That Eyes

Klik...klik...klik...klik...

          Bunyi jam dinding itu serasa menggema di kepalaku. Hampir sejam aku menunggunya. Rasanya kepalaku mau pecah, emosiku mulai tak beraturan. Sebentar lagi mungkin air mataku akan keluar.

"Angkat Bunda..." Keluhku.

Sudah berpuluh-puluh kali aku menelpon Bunda, tapi tidak di jawab.

"Sabar..." Suara itu mengagetkan aku.

Ayah rupanya memperhatikan aku daritadi.

Hari ini adalah jadwal les musikku. Sudah hampir sejam aku terlambat. Dan satu-satunya motor milik keluargaku di pakai Bunda.

"Yaudah deh... Gigi berangkat naik angkot aja Yah... Gigi ga enak sama Bang Ado, pasti dia udah nunggu lama." aku buru-buru memakai sepatuku.

"Kenapa ngga minta tolong sama Yasa aja?" Tanya ayah.

"Ga bisa, dia ada les juga, yaudah Gigi pamit, Assalamu alaikum" aku berlari kecil meninggalkan Ayah di toko sendirian.

Brigitta Evelyn itu aku, Gigi nama panggilanku di keluarga dan kerabat terdekat. Besar di keluarga sederhana yang hidup dari usaha toko kelontong. Ado alias Orlando itu nama guru private musikku, orang nya selalu ontime, jarang marah, tampan, cool, murah senyum, mungkin dia orang terperfect yang pernah aku temui. Dan Yasa alias Prayasa, itu adalah pacarku. Kita mulai pacaran saat awal semester kelas 1SMA kemarin. Oya, aku sekarang kelas 2 SMA Nusa Sentosa. SMA pilihan terakhir dari semua SMA bagi orang tua, saat anak-anaknya tak lulus tes dari SMA favorit. Sementara Yasa, hmmmp... Dia seumuran denganku dan sekolah di SMA paling favorit, yang jelas sekolah itu tempat menumpuknya anak-anak keren. Tapi lupakan soal sekolah favorit, bukan itu yang terpenting disini.

Yang terpenting adalah, aku harus buru-buru sampai di studio dan angkot tidak ada satupun yang lewat daritadi. Ya Tuhan... Cobaan ini begitu berat (lebay).

         

Dan aku telat 2 jam dari jadwal les hari ini. Bang Ado pun masih bisa menyambutku dengan senyumnya. Dan itu membuatku semakin serba salah, sudah jelas-jelas aku sangat terlambat, masih bisa di senyumin?. Oh please bang Ado, lempar aku dengan bass di tanganmu.

"Kemaren kita sampai mana?" Dia langsung memulai les hari ini.

"I... Ini bang..." Aku menyerahkan buku catatanku.

Oh my god... Salah... Harusnya aku menyerahkan buku partitur, bukan buku catatan yang itu. Dan dia membuka lembar demi lembar buku catatan itu. Sebenarnya itu bukan catatan biasa. Ada puisi dan gambar-gambar tak layak liat disana. Ingin aku segera merampasnya, bang cukup bang.

"Wah... Imajinasi Gigi udah sampe sini?" Aku kaget dan buru-buru melihat ke halaman buku itu.

"Eh... Udah bang siniin... Maaf salah ngasih..." Aku tak berani melihat ke arahnya.

"Lumayan loh gambarnya... Kamu udah pernah begini?" Dia malah menunjukan gambar itu ke depan wajahku.

"Hah?????? Belom bang" jawabku melotot. "Itu iseng aja, abis baca komik, ya di gambar, tapi belom pernah koq" aku buru-buru menutup buku itu.

"Masa sih??? Kan punya pacar, masa ciuman aja blom pernah" apa-apaan dia?, Mengintrogasi aku?.

Aku menyimpan buku itu ke dalam tas lagi. Sambil melotot ke arah nya.

"Iya bang belom... Sumpah" jawabku kesal. "Ya udah mulai ini pelajarannya" keluhku.

