WebNovelNaive71.43%

Chapter 05

Blossom memperhatikan wanita cantik yang berada di depan pintu rumahnya (rumah Steven) ini lekat-lekat. Tinggi semampai; mengenakan kemeja berwarna hijau muda yang sangat trendi dan pas di badannya; rok pensil hitam yang mencapai pertengahan paha, yang memamerkan lekuk pinggulnya; stocking hitam, serta stiletto merah yang senada dengan warna rambutnya; tas tangan yang ia bawa juga terlihat sangat mahal. Belum lagi aksesoris yang dikenakan wanita itu. Sangat cantik dan elegan. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya membuat kesan anggun yang dimiliki wanita beriris crimson itu semakin kuat.

"Anda siapa?" tanya Blossom ragu-ragu.

"Wow, Steven tinggal bersama bocah manis." Wanita itu maju selangkah dan menyentuh dagu Blossom dengan salah satu telapak tangannya. Dia mengelus rahang Blossom dengan tangan lembutnya dan membuat anak itu bergidik ngeri.

"Pamaaaann!" teriaknya ketakutan. "Paman!" teriaknya lagi. Perempuan di depannya ini sangat mengerikan.

"Siapa yang datang?" Steven agak terburu-buru karena mendengar pekikan Blossom yang sepertinya sedang ketakutan. Ia terdiam tak jauh dari depan pintu saat melihat siapa yang datang. Wanita itu menghentikan aksi jahilnya menggoda Blossom dan mengangkat wajahnya, balik menatap Steven.

"Hallo sayang," sapanya lembut.

"Hn," pemuda itu hanya menyeringai sinis sebelum melanjutkan, "masuklah, Micky."

Blossom hanya bengong menyaksikan interaksi kedua orang itu. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Samar-samar Blossom dapat menangkap ada yang berbeda dari paman tampannya. Sesuatu yang entah kenapa membuatnya begitu takut.

Wanita itu duduk dengan santai di ruang tamu Steven. Santai, tapi sangat anggun. Terlihat sekali kalau ia bukan orang biasa. Auranya berbeda dengan Scarlett. Wanita ini ... berbahaya.

"Aah, kau di sini saja, anak manis," kata Micky saat Blossom akan kembali ke belakang. Anak itu tahu diri dengan tidak mengikuti pembicaraan antara kedua orang dewasa tersebut. "Sini, sini," kata Micky lagi sambil menepuk-nepuk tempat kosong pada sofa yang didudukinya.

"Jangan menakutinya. Kebiasaan lamamu muncul," timpal Steven datar.

"Biarkan saja. Dari mana kau menemukan anak ini, Steven? Lihatlah, dia sangat manis!"

Dengan takut-takut Blossom duduk di tempat yang tadi ditunjukkan Micky. Dia sama sekali tidak mengerti situasi macam apa yang sedang terjadi saat ini.

"Hei, kau datang hanya untuk mengacaukan rumahku? Sebaiknya cepat katakan ada apa dan segeralah pergi," ucap Steven yang hampir kehilangan kesabarannya.

"Sabar, Stev. Beginikah sikapmu pada kekasihmu yang sudah lama tak bertemu?" wanita itu menunjukkan gestur seperti sedang menghitung dengan jari-jari pada kedua tangannya. "Sudah sepuluh tahun, sayang, tidakkah kau rindu padaku?" tanyanya dengan senyum yang sangat manis.

"Pertama, aku bukan kekasihmu lagi. Kedua, aku tidak mungkin merindukan orang yang menganggapku bidak catur atau pun batu loncatannya."

"Hahaha ..." lengkingan tawa wanita itu memenuhi ruang tamu sang pemilik rumah. "Oh, Steven, aku sangat tersanjung kalau kau mengetahui niatku dulu. Jadi, aku tak perlu merasa bersalah karena sepertinya kau sudah tahu semuanya, tak ada yang perlu kusembunyikan. Tak perlu ada pengakuan dosa di sini."

Steven menatap malas pada wanita bersurai merah sebahu itu. Ia memang agak kaget dengan kedatangan Micky. Ada getaran yang ia rasakan, tapi bukan lagi seperti getaran menggebu yang ia rasakan sepuluh tahun yang lalu. Getaran ini adalah getaran kemarahan yang sudah sekian lama tidak tersalurkan.

