I Hate U, I Love U

I Hate U, I Love U

- Gnash -

.

I hate that I love you

Don't want to,

But I can't put nobody else above you

I hate that I want you

Feeling used, but I'm still missing you

and I can't see the end of this

just wanna feel your kiss against my lips

and now all this time is passing by,

but I still can't seem to tell you why it hurts me every time I see you

Realize how much I need you

====================

Tiba di Bandara Chek Lap Kok, ia mengurus segala sesuatunya, Vince memacu mobilnya setelah semua urusan bagasi selesai. Tak sabar rasanya memeluk Ruby dan menumpahkan segala rindu.

"Lihat saja nanti, Ru. Akan kubuat kau tak bisa bangun selama berhari-hari. Hahaha." Vince jadi geli dikarenakan pikiran mesumnya. Wajar. Sudah 3 bulan lebih dia tidak melesakkan penis ke manapun.

Hal paling membahagiakan bagi seorang yang sedang dilanda kasmaran, tentu saja adalah bertemu dengan orang yang dirindu siang malam.

Mungkin bagi Vince sendiri, dia takkan mengira dirinya akan terlanda cinta gila seperti ini.

Jika dia teringat betapa dia seorang lelaki yang kerap berganti wanita bagai berganti kaos kaki, ia pasti akan tersenyum-senyum sendiri, tidak mengira akan tiba masa ia jatuh cinta.

Lalu... apakah selama ini dia belum pernah jatuh cinta?

Sepertinya belum.

Rasanya dia sendiri belum pernah merasakan ada seorang wanita yang sanggup membuat hatinya tergetar indah tiada rupa. Wanita yang kerap dia jumpai tidak sanggup menggetarkan hatinya, hanya berhenti di selangkangan saja yang bergetar.

Playboy? Ya.

Womanizer? Tentu saja!

Meskipun banyak wanita kalangan atas tau seperti apa brengseknya Vince dalam urusan asmara, namun mereka takkan bisa menolak pesona Vince jika lelaki itu sudah menginginkan seorang wanita.

Tampan, berduit, dan pandai merayu dengan sikap romantis... itu adalah kombinasi yang sangat berbahaya. Bukan lagi double attack, tapi sudah triple combo destruction.

Apakah ayahnya, Benetton Hong, tidak mengetahui 'prestasi' sang anak mengenai wanita? Tentu saja dia mengetahui itu!

Namun, sebagai seorang bapak dengan anak semata wayang, mana mungkin dia sanggup menghardik sang anak kesayangan? Toh, Vince hanya bersenang-senang dengan para wanita, dan wanita-wanita itu juga tidak dipaksa. Kedua belah pihak melakukan suka sama suka.

Jadi, kenapa Benetton Hong harus menegur Vince? Biarlah, toh masih muda belia. Biar Vince merasakan indahnya darah muda sebelum nantinya fokus pada hidup yang sebenarnya.

Lagi pula, menurut Benetton Hong, Vince tidak menyakiti secara fisik pada wanita-wanita itu, jadi kenapa harus diributkan?

Kini, Vince sudah dalam perjalanan ke apartemen Ruby. Dia sudah sibuk membayangkan apa saja yang akan dia perbuat pada wanita yang dia rindukan itu.

"Apa aku harus mengajaknya berlibur selama satu bulan ke negara-negara eksotis?" Vince bergumam pada diri sendiri. Senyumnya terpulas lebar di wajah tampannya seraya membayangkan ia akan puas menjalani hari-hari berlibur nanti bersama Ruby di sebuah pulau eksotis, dan Ruby akan memakai bikini merah menantang, lalu kegiatan mereka hanyalah bercinta, makan, tidur, lalu bercinta lagi!

Vince terkekeh akan imajinasi liarnya tersebut.

Ketika mobil sampai di depan apartemen Ruby, dia heran karena ada mobil box di depan gedung apartemen. Bertambah heran lagi ketika melihat salah satu baju panggung Ruby ada di antara tumpukan barang di bagasi mobil tersebut.

Vince berlari ke atas, ke hunian Ruby, berharap pikiran buruknya tidak menjadi kenyataan.

Ketika tiba di depan pintu apartemen Ruby, sudah banyak orang-orang dari jasa pindah rumah menggotong beberapa barang Ruby. Kebanyakan adalah pakaian-pakaian mahal.

"Vin!" Ruby tersentak kaget mendapati pria tampan itu telah muncul di depan pintu. Mukanya mendadak pias.

"Apa maksudnya ini, Ru?" tanya Vince disertai tatapan tajam.

Ruby tampak salah tingkah. Berkali-kali mengusap tengkuk dan lengan karena tak menemukan kalimat yang tepat.

"Vin!" seru Ruby karena tangannya sudah ditarik Vince, diseret paksa meninggalkan apartemen. "Vin, stop! Stop!"

"Tidak! Jelaskan dulu padaku kau mau pergi ke mana? Pindah ke mana? Kenapa tidak mengabariku?" Vince tak perduli teriakan Ruby dan berhasil menyeret turun serta masukkan Ruby ke mobil.

Tanpa banyak cakap, Vince memacu mobil ke sebuah hotel. Ruby memijit kening. Ia terpaksa menelpon pemilik jasa pindah rumah tadi untuk minta tolong mengantarkan semua barangnya ke alamat yang dituju.

"Vin, tolong jangan begini."

"...."

"Vin, kita bisa bicarakan baik-baik, kan?"

"...."

"Vin, jangan diam begitu saja."

"...."

"Vin, kumohon jangan marah dan terus diam begitu."

"...."

"Vin, kuharap kau bisa mengerti situasiku..."

"...."

"Vin!"

"Diam! Atau aku terjunkan mobil ke jurang!" teriak Vince membuat kecut Ruby.

Wanita itu pun terdiam, membiarkan dirinya dibawa ke hotel bintang lima ternama. Pun dia tak berani berontak ketika tangan Vince membimbing dia ke meja resepsionis, dan kemudian ke salah satu suite room terbaik.

"Sekarang, katakan padaku, kenapa kau akan pindah tanpa mengabariku?" Vince mendudukkan Ruby ke sofa setelah mereka memasuki kamar.

"Aku..." Ruby gelisah. Lidahnya terasa kelu.

"Blak-blakan saja, Ru. Aku ingin dengar dari kau, jangan sampai aku cari tau dari orang lain, misalnya kafemu." Vince sedikit berikan ancaman.

Ruby menggeleng lemah. Apakah Vince musti tau kenyataannya?

"Apa kau mau kabur, Ru? Keluar negeri?"

Ruby lagi-lagi menggeleng. "Tidak. Bukan begitu."

"Lalu? Kenapa kau mengemasi semua barangmu?" Vince mulai melunak, dekati Ruby dan berlutut di depan sang biduan.

Ia tau bahwa wanita pasti akan lebih terbuka jika diberikan perlakuan lembut. Oleh karena itu, Vince menahan diri dan mulai bersikap halus pada Ruby agar perempuan itu tidak takut untuk menceritakan semuanya.

"Apa kau mau janji takkan marah jika aku beritau yang sesungguhnya?" Ruby takut-takut menatap mata Vince. Baginya, Vince saat ini menakutkan.

Vince mengangguk. Memangnya apa yang bisa dilakukan pria ini selain mengangguk agar Ruby lekas bercerita?

Ruby ambil napas terlebih dulu sebelum dia berucap, "Aku akan menikah."