WebNovelMAMAPAPAKU100.00%

SILANG

Estele baru saja siuman, ia mengumpulkan nyawanya yang masih mengambang di udara. Tangannya meraih lonceng di samping tempat tidur. Estele menggoyang lonceng itu hingga terdengar dentingan nya berbunyi keras.

Kepala dayang bergegas menghampiri Estele, saat mendengar bunyi lonceng itu. Terlihat jelas kekhawatiran di wajah wanita yang telah mengabdi di keluarga Cervantes sejak sepeninggalan suaminya. "Mohon maaf nyonya, saya ijin memeriksa suhu tubuh anda" Abigail, itulah nama kepala dayang kediaman Cervantes. Abigail mengecek suhu tubuh Estele dengan telapak tangannya, dirasa suhu tubuh Estele sudah menurun, Abigail langsung bernafas lega.

"Aku sudah tidak apa Abigail. Ehm... Bisakah kau mengambilkan pena dan papirus* untukku?" pinta Estele.

"Untuk apa nyonya? Lebih baik nyonya istirahat sekarang. Anda sedang sakit bukan? Jangan urus pekerjaan nyonya dulu" protes Abigail yang tidak mau nyonya nya jadi kembali sakit. Dipikirnya Estele mau mengerjakan laporan anggaran rumah tangga kediaman Cervantes.

"Aku hanya ingin menulis surat untuk suamiku gail, aku merindukannya" kata Estele sambil memegang kedua tangan Abigail.

Abigail membulatkan matanya, "Ya Tuhan. Maaf nyonya saya tidak peka" segera ia ke ruang kerja untuk mengambil kedua benda itu.

Estele tersenyum melihat punggung wanita setengah baya yang sudah begitu baik denganya sejak awal bertemu. "Terimakasih Tuhan, kau begitu baik" ucapnya sendiri.

Abigail kembali membawa pena dan papirus di tangannya. Seorang pelayan membawakan meja kecil, agar Estele tidak perlu turun dari ranjangnya ketika menulis. Estele tersenyum simpul, Abigail sungguh pengertian. Tidak salah jika Hugo memberinya gelar bangsawan dan memberinya satu wilayah. Kesetiaan dan keapikannya patut di acungi jempol.

Pelayan itu meletakkan meja kecil di atas ranjang, di hadapan Estele. Abigail meletakkan pena beserta tintanya dan papirus di atasnya. Abigail berjalan menuju laci meja kerja yang ada di kamar Estele untuk mengambil stempel milik Estele dan lilin untuk menyegel surat. Kemudian ia melipat papirus yang di sisihkan selembar sebelumnya untuk di jadikan sebagai amplop.

"Terimakasih, Abigail" ucap Leia seraya memandang teduh mata kelabu milik Abigail.

Abigail menundukkan kepalanya menyambut ucapan terimakasih yang diumbar bibir tipis Estele.

Estele mulai menulis surat pertama untuk suaminya. Mungkin saja suaminya itu, sedang dalam perjalanan, belum sampai ke wilayah Bretagne. Tapi, Estele tak bisa menahan diri untuk menghubungi suaminya. Di Britagne, awal pertemuan Amerad dan Hugo, hal itu sangat mengusiknya, sebab di sana, adalah awal mula kemalangan keluarga dan hidupnya terjadi.

*Tuan Hugo, suamiku.

Lekaslah pulang, aku merindukanmu.

Dari Estele, istrimu*.

Hanya itu yang tertulis di atas lembaran papirus yang Estele tujukan untuk suaminya. Tidak seperti surat kebanyakan, begitulah Estele. Pribadinya yang tertutup membuat dirinya tidak sefleksibel lady-lady bangsawan biasanya. Kita lihat, sejauh mana surat itu akan berdampak besar untuk Hugo.

Sementara di dimensi lain,

"Haah... Hah... Hah... Barusan itu apa?" Cleopatra terengah-engah sesaat setelah bangun dari tidurnya. Ia melihat tangannya menggenggam batu yang di beri anak kecil semalam.

"Mimpi?" Cleo mengerutkan keningnya. "Haha, aneh sekali" ucapnya seraya berjalan ke meja makan, ia meneguk air mineral untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Entah sadar atau tidak, Cleo masih memegang batu itu, seakan tak mau melepasnya.

Cleo membersihkan dirinya, sambil merenungkan mimpi yang masih teringat jelas di kepalanya. "Jika itu mimpi, kenapa bisa sejelas ini? Aku bahkan mengingat semuanya" ucap Estele pada dirinya di cermin, di bawah guyuran shower yang membasahi tubuhnya. "Estele Migail, Hugo" gumamnya mengingat nama yang disebut dalam mimpinya.