I Am A Winner

I Am A Winner

- Jekalyn Carr -

==========

Meneguk ludah, berharap apa yang dia takutkan tidak terjadi. Ya, dia kuatir Vince menjadikan Feiying sebagai sarana pembalasan ke Ruby.

Ruby tau dia juga ada salah dalam hal ini. Dia terlalu marah dan dikuasai emosi hanya karena Vince tidak mengabarkan apapun sebulan terakhir di London. Pikirannya kusut membayangkan Vince asik dengan gadis-gadis muda belia di sana.

Karena itu, dia langsung terlena ketika bertemu kembali dengan Benetton, sang mantan pacar yang sayangnya tidak dia ketahui sebagai ayah dari Vince. Dan Ruby terlalu terburu-buru dikuasai emosi mengatakan iya saat Benetton melamar dia. Ruby sudah di ambang putus asa waktu itu.

Ternyata dugaannya keliru mengenai Vince. Dan hal itu sudah tak bisa ditarik ulang.

Kini sewaktu Ruby menoleh ke Vince, pria itu sudah duduk di kursi dengan kemeja telah dibebaskan dari dasi seraya bersikap mesra pada Feiying yang berdiri di depannya.

Tau dirinya diperhatikan Ruby, Vince tatap tajam ibu tirinya, lalu lingkarkan salah satu tangan ke satu paha Feiying, hingga gadis itu tak bisa menampik sikap romantis sang pria.

Gerakan itu begitu intim dan atraktif.

Tak hanya Ruby saja yang menahan napas sampai sesak. Para wanita pemuja Vince di ruangan itu juga merasakan dada mereka sesak secara tiba-tiba melihat pangeran pujaan mereka berbuat demikian pada wanita yang tidak mereka ketahui asal-usulnya.

Ruby melengak jengah dengan pemandangan itu. Mata diputar sebal, lalu mengajak Benetton kembali ke pelaminan dengan alasan lapar serta haus. Suaminya menurut saja.

Vince mendengus senang, merasa menang dengan bukti Ruby menyingkir dari lantai dansa.

Pria tampan itu mendongak ke Feiying. "Boleh jujur padamu, Feifei?"

Feiying mengangguk. "Apa?"

"Sepertinya aku menyukaimu, Feifei."

Feiying tersentak kecil. Tak menyangka dia akan di'tembak' di sini. Sampai kehilangan kata-kata untuk menyahut.

"Tapi... ada yang tak menyukai jika aku tertarik padamu."

Feiying menunduk sambil sentuh helai raven Vince. "Siapa?"

"Ibu baruku," lugas Vince sambil tatap Ruby yang sedang mencuri-curi pandang ke arahnya.

Feiying kaget, refleks ikut memandang bibinya. "Tante Xuehua?"

Vince kembali mendongak ke Feiying. Mengangguk sebelum menjawab, "Iya, sepertinya dia tak suka kalau aku ingin lebih dekat denganmu."

Feiying menatap sejenak bibinya, lalu memandang lembut ke Vince. "Tante pasti punya alasan tersendiri jika begitu. Nanti akan aku tanyakan. Kau jangan kuatir, yah! Tante orangnya sangat baik." Ia sentuh pelan alis lebat Vince.

"Umh... baiklah. Semoga apa yang kau katakan mengenai tantemu itu benar. Feifei, bisa tolong ambilkan shorbet buah?" pinta Vince. Baru saja ia melihat ayahnya meninggalkan Ruby untuk berbincang dengan tamu penting di sudut lain.

"Baiklah. Sebentar, yah." Feiying patuh dan pergi mencari shorbet yang dikehendaki Vince.

Begitu Feiying pergi, Vince bergegas ke Ruby dan bisikkan sesuatu. "Kuharap kau tidak bicara macam-macam pada ponakanmu kalau tak ingin kartumu kubuka semua. Kau ingat ada berapa video intim kita, kan?"

Mata Ruby membola. Ketika ingin menyahut, Vin sudah berlalu dari hadapannya, kembali ke tempat duduk semula sebelum Feiying datang membawa shorbet.

Vince menyeringai menang pada Ruby yang geram.

Ketika pesta telah usai, Vince mengajak Feiying ke mobilnya. Ke mana? Hotel? Ruby sempat mengetahui mobil Vin membawa keponakan tersayang. Ia tak sempat mengejar.

"Hei, hei, kenapa, sayank?" Benetton memegangi lengan istrinya yang panik.