Sedikit bercerita tentang bang Ado si guru tampan. Hari itu aku datang sendirian ke studio ini. Karna di paksa oleh teman sekelasku yang juga teman se band ku di sekolah, ya aku punya band sekolah dan band lain di luar sekolah. Band di sekolah baru saja terbentuk beberapa hari, dan mereka yang memaksaku bergabung tapi tak tau menempatkan aku di posisi apa. Akhirnya aku di paksa untuk bermain bass. Karna aku tidak terbiasa dengan senarnya yang besar, alhasil setiap latihan selalu zonk. Bong... Bong... Bong... Itu suara yang ku hasilkan saat memetik senar bass.

Dan datanglah aku ke studio ini dengan berbekal informasi dari temanku. Bahwa disini ada guru yang bisa mengajarkan aku bermain bass. Aku bisa les disini. Sedikit celingak celinguk, aku memberanikan diri masuk ke ruang mixing. Untung lah ada yang aku kenal disini. Ya karna beberapa kali aku bertemu dengan mereka saat latihan di studio lain.

"Mo latihan?" Tanya Masji (mas aji). Aku bertemu beberapa kali dengannya.

"Ga Masji... Em... Mau tanya... Disini bisa belajar private bass ya?" Tanyaku.

" Emang lu mo private? Bukannya lu vocalist ya di band nya siapa tuh? Yang mirip eross SO7?" Setengah meledek.

"Ares Masji..." Jawabku. "Iya tapi Gigi pengen aja bisa main bass, beneran bisa belajar disini?"

"Iya bisa, tapi tanya guru nya dulu, mau terima murid cewe atau ngga, tungguin aja bentar lagi gurunya nongol" Katanya sambil menyerahkan sebungkus keripik singkong padaku.

"Makasih Masji, Gigi nunggu di dalam sini aja ngga apa-apa kan yah?" Tanyaku seraya membuka bumgkus keripik yang dia beri.

Masji menggangguk dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Diapun lanjut mendengarkan musik dengan headset besar miliknya. Mataku berkeliling melihat semua yang ada di ruangan mixing ini. Sesekali tersenyum ke arah mereka anak-anak band lain yang sedang duduk nongkrong di pojokan lain ruangan ini. Sampai akhirnya seseorang masuk ke ruangan. Seorang laki-laki seumuran Mas Fael abangku. Dengan rambut coklat keemasan, janggut tipis dan matanya yang coklat menatap langsung ke arahku sejenak, lalu membuang mukanya ke arah lain. "Ganteng banget" itu lah yang terlintas pertama kali di benakku.

"Eh bang Ado, nih ada yang pengen les" Masji langsung menyapanya.

Jadi dia yang akan mengajari aku bass, seketika niatku untuk belajar alat musik besar yang satu itu jadi menggebu-gebu.

"Oh iya... Siapa namanya?" Tanya dia pelan.

"Brigitta, tapi panggil aja Gigi" jawabku.

"Oke... Nanti kita omongin jadwalnya yah..." Dia pun keluar dari ruangan itu.

Terpana, mungkin itu yang namanya terpana. Wajahnya mirip tokoh-tokoh komik yang sering aku baca. Ahahaha... Seketika aku jadi berbunga-bunga. Walaupun kesan pertama yang di beri sangat dingin.

"Eh Gi... Tungguin sini ya, gue mau ke ruang sebelah, dengerin aja ini lagu-lagu dari sini. Oh iya... Beruntung lu langsung keterima, biasanya bang Ado nolak ngajarin murid cewe" Kata Masji seraya menepuk pundakku.

Ah..... Aku makin berbunga-bunga.

*****

Sebulan kemudian, minggu kedua jadwal les ku dengan bang Ado di bulan ini. Studio musik ini sudah seperti rumah kedua bagiku, ada jadwal les ataupun tidak ada jadwal les, aku sempatkan untuk main kesini. Nyaman, tempat ini begitu nyaman bagiku.

Dan disinilah aku juga pertama kali bertemu dengannya. Jev... Lebih tepatnya Jevera Xavier, kebetulan dia les di hari yang sama denganku, tapi berbeda jam. Dan hari ini kebetulan bang Ado tidak datang mengajar. Awalnya aku tak ingin menyapanya sama sekali. Karna dia terlihat tak bersahabat. Duduk menyendiri di ruang mixing. Tapi apa boleh buat, tak ada orang lain disini. Masji sedang keluar makan siang bersama pemilik studio.

