Telur Hitam (1)

Bintang berkelap-kelip menghiasi kegelapan langit. Anan Tian sedang melompat-lompat dengan gesit. Dia melatih kelenturan tubuhnya. Setelah tubuhnya pulih, dia ingin mengasah seni pembunuh yang dulu merupakan keahliannya. Dia bergerak tanpa menimbulkan suara, menapaki tanah tanpa hentakan kaki. Sesekali tubuh kecil itu akan melompat ke atas pohon beberapa kali. Setiap lompatan mempunyai irama unik di udara, dia berusaha untuk tidak menggoyangkan sehelai daun pun saat melompat naik. Dia sudah beradaptasi sepenuhnya dengan tubuh kecil dan tubuh ini benar-benar membawa keuntungan sendiri.

Setelah beberapa kali melompat kesana kemari, dia berbaring di atas tanah. Keringat berhamburan membasahi tubuhnya yang setengah telanjang. Dia hanya menggunakan celana tanpa pakaian. Tubuh putih itu berkilau karena keringat yang mengalir. Cahaya obor api kemerahan memantul indah di punggung putih itu.

"Tubuh ini lebih mudah dilatih dari yang aku kira." Anan Tian menggerak-gerakkan tangan kecilnya yang berkeringat. Meninju-ninju udara tanpa tenaga. Matanya mengamati bintang-bintang di langit. Tidak banyak yang membuatnya senang di kehidupan sebelumnya namun dia sangat menyukai bintang. Mereka seolah-olah menemaninya.

"Setelah tubuhku terlatih dengan benar, aku harus segera menaiki gunung kesengsaraan." matanya berkilat tajam, dia dipenuhi keyakinan.

"Tian Kecil, apa yang sedang kau lakukan?" suara maskulin yang terdengar akrab terdengar. Seorang pria tampan berjongkok di samping anak yang berbaring itu. Itu Duan.

"Kakak Duan, kau kembali? Bagaimana misimu? Aku dengar dari guru bahwa kakak pergi mengumpulkan inti iblis di Hutan Seratus Ngarai."

"Tentu saja. Ini hadiah untukmu." Duan mengeluarkan sebuah telur seukuran kepala orang dewasa. Telur itu berwarna hitam dengan garis keemasan tipis seperti benang membentuk pola aneh.

"Telur apa ini?" wajah penasaran khas anak kecil membuat Duan tak tahan untuk tidak mencubitnya. Dengan senyum riang yang sangat langkah, dia mengusap kepala Anan Tian. Dia tidak memperdulikan rasa lengket karena rambut Anan Tian dibasahi keringat.

"Aku tidak tahu, aku menemukannya di hutan."

"Kenapa tidak Kakak simpan untuk Kakak sendiri?"

"Aku tidak membutuhkannya. Apa kau ingat bahwa murid di sekte ini punya binatang peliharaan sendiri?"

"Jadi kakak ingin aku memelihara telur ini?" Anan Tian memeluk telur hitam itu, sesekali dia menggosok permukaan telur yang sangat halus. Dia agak menyukai telur ini.

"Bisa dibilang begitu. Walaupun binatang peliharaan murid tidak diambil sembarangan melainkan di dalam Lembah Binatang Pelindung, aku rasa tidak masalah kalau kau memelihara beberapa binatang sebelum masuk lembah itu. Lagi pula kau belum memenuhi syarat untuk masuk dan mendapat peliharaan pelindung." papar Duan dengan ringan. Dia tahu bahwa anak kecil di dekatnya menyukai telur ini saat melihat anak itu mengelus telur berkali-kali.

"Benarkah?" Anan Tian semangat, dia merasa bahwa ini bukan telur biasa.

"Aku sudah minta perizinan Guru Besar sebelum kesini. Lagipula kau butuh teman bermain."

Wajah senang Anan Tian membuat hati Duan terasa hangat. Dia selalu menyukai anak tampan itu. Anan Tian berdiri dan berjalan memasuki rumahnya. Sebelum masuk dia meraih tanaman menjalar yang merambat di dinding. Tubuh kecilnya melompat-lompat sambil membawa telur hitam di pelukannya.

Duan menggeleng sambil tersenyum. Tangannya meraih beberapa tanaman di dinding dan memberikannya pada Anan Tian. Setelah mengumpulakan beberapa tanaman merambat, keduanya memasuki rumah.

Isi rumah itu sederhana namun indah. Ada ranjang dengan kasur empuk serta meja kayu berukuran sedang. Ada teko yang berisi teh dingin serta beberapa gelas kosong. Di sudut ruangan terdapat lemari yang terbuka begitu saja. Banyak baju kecil berbagai warna, itu dibeli secara pribadi oleh Duan. Dia bahkan memesan beberapa model terbatas.

"Kakak, pegang ini sebentar." Anan tian menyerahkan telur hitam itu pada Duan. Dia menyingkirkan teko teh dan gelas ke bawah meja sebelum meletakkan untaian tanaman menjalar. Itu batang-batang yang tampak sebesar kelingking anak kecil. Tangan Anan Tian dengan terampil menganyam batang tumbuhan itu membentuk lingkaran. Itu terlihat seperti keranjang namun juga seperti sarang burung. Sangat rapi.

"Tian Kecil, dimana kamu belajar membuat ini?" tanya Duan dengan nada penasaran.

"Dari mana? Uhm, aku lupa." jawab anak itu dengan acuh tak acuh. Itu sebenarnya rahasia, mustahil baginya untuk mengatakan bahwa dia belajar membuat anyaman semacam ini di kehidupan sebelumnya.

Setelah anyaman sarang burung selesai. Anan Tian mengambil potongan kain di dalam lemari. Kain itu berwarna keemasan. Dia membungkus telur hitam seperti membungkus bayi kecil. Duan terkekeh pelan melihat hal itu. Kain itu membalut dengan rapi, barulah setelahnya telur itu di letakkan.

"Menurutmu, kapan telur ini menetas?"

"Entahlah, tapi sepertinya tidak akan lama." jawab Duan sambil menggosok rambut lembab Anan Tian. Rambut itu belum kering. Masih di penuhi keringat. Anan Tian mengangguk pelan tanpa merasa terganggu dengan perilaku Duan. Dia sudah terbiasa. Terbiasa dielus bagaikan anak anjing kecil.