Sempat terpikir olehku, apakah alasan yang tepat hingga aku harus tersenyum...??
Aku dipindah tugaskan ke Bandung.
Maaf tidak sempat pamit, soalnya buru-buru.
Sampaikan salamku buat Vina, bilang aku sangat merindukan saat makan bersamanya.
Aku menatap sekali lagi sms itu lalu menghembuskan napas. Dia mengirim sms itu padaku dengan maksud menitip salam pada Vina? Mengapa tidak langsung saja mengsms Vina, pikirku.
Smsnya tak kubalas.
...
Keseharian kami dirumah sangat membosankan, sejak seminggu lalu Riky ditugaskan ke Bandung terasa kesunyian itu menyayat batinku. Ditambah lagi dengan sikap Vina yang rese membuatku semakin malas berada dalam rumah yang semacam penjara.
Tak ada sms dan telepon darinya, ingin menyapanya terlebih dahulu namun gengsi dalam diri membuatku selalu mengurungkan niat baik itu.
"Kak, kapan ya kak Riky ada libur? Kangen banget ingin ketemu. Kalau ada dia pasti nggak sunyi kayak gini. Kak Riky kan orangnya rame." Kata Vina
Aku hanya tersenyum sinis mendengarkan kata-katanya.
Semenjak papa dan mama bercerai, disusul dengan kepergian mama untuk selamanya Vina adalah satu-satunya orang yang selalu bersamaku. Umur kami yang hanya terpaut 2 tahun membuat kami seperti seorang saudara kembar. Bedanya Vina tumbuh sebagai gadis manis yang cantik, manja dan selalu riang. Sedang aku adalah kakak yang selalu dipenuhi beban sehingga penuh keseriusan dan cenderung cuek. Papa hanya menjenguk kami 2 kali dalam setahun karna beliau tinggal bersama keluarga barunya diluar kota.
Karna omongannya tak di gubris, Vina lalu memilih untuk pergi ke kamarnya.
" Kalau kamu ada libur, nanti kita jalan-jalan ke Bandung." Kataku kemudian saat dia akan membuka pintu kamarnya.
Vina lalu membalikan badannya dan berlari kembali ke arahku, "Kakak serius?" tanyanya dengan senyum merekah pada wajahnya yang manis. Aku membalasnya hanya dengan anggukan sambil tersenyum tipis. Dia lalu memelukku dan mencium pipiku.... "Makasih ya kak." Katanya sambil berlari girang kembali kekamarnya.
...
Hujan hari ini tidak menjadi alasan agar mengurungkan niat kami untuk pergi ke Bandung. Aku sama sekali tidak menghubungi Riky mengenai rencana kami ke Bandung. Yang aku tahu perjalanan kami hari ini adalah untuk berlibur, kalau bisa bertemu dengannya ya syukur kalau tidak berarti Tuhan belum mengijinkan pertemuan kami lagi.
"Nanti kita langsung ke tempat kak Riky kan, kak?" tanya Vina padaku.
"Kita kesana kan tujuannya liburan, ya kalau ketemu Riky syukur, kalau tidak ya mau gimana lagi?" jawabku santai.
"Maksud kakak? Kakak nggak ngasih tau kak Riky kalau kita mau kesana?" tanyanya lagi dengan nada sengit.
Aku tak menjawabnya, Vinapun juga tak ingin membuat itu menjadi pertengkaran lagi diantara kami sehingga dia memilih diam dan sibuk dengan Handphonenya. Selama perjalanan menuju Bandung tak ada sepatah katapun yang terucap dibibir kami.
"Iya kak, kami dalam perjalanan ke Bandung. Kangen berat ingin ketemu kakak." Tiba-tiba terdengar suara Vina bercakap-cakap dari ponselnya.
Aku hanya menarik napas dalam mendengar canda tawanya selama percakapan itu. Ntah apa yang mereka bicarakan. Aku lalu mengambil headset dan mengencangkan musikku agar suara Vina tidak terdengar lagi olehku.