"Langsung saja, Micky. Ada apa mencariku?"

"Well, kau memang tidak suka basa-basi. Aku kemari untuk meminta bantuanmu. Aku adalah General Manager di Brand K2. Baru-baru ini kami menemukan adanya tindakan plagiat dari salah satu brand pakaian di Indonesia pada produk kami, jadi kami ingin menggugatnya."

Otak jenius Steven segera mengambil kesimpulan dari beberapa potong informasi yang baru saja ia terima. Ia tahu betul tentang Brand K2, brand pakaian yang sedang banyak digandrungi, sekali K2 mengeluarkan desain koleksi baru untuk satu season maka dalam waktu singkat produk tersebut akan langsung habis di pasaran.

"Jadi, kalian ingin menggunakan jasaku agar dapat memenangkan gugatan itu?"

"Kau memang jenius, sayang," timpal wanita itu lagi dengan memamerkan senyum lebarnya. "K2 bukan brand sembarangan, bertahun-tahun kami membangun usaha itu agar menjadi brand internasional. Aku ingin para plagiator itu tahu kalau tindakan plagiat mereka tidak termaafkan."

"Kau tahu, memakai jasaku itu tidak murah."

"Euh, kata-katamu seperti gigolo saja, Steven," ejek Micky dengan sengaja.

Wajah Steven semakin mengeras mendengar ejekan itu. Perempuan sialan. Sebenarnya di sini siapa yang sedang butuh pertolongan dan siapa yang sedang dimintai tolong?

"Hahaha ..." kembali ia memamerkan lengkingan tawanya. "Tenang saja, Steven, kau akan sangat puas dengan bayaran kami."

"Sekarang kau yang terdengar seperti pelanggan jasa gigolo," balas Steven. Dia pikir hanya dia yang bisa mengejek? Wanita itu juga harus tahu kalau Steven yang sekarang bukanlah lagi Steven yang dulu. Ekspresi Micky seperti ingin mecincangnya saat itu juga.

"Baiklah karena kita sudah sepakat, jadi kuanggap aku sudah selesai denganmu. Besok kami akan datang ke kantormu untuk membicarakan kesepakatan lebih lanjut."

"Kalau begitu silakan keluar dari rumahku sekarang juga."

"Aku sudah selesai denganmu, sekarang aku akan mulai dengan bocah manis ini."

"Kebiasaan pedofilmu ini belum hilang juga?"

Blossom semakin ketakutan saat mendengar kata pedofil. Sejak tadi ia hanya duduk tanpa mengerti percakapan kedua orang yang berbeda gender itu. Saat wanita berambut merah itu menatapnya dalam, ia hanya bisa memberikan raut pasrahnya.

"Oh, Steven, kau menakutinya. Aku ini bukan pedofil."

"Kelakuanmu yang membuatnya takut. Blossom, masuk ke dalam. Wanita ini akan memakanmu hidup-hidup kalau kau terlalu lama di dekatnya," perintah Steven. Blossom memandang sejenak Steven, seolah pamannya itu adalah malaikat penyelamatnya, setelah itu dengan terburu-buru ia berlari meninggalkan ruang tamu itu.

"Jangan mengganggunya, Micky." Steven kembali memberi peringatan.

"Sayang sekali, Steven. Sekali aku mendapatkan target, ia tak akan kulepaskan," tukas Micky dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

"Kau gila, umurnya setengah dari umurmu."

"Ooh, jangan mulai lagi membicarakan umur. Tak ada yang menyangka kalau aku sudah kepala tiga," seru Micky bangga. "Lagipula, ini tak seperti yang kaubayangkan."

Dahi Steven berkerut, tanda meminta penjelasan.

"Kami ingin meluncurkan koleksi baru untuk musim Panas ini. Peluncurannya sudah terlambat seminggu karena kami belum menemukan model yang tepat. Musim panas yang fresh pasti membutuhkan sesuatu yang juga fresh dan memancarkan semangat a la anak muda. Saat melihat anak itu, aku langsung merasa dia sangat cocok dengan image yang kami cari," kata Micky menjelaskan. "Ngomong-ngomong, siapa namanya?"

"Blossom."

"Blossom? Warna bunga sakura! Lihat itu, Steven! Lihat! Dari namanya saja ia sudah sangat cocok dengan image baru yang akan diluncurkan K2."

