Breakdown

Breakdown

- Guns n' Roses -

.

To think the one you love

could hurt you now

is a little hard to believe

But everybody darlin' sometimes

bites the hand that feeds

But now the damage's done

And we're back out on the run

Fun how ev'rything was roses

When we held on to the guns

Just because you're winnin'

Don't mean you're the lucky ones

======================

Ruby ambil napas terlebih dulu sebelum dia berucap, "Aku akan menikah."

"...."

"Minggu depan."

"...."

"Vin?" Ruby tatap takut Vince yang tak juga menyahut.

"Maksudmu... kau ingin kita menikah minggu depan?" Kemudian Vince bangun dan mukanya berseri. "Ahahah! Astaga! Ahaha! Aku paham sekarang! Baiklah, sayank! Kita menikah minggu depan, tentu saja! Kenapa tidak?! Hahaha! Memang itu rencanaku setelah pulang dari London!"

Air muka Vince segera berganti cerah terang benderang bagai mentari di siang hari. Semua awan gelap yang tadinya bercokol di jiwanya bergegas lenyap menghilang usai dia memikirkan bahwa ternyata Ruby hanya menginginkan lekas menikah dengannya.

Ia merasa bodoh sendiri karena terlalu marah dan mengumbar emosi tak berdasar. Apalagi membuat takut kekasih tercinta. Betapa terburu-burunya Vince.

Ia terkekeh setelah mengetahui tindakan impulsif dia. Hatinya melonjak karena merasa Ruby berhasil mengerjai dia sedemikian rupa! Gadis ini memang pintar membuat perasaan Vince bergemuruh dan pontang-panting sebelumnya.

"Vin... bukan denganmu..."

Tunggu.

Kalimat lirih Ruby sontak menghentikan kegembiraan Vince. "Hah? Maksudmu?"

"Aku... aku akan menikah dengan orang la—"

"JANGAN BERCANDA!" bentak Vince sebelum Ruby menuntaskan ucapan. Wanita itu sampai gemetar ketakutan. Baru kali ini dia melihat Vince semarah itu membentaknya.

Lelaki mana yang takkan marah jika ada dalam situasi Vince?

"Ma-maaf, Vin. Maaf... hiks!" Tanpa bisa dibendung, Ruby menangis saking takutnya. Vince tak pernah marah sebelum ini. Vince selalu penuh kasih padanya. Vince yang dia tau adalah Vince tanpa cela apapun.

Karena sadar bentakannya sudah membuat Ruby takut, Vince kembali berlutut di depan wanita itu dan genggam lembut tangan Ruby. "Maaf, maafkan aku. Aku terlalu emosional." Ia menarik pelan Ruby ke dekapan.

Ruby menyambut dekapan, lingkarkan dua tangan ke bawah ketiak Vince, dan bermuara pada bahu sang pria. Ia menangis tersedu-sedu.

Tuan Muda Hong terus berusaha menekan emosinya demi Ruby tidak ketakutan. Ia harus bisa menahan amarahnya, ia harus bisa membujuk Ruby. Mungkin gadisnya sedang tidak stabil perasaannya.

Vince akan mencoba membujuk.

"Apa ini karena aku ke London terlalu lama?" Hanya ini yang bisa dipikirkan oleh Pria Hong ini sebagai alasan Ruby memberikan keputusan segila itu.

Ruby menggeleng tanpa mengalihkan kepala yang disandarkan di leher Vince.

"Apa kau bosan denganku?" Vince Hong berdebar-debar, berharap bukan ini yang menjadikan Ruby ingin melepaskan diri darinya, dan membuang dia begitu saja.

Ruby masih menggeleng.

Vince renggangkan pelukan agar bisa menatap wajah basah Ruby. Dua ibu jari sibuk menghapus air mata yang terus muncul dari mata lentik Ruby. "Kau dipaksa menikah?"

Ruby enggan menjawab dan kembali tenggelamkan wajah di leher Vince.

Pria itu tak tau harus bagaimana. Yang dia tau, wajahnya menggelap, segelap hatinya. "Temani aku di sini selama seminggu."

Ruby lepaskan pelukan secara tiba-tiba. Ia menggeleng kuat. "Tidak, jangan begitu, Vin. Aku ingin kita putus baik-baik!"

"Putus baik-baik?" ulang Vince. Seringai mencemooh tertoreh di wajah rupawan dia.

Sang biduan tersadar akan kalimatnya tadi. Ia menutup sejenak mulutnya lalu bersuara, "Oh maaf, aku lupa... bahwa kita pun belum pernah berikrar sebagai pacar. Maaf, aku lupa itu, Vin."