Sejujurnya aku pun tak mengerti dengan perasaan ini. Persahabatanku dengan Riky sudah sangat lama, dari semester pertama sampai kelulusan kami. Dari sekian banyak orang yang dekat denganku, Riky adalah orang yang paling mengerti aku. Namun belakangan saat aku mengenalkannya pada Vina, ntah seperti ada penghalang antara aku dan Riky. Bahkan hubunganku dengan Vina yang memang sejak awal kurang baik, malah semakin buruk. Saat mereka bisa sangat dekat dan bisa tertawa bersama, jujur aku merasa iri. Saat aku tahu mereka mempunyai makanan kesukaan yang sama dan hobby membaca komik dengan tokoh yang sama, aku baru mulai menyadari bahwa selama ini aku terlalu cuek untuk bertanya sesuatu tentang mereka. Semua memang karena kesalahanku, karna kehidupanku yang terlalu cuek akan sesuatu.
...
2 hari kemudian kami kembali ke Jakarta.
Semua benar-benar berjalan sesuai dengan keinginan Vina, liburan yang mungkin sangat mengesankan dalam hidupnya. Bisa makan malam bersama dengan Riky, bisa jalan-jalan berdua dengannya menikmati Indahnya Kawah putih, Megahnya Tangkuban Prahu dan menikmati banyaknya kebersamaan mereka yang ntah perasaan apa yang dirasakan keduanya.
"Senang ya bisa menikamati Bandung." Kataku sinis pada Vina.
" Iyalaha kak, ini yang selama ini aku harapin. Bisa merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya tanpa ada pikiran sedikitpun." Katanya padaku, masih dengan senyum manisnya.
" Apa? Pikiran...? emang selama ini kamu mikirin apa? Orang selama ini hidup kamu anteng-anteng aja kan?" tanyaku kemudian merasa kalau apa yang dia ucapkan merupakan sindiran. Kini dia yang balik menjawab pertanyaanku dengan senyuman.
Merasa terhina dengan senyumannya, namun kupaksakan diri untuk menahan amarah itu. Aku lalu memutuskan untuk ke kamar dan mengirim sms ke Riky dengan kata-kata lebih kepada sebuah ultimatum.
AKU HARAP KAMU BISA LEBIH SERIUS DALAM SEBUAH HUBUNGAN.
AKU SANGAT SAYANG PADA VINA, DIA SATU-SATUNYA ORANG YANG AKU PUNYA SEKARANG.
KALAU NIAT KAMU HANYA BUAT MAIN2, JANGAN VINA !!!
KALAU KAMU MACAM2, AWAS SAJA.
Sebelumnya aku tak pernah sekasar ini pada Riky, ntah apa yang membuatku seperti ini, rasa sayangku terhadap Vina atau rasa cemburuku dengan kedekatan mereka.
...
Selanjutnya dalam hidupku, hanya ada nama Riky dalam setiap cerita Vina. Hanya ada tawa kegirangan Vina saat berbicara di ponselnya, dan hanya ada senyum simpul Vina saat membaca sms. Dan aku tahu ada Riky di balik semua itu.
Hanya ada Riky dan Vina...
...
6 bulan berlalu. Hari ini adalah hari ulang tahun Vina yang ke 19, aku mengkonsepnya sebagai sebuah kejutan buat adikku satu-satunya. Dengan kerja kerasku, aku berhasil menabung untuk memberikan pesta ulang tahun yang meriah buatnya. Aku sangat menyanyanginya.
Pesta itu berlangsung sangat meriah, dia mengundang teman-temannya dan tak lupa Riky.
" Cake pertama buat orang yang telah mengenalkan aku arti Cinta, yang mengajari aku untuk bertahan dan lebih menghargai hidup. Makasih buat segalanya kak Riky." Kata Vina sambil memberikan kue ulang tahunnya yang pertama buat Riky.
Jujur aku ingin marah saat mendengar ucapannya kalau kue itu bukan untuk aku, aku kakak kandungnya kenapa bukan aku? Namun saat gejolak itu muncul, kakiku serasa tak kuat untuk berdiri saat Vina melanjutkan kata-katanya.
" Dan Cake selanjutnya buat orang yang selalu sayang dan cinta padaku. Yang rela mengorbankan segalanya buat aku, kakak...." dia lalu mulai menangis... "Kak Ezzie, makasih buat segalanya yang kakak lakukan buat Vina. Kakak adalah segalanya buat Vina." Dia lalu menghambur masuk dalam pelukanku dan menangis terisak. Aku pun tak kuasa menahan tangisku. Saat aku mulai melepas pelukannya, tangan Vina meremas keras bahuku. "Kakak..." katanya.
Aku memegang tangannya, tangannya dingin. Aku tak tahu mengapa, dia lalu pingsan.