"Ga pulang?" Kataku sambil duduk di kursi sebelahnya.

"Eh... Ya... Ga, tadi Masji nitip studio ke gw" jawabnya sekedar.

Aku mengangguk pelan. Maaf aku memang tipe orang yang penasaran, dari awal aku memang agak penasaran padanya, karna dia begitu sedikit berbicara. Memberi kesan yang sama seperti mas Ado.

"Nama lu siapa? Jev ya?" Tanyaku kaku.

"Ya... Jevera, dan lu Brigitta anak SMA Nusa Sentosa" dia menoleh ke arahku. Dan bola mata kami pun bertemu.

"Hmm... Ya SMA terbuang, itu SMA gue... Ahahaha" aku mencoba memecah suasana karna tadi kita sempat terdiam sejenak.

"Yang penting sekolah... Ga ada itu yang namanya sekolah buangan segala. Lu udah lama les sama bang Ado?" Ternyata dia tidak terlalu pendiam juga.

"Lumayan, tapi masih aja gue ga jago, gue nyerah kalo harus ngapalin partitur, oh ya... Lu sekolah dimana? Kelas berapa?"

"SMA Harapan Bangsa, kelas 1" jawabnya singkat.

"Lah ade kelas..." Aku tertawa kecil. "Berarti lu manggil gue kakak dong" Sambungku.

"Beda setahun doang... Nyantai ah... Gigi" Dia tak mau di anggap adik.

Dia tau sebanyak itu kah tentang aku?. Tadi dia tau namaku, sekolahku. Ah mungkin dia membaca profilku di buku absen bang Ado. Lagipula hanya aku satu-satu nya murid bang Ado yang perempuan. Otomatis semua orang disini mengenalku.

"Eh ini di SMS sama bang Ado. Jadwal di ganti besok" dia meperlihatkan isi SMS itu padaku.

"Oh yaudah, lu masih mau disini? Gue balik ya" kataku sambil bangkit.

"Eh... Besok mau bareng ga kesini nya?"

Lagi-lagi dia menatap langsung ke mataku.

Jujur, aku goyah, aku melupakan Yasa sejenak. Tapi haruskah aku menolak niat baiknya?. Lagipula, aku bosan jika harus menunggu motor yang selalu di pakai Bunda mepet dengan jadwal kursus bassku.

"Besok gue jemput ya..." Katanya lagi sambil tersenyum.

Tolong Jev... Lu itu terlalu tampan, jadi jangan sembarangan mengumbar senyum. Ini PHP atau apa namanya.

"Pacar lu? Ngga-- " Aku tak sempat menyelesaikan kalimat ini, dia langsung memotong.

"Gue ngga punya pacar, sini henpon lu" dia merampas hp ku. "Oke nomer lu udah gue save, besok kabarin aja yah, lagian kita tinggalnya searah" Dia bertindak sangat seenaknya, tapi sangat manis.

Aku tak mampu berkata-kata. Mematung sejenak dan sadar, haruskah kami bertukar nomer?.

Pelan-pelan aku meninggalkan studio, sambil memikirkan hal tadi. Di satu sisi aku merasa menyesal telah mengajak dia ngobrol. Tapi sisi hatiku yang lain begitu merasa bahagia. Tapi aku sadar, aku tak bisa lebih dari ini punya perasaan padanya. Aku sudah punya Yasa. Prayasa, selama setahun ini aku berstatus pacarnya Prayasa.

Sedikit tentang Prayasa, aku mengenal prayasa sudah sangat lama, SD selalu sekelas, SMP kita cinta monyet ala-ala jaman dulu. Berbalas surat cinta monyet tapi tanpa akhir manis. Dan bertemu lagi saat kami mulai menikmati masa awal SMA. Akhirnya dia memutuskan untuk dekat lagi denganku dan pacaran. Hubunganku dengannya terlalu mulus, tidak ada yang namanya bertengkar, selisih pendapat dll. Terlalu bahagia mungkin. Dia terlalu membebaskan aku bergaul dengan siapapun, begitu juga aku. Statusku memang pacarnya, tapi aku masih bebas jalan dengan siapapun. Intinya, aku nyaman dengan hubungan ini. Terlalu nyaman, mungkin karna kami memang sudah saling mengenal dari kecil.