"Ben, Ben, tolong cegah anakmu. Dia... dia bawa Ying'er!" kalap Ruby terlihat memohon ke suaminya.

"Sayank, sudahlah. Biarkan saja mereka menjalani kehidupan masa muda mereka."

"Ben, kau ini. Pantas saja Vin kelakuannya begitu!"

Benetton tampak tak suka pada kalimat istrinya. "Xuehua, kuminta kau menjaga omonganmu. Apalagi ini masih ada tamu-tamu yang belum pulang."

Ruby menarik napas agar lebih tenang. Ia jadi ciut melihat tatapan tajam Benetton. Mungkin tidak seharusnya dia berkata sefrontal itu. Bagaimana pun Vince anak semata wayang Benetton, sudah tentu amat disayang dan dibela. "Hghh... baiklah, aku minta maaf. Bisakah kita pulang sekarang?"

Di luar dugaan, Benetton setuju. Ia pun mengajak Ruby berpamitan pada tamu yang masih tersisa, dan memakai mobil pengantin menuju mansion Benetton.

Baru saja memasuki ruang tengah, ternyata Vince sudah bersama Feiying, sedang berciuman. Feiying lekas mendorong Vin begitu tau bibinya datang bersama ayah Vin.

Ruby hembuskan napas keras-keras. "Cepat sekali kalian akrab. Apakah aku harus berikan medali pada kalian?" nyinyir Ruby sambil lipat dua tangan di depan dada.

Benetton sentuh lengan istrinya. "Kita ke kamar saja, ayo."

Vince usap bibir yang telah mencium Feiying menggunakan ibu jari. Dia tersenyum sinis ke Ruby. "Ibu tiri, apakah aku tak boleh menyukai Feifei?"

Ruby yang sejatinya akan menurut Benetton ke kamar di lantai atas pun balikkan badan menghadap ke Vince. "Tentu saja aku tak masalah jika kau benar-benar menyayanginya. Omong-omong, nama dia Feiying. Oh, rupanya kau sudah memberi julukan pada ponakanku."

Vince mendengus geli. "Aku selalu berikan nama panggilan spesial pada siapapun perempuan yang aku sayangi. Apakah Ibu tiri mau juga?"

Betapa dongkolnya hati Ruby. Ingin sekali ia menampar Vince jika hanya ada mereka berdua saja.

"Xuehua, sudah, jangan marah-marah begitu pada mereka, beri Vin kesempatan untuk buktikan rasa sayang dia pada Feiying." Tuan besar mengelus tepi pinggang istrinya, lalu menoleh ke anaknya. "Vin, jangan lagi panggil dia Ibu tiri, itu sangat tidak enak didengar. Panggil dia Ibu atau Mama."

"Ahh, maaf, Papa. Panggilan Mama hanya khusus untuk wanita yang sudah melahirkan aku. Baiklah, aku panggil dia Ibu, bagaimana?" Vince naikkan alisnya.

"Bagus. Itu juga bagus, Nak." Tuan Benetton mengangguk-angguk suka.

"Tante, aku mohon Tante jangan terlalu keras pada Vin." Sekarang Feiying berani membuka suara. "Aku... aku juga menyukai Vin. Kami... saling suka, dan aku... aku juga ingin memberi kesempatan pada Vin untuk membuktikan diri padaku. Kumohon, Tante..." Sang ponakan langsung meraih dua tangan Ruby untuk digenggam erat, menyiratkan permohonan sungguh-sungguh.

Ruby mendengus kesal. Rasanya di ruangan ini tak ada yang memihak dia. "Ya sudah, terserah kau saja." Ia pun melengos sambil melirik tajam ke Vince, lalu naik terlebih dahulu ke kamar suaminya.

Tuan Benetton menepuk-nepuk pundak sang anak dan mengangguk penuh pengertian. "Antarkan Feiying ke keluarganya, Nak."

"Tidak, Pa. Aku ingin Feifei menginap di sini." Vince menyahut. Ruby sudah masuk ke kamar. Andai dia dengar, mungkin akan melolong tak setuju.

"Hah?" Tuan Benetton sampai kaget. "Kau serius?"

"Tentu serius. Aku sudah ijin ke ibunya Feifei, dan Beliau memperbolehkan." Vin tersenyum menang. Padahal dia ijin pada ibunda Feiying menggunakan nama bibinya Feiying. Tapi Benetton tentu tidak tau.

"Ya sudah kalau begitu. Apakah Feiying akan tidur-"

"Dia akan tidur di kamarku, Pa."