Riky yang melihat kejadian itu langsung pucat pasi dan bergegas menelpon ambulans. Aku mengatakan pada undangan untuk tetap menikmati acara selanjutnya. Aku berniat untuk membaringkan Vina pada sebuah kamar di hotel itu, namun Riky meminta untuk segera membawanya ke Rumah Sakit.
"Vina hanya kecapekan, paling sebentar lagi dia siuman." Kataku.
" Dia harus dibawa ke Rumah Sakit. Sekarang!!" kata Riky tegas.
...
"Vina terkena kanker otak stadium akhir." Kata Riky
Air mataku tak sanggup untuk kebendung lagi. Ini adalah air mata yang tak pernah aku keluarkan sejak 3 tahun lalu setelah kepergian mama. Betapa bodohnya aku, adikku satu-satunya selama ini menanggung sakit sendiri dan aku sama sekali tak tahu apa yang dia rasakan.
"Kenapa tak memberitahuku? Kenapa?" teriakku
"Vina memintaku berjanji untuk tidak memberitahukanmu. Ini sungguh berat buatku, tapi aku harus melakukannya. Aku juga sangat menyayangi Vina." Jawabnya sambil menunduk.
Kami hanya terdiam menunggu dokter keluar dari ruang pemeriksaan.
"Kankernya stadium akhir. Kami tidak dapat berbuat banyak. Hanya berharap mujizat dari Yang Kuasa. " kata dokter pada kami.
Aku hanya bisa menangis, menangisi ketidak pekaanku terhadap sesuatu. Aku harus berbuat apa?
"Vina siuman." Kata Riky kemudian.
Aku lalu lari menuju ruangan rawat tempat Vina berbaring. Tanpa pikir panjang sesampainya dikamarnya aku langsung memeluknya erat dan menangis terisak.
"Kenapa kakak nangis?" tanyanya parau.
"Sayang, kenapa tidak cerita sama kakak? Setidaknya kakak bisa berupaya untuk kesembuhan Vina." Kataku masih dengan tangis.
"Akh... kakak jangan nangis. Kakak mana bisa melihat Vina dengan baik kalau pandangan kakak dikaburi air mata." Katanya kemudian.
"Kakak... jangan Nangis pokoknya. Vina sehat koq." Katanya lagi.
"Iya sayang... kakak tidak nangis lagi." Aku lalu menghapus air mataku dan mencoba untuk tersenyum.
" Nah, gitu kan manis. Kakak harus selalu tersenyum ya, kayak Vina. Biar lesung pipit kakak itu terlihat jelas. Okay...!" katanya sambil mengancungkan ibu jarinya.
Sejujurnya aku malah tambah ingin menangis. Dia yang hidupnya dipenuhi kesakitan masih tetap berupaya untuk selalu tersenyum dan riang gembira. Sedangkan aku? Hanya berusaha serius menjalani kehidupan sehari-hariku.
...
Masa itu datang. Masa yang sangat menyulitkan bagi Vina dalam memperjuangkan hidupnya.
Aku tahu sakit yang dirasanya sungguh sangat membuatnya menderita. Dengan segala alat yang terpasang pada tubuhnya, ingin rasanya diriku yang menggantikan dia berada pada posisi itu. Saat penyakit itu datang Vina hanya bisa menangis, merintih menahan sakit di kepalanya.
"Sayang... sabar ya" hanya itu kata-kataku.
Sampai akhirnya Vina mengatakan sesuatu padaku.
"Kak... Vina pamit mau pergi. Mama dah ajak Vina untuk pergi. Kakak harus bisa jaga diri ya, ingat harus selalu tersenyum. "
"Jangan ngomong gitu. Vina harus sembuh. Besok kan Vina akan operasi. Pasti Vina sembuh ya sayang." Kataku sambil berusaha menahan tangis.
"Iya Vina akan sembuh dan nggak akan sakit lagi. Kakak harus janji kalau Vina pergi, kakak nggak boleh nangis. Harus senyum. Janji...?!"katanya lagi sambil mengangkat jari kelingkingnya meminta persetujuan.
Aku mulai mengais, mengingat terakhir kali aku mengancungkan jari kelingkingku padanya untuk membuat suatu janji. Kenangan masa kecil kami. Sudah begitu lama. Dia masih mengingatnya. Aku lalu memeluknya merasakan setiap detik kenangan yang masih mampu aku rasakan saat dia berada disisihku saat ini. Kenangan masa kecil kami yang begitu indah.