Tuan Muda Hong menyipitkan matanya mendengar pernyataan Ruby yang entah kenapa sangat menusuk serta menohok ulu hatinya, meremas jantungnya tanpa perasaan.

Jadi... bagi Ruby... mereka belum bisa dinamakan berpacaran selama ini?! Dan itu sebabnya Ruby bebas membuang Vince setelah apa yang mereka lalui?!

Vince bangkit dan menendang meja di dekatnya. Ruby terperanjat, kembali menangis. "Apakah selama ini kau menganggap kita bukan sedang berpacaran, hah?!"

Ruby menggeleng sembari menunduk tersedu-sedu. Ia benar-benar takut akan Vince yang ini. Vince yang di depannya ini benar-benar bukan Vince yang dia kenal.

Ruby, kau harus tau bahwa manusia tidak selamanya baik. Hati manusia tidak melulu berisi kebaikan, pasti ada pula kegelapan, karena itu akan membuat manusia lebih seimbang.

"Vin, kumohon... Hiks! Hiks!" Ruby tak sanggup menatap mata Vince, dan terus terisak ketakutan.

"Kau pikir selama ini hanya sekedar seks saja kah?!" Vince masih berteriak kalap. Siapapun pasti akan murka jika di posisinya. Saat berbunga-bunga ingin melamar pujaan hati, ternyata pujaan hati akan menikah dengan orang lain.

"Vin, kau tak pernah memintaku jadi pacar..." kilah Ruby kian membuat Vince emosi. Ia mau tak mau menatap Vince secara takut-takut.

"Apakah kau suka percintaan ala remaja bau ingus?! Kau suka yang kekanakan begitu?! Hah?!" Vince sebagai manusia biasa dan bukan makhluk suci, tak mungkin tidak marah dan meluap secara emosional.

"Vin... kumohon... jangan begini... hiks! Jangan marah-marah begini... hiks!" Wajah Ruby sudah berlumuran air mata. Ia menatap mengiba ke lajang tampan di hadapannya.

"Siapapun akan marah jika orang yang dicintai malah akan menikah dengan orang lain!" Vince susah mengontrol emosinya.

Ia pun menarik Ruby dan hempaskan wanita 35 tahun itu ke ranjang.

"Kau tak boleh menikah selain denganku!" Vince melepas semua pakaiannya.

Ruby menggeleng. Ia jadi ngeri pada sikap posesif Vince. "Kumohon, jangan..."

Sayangnya, Vince tak menggubris. Ia merobek paksa semua baju Ruby, kemudian menyetubuhi wanita itu secara beringas, menumpahkan rindu dan marah sekaligus.

"Arrghh! Vin! Stop! Sakit!" teriak Ruby ketika lubangnya dihujam keras-keras.

"Heh? Bukankah kau biasanya suka aku yang begini, sayank?" ledek Vince terus memompa vagina Ruby tanpa perduli apapun protes sang biduan. Tanpa foreplay, tanpa persiapan.

Ruby hanya bisa berteriak dan merintih merasakan sekujur tubuh nyeri, terutama pada vaginanya.

Vince memperkosanya sepanjang hari dan malam tiap ada kesempatan. Raungan minta ampun Ruby hanya bagaikan dorongan semangat untuk Vince makin giat memaksakan birahinya.

Malam jam 10 lebih barulah Ruby dilepaskan dari amarah berahi Vince. Ia tak berkutik. Itu karena Vince mengikat dua tangannya menggunakan dasi dan serpihan pakaian Ruby.

Kapanpun Vince ingin, Ruby harus menerima perlakuan Vince pada tubuhnya.

"Aarghh... haakhh... stoopphh..." erang Ruby ketika klitorisnya dibelai agresif menggunakan lidah. Dua tangan sudah dipentang dan dibelenggu pada masing-masing besi pancang ranjang.

Pinggul secara refleks naik-turun menahan libido yang menerjang tanpa ampun. Ini sudah 3 kali dia distimulasi habis-habisan di selatan sana memakai berbagai cara. Sudah 4 hari dia menjadi budak seks tawanan Vince.

Vince berdalih ini sebagai seks perpisahan mereka sebelum Ruby menikah. Bahkan Vince juga berikan obat perangsang secara paksa agar Ruby turut menikmati permainan membara dari Vince.

Tak cukup siksaan seksual yang sudah diberi, pria itu pun merekam kegiatan seks mereka. "Aku akan sebarkan ini jika kau masih saja meronta," ancam Vince di hari ke-5 penyanderaannya. Tidak memiliki pilihan lain karena sudah lelah batin dan raga, Ruby mengangguk lemah. Oleh karenanya, Vince melepaskan belenggu di dua tangan Ruby.