Dan hal ini juga mungkin yang membuat aku jadi sedikit nakal. Bundaku bilang, "tidak mungkin bisa tidak ada cemburu di antara kalian, kamu harus sedikit menghargai perasaan Yasa". Aku bukan tidak menghargai, tapi memang kegiatanku dan dia sangat bertolak belakang, dia sibuk dengan segudang lesnya, sementara aku sibuk dengan musikku. Salahkah??, Yang jelas aku selalu punya waktu buatnya dan katanya itu cukup.

Oke, hari ini aku mungkin nakal lagi, karna Jev mampu membuat jantungku berdetak kencang sekali. Aku harus bagaimana?, Menjauh? Tidak mungkin, karena aku pun tak mau. Ya maafkan aku Yasa.

*****

Gw udah di jembatan yang dekat toko

isi sms dari Jev.

"Oke bentar" balasku.

Sumpah, jantungku tak beraturan, tapi aku harus tetap buru-buru menyusulnya ke jembatan. Dia benar-benar menjemputku hari ini. Dari jauh dia hanya menoleh dan memberi ku senyum tipisnya. Semenit kemudian aku sudah duduk di boncengan motornya. Tanpa basa-basi dia langsung tancap gas. Ya ampun, ini bukan pertama kalinya aku di bonceng laki-laki selain Yasa, sebelumnya juga aku sering di bonceng kakak kelas, sepupu dll. Tapi ada apa dengan perasaan ini, bibirku tidak bisa berhenti tersenyum.

Eh tunggu, kenapa lewat jalan ini? Ini kan malah jadi lebih jauh. Ini modus, ah aku ge er... Aku buru-buru membuang pikiran itu. Mungkin karna jalan yang biasa terlalu rusak. Positif thinking lebih baik. Ahahahaha...

"Lu ga ada jadwal les wajib di sekolah?" Dia mulai memelankan motornya.

Ya ampun, lewat jalan ini ternyata lebih sepi dari jalan yang biasa. Mungkin dia memang ingin leluasa ngobrol. Masih harus positive thinking.

"Di sekolah gue les wajib itu kelas 3, itu juga bebas mau ikut apa ngga, cuma ikut try out itu harus" jawabku.

"Enak banget, gue kelas 2 ntar udah sibuk les, nge band pun jadi susah, lu besok ke studio lagi?" Katanya.

Please... Jangan terlalu pelan nyetir motornya. Punggung lu jev, terlalu nyaman buat sandaran.

"Ngga, eh maksudnya ga jam segini, soalnya ada les inggris besok" jawabku kurang fokus.

"Les dimana?" Dia menoleh ke belakang.

Tolong jarak ini terlalu dekat, mata kita bertemu dan itu berhasil membuat jantungku berhenti beberapa saat.

"Di LIA" jawabku pelan dan membuang wajahku ke arah lain.

"Oh yaudah besok selesai les SMS aja" Dia terlalu blak-blakan.

Lu ngapain jev? Ngapain kaya gini? Apa lu tau gue ini siapa? Punya siapa?

"Gi, besok selesai les SMS gue ya?" Dia menoleh dan mengulang pernyataannya lagi. Aku malah mengangguk. Tolol... Aku tolol.

Mata itu, mata yang terlalu sayang untuk menerima penolakan. Terlalu teduh untuk di tepis, terlalu indah untuk tidak di tatap. Dan aku seharusnya tidak duduk di belakang punggungnya seperti ini. Tolong aku Bunda, ini wajar kan?

Oke, Jev adik kelas, dia sekedar adik kelas pacarku yang notabene satu sekolah dengannya. Oke dia hanya teman satu kursus, oke sementara ini cukup seperti ini. Oke Jev, kita teman, oke Jev lu keterlaluan. Besok apalagi yang akan terjadi di kehidupan gue Jev?