"Iya sayang. Kakak janji." Kataku sambil menyatukan jari kelingking kami.
Aku lalu menyapu air mataku dan menatap mata adikku tersayang. Membelai rambutnya dan berupaya untuk menerima segala kenyataan yang akan terjadi. Saat matanya akan terpejam karna belaianku, dia lalu kembali membukanya dan menatapku lagi.
"Ada pesan buat mama?" tanyanya.
"Sampaikan salam sayang kakak." Kataku dengan senyum yang menurutku itulah senyum terindahku dalam hidupku. Vina membalasnya dengan senyum manisnya pula.
"Vina tidur ya, kak... Belai rambut Vina ya, biar Vina bisa cepat tidur, biar sakitnya tidak terlalu terasa. " katanya kemudian, aku hanya mengangguk.
" Salam buat Papa dan Kak Riky." Katanya lalu memintaku mencium keningnya dengan bahasa isyaratnya. Aku lalu mencium keningnya, dan sekali lagi sebelum menutup matanya dia berkata "Vina sayang Kak Ezzie".
Aku tahu mungkin itu kata-kata terakhirnya, sampai akhirnya dia tertidur dalam senyumnya yang indah, tanganku masih tetap membelai rambutnya. Aku tahu dia merasakan sakit, tapi aku tak mampu untuk berkata lagi, tak mampu untuk mengatakan bahwa aku juga sangat menyanyanginya. Hanya berharap kalaupun ini hari terakhir kami bersama, biarlah Vina bisa pergi dengan tenang dan tetap meninggalkan kenangan indah saat kami bersama.
...
Aku menepati janjiku, tak setetespun airmata yang aku linangkan saat kepergiannya. Justru aku mengiringi kepergiannya dengan senyum indah. Setidaknya Vina sudah tenang dan tidak merasa sakit lagi.
"Vina menulisnya sehari sebelum dia pergi." Riky menyodorkan sebuah amplop surat padaku.
Aku menerimanya dengan hati bergetar. Masih adakah amanat lain darinya yang tidak sempat diomongkannya sebelum dia pergi? Aku membayangkan betapa sulitnya baginya untuk menahan rasa sakit penyakit itu, tapi ditengah kesakitannya dia masih sempat menuliskan surat untukku. Oh.... Adikku sayang, betapa tulusnya kasihmu.
Aku lalu membuka amplop surat itu, dan mulai membacanya ...
Kakakku tersayang, Alexandria Ezzie...
Ini pertama kalinya aku menulis nama lengkap kakak dengan benar.
Kakak...Vina tau kalau kakak telah berhasil untuk tidak menangis saat mengiringi kepulangan Vina. Tapi Vina tidak yakin kalau kakak akan menahan air mata saat membaca tulisan Vina yang jelek ini, untuk itu Vina akan memaklumi hal itu.
Jujur Vina merahasiakan penyakit ini karna tak ingin menambah beban kakak. Sudah merawat Vina dan selalu menemani Vina selama ini adalah kado terindah dalam hidup ini. Kakak yang tanpa masalahpun sangat susah untuk tersenyum apalagi kalau kakak tau tentang penyakit Vina, betapa wajah kakak akan tampak lebih frustasi dari biasanya.
Kak Riky, tanpa sengaja dia melihatku waktu aku cek up ke RS. Akhirnya aku jujur padanya tentang penyakit ini. Aku mati-matian memohon padanya untuk merahasiakan ini. Jangan marah padanya, aku yang salah. Karna aku, dia harus pindah ke Bandung. Dia melakukannya agar dapat terhindar dari kakak dan dari rasa bersalahnya mengiyakan kemauanku. Maafkan kesalahan kami berdua ya, kak...
Sejujurnya saat aku tahu akan penyakit ini, aku sudah ingin cepat-cepat mengakhiri hidupku. Aku ingin cepat bersama mama, aku berpikir tak ada gunanya aku di dunia karna kakakpun tak pernah ada waktu untuk mendengar cerita-ceritaku. Aku rindu masa kecil kita dulu yang penuh kebersamaan. Aku sadar kakak mulai cuek dengan segalanya saat keluarga kita dilanda masalah. Senyum dan keceriaan kakak mulai pudar. Sungguh saat rasa sakit itu datang, dan mengingat semua kejadian-kejadian dalam keluarga kita, rasanya aku ingin mati. Sungguh sakit kak, menyimpan perasaan ingin adanya kebersamaan lagi namun tak tercapai. Tapi aku bersyukur Tuhan masih mengijinkan aku hidup untuk menikmati kebahagiaan setelah kakak mengenalkanku dengan kak Riky.
