggalkan ruang kelas.
Siang itu matahari tak terlalu bersinar terang. Cuaca siang ini sedikit berawan. Itulah penyebab mengapa kami berdua berjalan dengan begitu santainya.
"Kelvin, apakah kamu sudah menyiapkan semua barang-barang yang ingin kau bawa nanti?" tanyaku memecah keheningan.
"Maksudmu?" Kelvin balik bertanya, bukannya menjawab aku.
"Maksudku pakaian dan benda-benda lainnya yang akan kau gunakan ketika tinggal di rumahku nanti. Apakah kamu telah menyiapkan semuanya?"
"Belum," jawabnya santai.
"Ya sudah. Saat ini juga kita ke rumahmu, supaya kamu bisa membereskan semua barang bawaanmu. Setelah itu, kita ke toko hewan. Ok?"
"Toko hewan? Untuk apa?"
"Kamu tak perlu tahu sekarang. Nanti juga kamu akan tahu," jawabku sambil tertawa kecil.
Kami berdua lalu berjalan melalui trotoar jalan menuju ke rumahnya Kelvin. Untungnya, jarak antara sekolah dan rumahnya tak begitu jauh. Jadi, kami hanya berjalan sekitar kurang dari delapan menit dan langsung sampai.
.
..
...
....
.....
...
....
.....
......
.......
......
.....
....
...
.....
....
...
..
.
Mau tahu kelanjutannya? Makanya jangan lupa vote, comment, and share yah!!!
I LOVE YOU MY READERS!!! 😘😘😘
SEE TOU ON THE NEXT CHAPTER!!!