Dia yang mengajarkanku untuk bertahan, untuk menghargai hidup dan segalanya yang telah dianugrahkan Tuhan. Sungguh aku sangat berterimakasih untuk semua yang kak Riky ajarkan buatku.
Kak Ezzieku sayang... aku tahu kalau kebersamaanku selama ini dengan kak Riky sangat membuat kakak gundah,aku tahu kalau kakak merasa cemburu tapi kakak berusaha menyembunyikannya. Seharusnya kakak peka terhadap sesuatu. Aku harap kakak nantinya akan menyadari segalanya. Kak Riky sama sekali tidak mencintaiku. Orang yang dia cintai adalah kakak.
Selama ini dia sudah menunjukan rasa itu, tapi kakak sama sekali tidak meresponnya, sehingga dia berusaha untuk mulai melupakan rasa itu. Kalau kakak juga punya rasa yang sama, tolong jangan menyiksa diri kakak.
Akhirnya... aku ingin memohon maaf atas segala kesalahanku. Sudah buat kakak susah, buat kakak nangis, buat kakak cemburu, buat kakak marah dan banyak hal lainnya... satu hal yang perlu kakak tahu, Vina sedih kalau lihat kakak murung. Vina ingin, kakak adalah kakak Vina seperti waktu kita kecil dulu. Kakak yang ceria dan penuh senyum.
Kak Ezzieku yang manis, ini adalah surat terakhir Vina...
Vina mohon kakak jaga diri kakak baik-baik, jangan sampai sakit. Harus kuat dan sehat sampai nanti menikah, punya suami dan anak-anak yang lucu. Janjii ya...!!!
Aku punya hadiah buat kakak, hadiah terakhir,tolong dijaga ya. Sebelumnya terimakasih karna aku bisa merasakan ulang tahun yang indah diakhir hidup aku.
Sekali lagi kakakku Alexandria Ezzie, is the best ....
I love u ...
Adikmu yang manja...
Vinazia Eva.
Aku mengakhiri membaca surat itu. Aku tak kuasa untuk manahan diriku agar tidak menangis. Kedekap erat surat terakhir adikku didadaku. Aku menangis sejadi-jadinya membayangkan betapa inginnya adikku merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, namun aku tak peka dengan keinginannya.
Maafkan kakak, sayang ...
Riky memberikanku sebuah album photo, aku membukanya dan melihat satu per satu foto-foto yang ada di dalamnya. Itu adalah kumpulan foto-foto kami saat keluarga kami masih utuh. Ada senyum mama,papa, vina dan aku. Semua foto-foto kebahagiaan kami. Aku menangis saat melihat wajah-wajah kami yang penuh senyum kebahagiaan. Sampai akhirnya tiba pada fotoku dengan Vina 3 tahun lalu sebelum mama pergi, foto saat kami liburan ke bali.
Senyum bahagia kakak yang tak akan aku lupa. Aku mohon kakak seperti ini.
Aku menangis lagi. Aku sangat merindukannya. "Vina, kakak Rindu Vina..." isakku.
Riky merangkulku, membelai rambutku. "Sabar ya..." katanya lembut.
Pada halaman terakhir Vina memasang foto kami bersama. Aku,dia dan Riky.
Meski tak ada Vina, kakak dan kak Riky harus tetap bersama. Saling menyanyangi ya. Aku mohon jangan saling menyimpan perasaan kalian.
Aku tersenyum kali ini, senyum yang tenang namun bermakna.
Riky menatapku. Dengan senyum yang tak biasa...
"Aku mencintaimu..." ungkapnya.
"Aku juga..." sahutku.
Aku tahu, pasti Vina melihat kami dan aku tahu meski ada tetesan air mata dipipinya, air mata itu adalah air mata kebahagiaan. Karna kebahagiaanku adalah kebahagiaannya.
Meski menyesal tak sempat membahagiakannya, namun kini aku paham ada alasan yang tepat hingga aku harus selalu tersenyum.
Adikku sayang, Vinazia Eva terimakasih untuk segalanya...