"Tidak."

"Tidak?"

"Hn."

"Kenapa?" Blossom sudah sangat yakin kalau anak itu sangat cocok dengan image yang ia cari. Brand pakaian yang dikelolanya memang sedang membutuhkan wajah baru yang belum pernah ada. Selama ini mereka selalu menggunakan model-model ternama untuk memperagakan koleksi yang mereka miliki.

"Dia anak laki-laki. Brand kalian adalah brand pakaian perempuan."

"Aku tahu. Justru itu, Steven, kami ingin melebarkan sayap dengan merambah ke bisnis pakaian lelaki juga."

"Tetap tidak."

"Memangnya kau ini siapanya? Oh, aku tahu, anak itu pasti Pacarmu! Makanya kau tidak rela kalau dia dikenal banyak orang, kau takut dia pergi dari sisimu! Kau takut orang lain yang melihatnya akan tertarik dan mereka menjadi menginginkannya."

"Micky" geram Steven, "aku masih normal! Tidak ada penyimpangan dalam orientasi seksualku!"

"Lalu, apa masalahnya?"

"Dia terlalu polos untuk memasuki dunia kejammu. Aku ingin dia berkembang seperti anak-anak lain pada umumnya. Dan selama aku menjadi walinya, kau tidak akan mendapat apa-apa."

Micky menyadari kalau Steven serius. Saat Steven sedang serius, maka yang ia katakan akan selalu dipegangnya. Pria itu selalu konsisten dengan apa yang terucap dari mulutnya.

"Okay, kalau kau tak mau, akan kubujuk anak itu biar mau."

Steven semakin kesal dengan keberadaan perempuan itu di rumahnya. Setidaknya Steven berharap setelah deal dengannya untuk menangani kasus, wanita itu langsung pulang. Nyatanya, mereka malah berdebat karena bocah yang bersamanya sekarang ini.

"Pulanglah, Micky. Dan jangan dekati anak itu. Aku mengenalmu bukan baru kemarin sore."

Wanita itu lalu berdiri dan mendekati Steven. Satu kecupan kecil ia berikan di pipi sang pemuda, namun sepertinya pemuda itu tidak menanggapi kecupan manisnya. Ia lalu memasukan sesuatu di saku pemuda itu.

"Itu alamat apartemenku, kutunggu kedatanganmu besok, jam delapan malam," ia mengedipkan matanya sebentar sebelum memberikan satu kecupan lagi di bibir Steven.

oOo

Blossom membuka pintu kamarnya saat mendengar pintu kamar tersebut diketuk. Pelan-pelan ia memutar kunci dan menarik kenop pintunya. Dari celah kecil pintu kamarnya, dilihatnya sang paman yang sedang berdiri.

"Ada apa, Paman?" barulah ia membuka lebar-lebar pintunya.

"Kalau kau bertemu perempuan tadi, jangan pernah gubris apapun yang dikatakannya," titah Steven.

Blossom menganggukan kepalanya cepat-cepat, tanda ia akan menuruti apa saja perintah pamannya. "Ng, Paman, apa dia pa-pacarmu?" cicitnya.

"Mantanku."

"Oh."

"Hati-hati, dia pedofil. Dia sangat suka pada lelaki muda," tambah Steven yang sengaja menakut-nakuti Blossom. "Apalagi wajahmu itu bukan hanya incaran orang-orang sepertinya, wajahmu itu juga incaran para gay."

"GAY?" pekik Blossom kencang. "Aku bukan gay, Paman yang seperti gay!" Blossom kembali cemberut karena candaan pamannya yang mambuatnya sangat sebal.

"Aw!" pekiknya lagi saat Steven menyentil dahinya dengan sangat kencang.

"Dengar, jidat lebar, wajahmu itu wajah pemain," goda Steven lagi.

Blossom memegang dahinya yang disentil tadi, sedikit sakit karena tangan Steven sangat kokoh. "Paman menyebalkan! Paman itu yang gay! Kalau aku Pemain, lantas Paman apa? Penyerang? Hah? Hah?" tantangnya.

"Sudah mulai berani anak ini," Steven maju selangkah sehingga berdiri tepat di hadapan Blossom, lalu tangan kirinya ia angkat tinggi dan diletakan di tepian pintu, tangan kanannya meraih salah satu pergelangan tangan Blossom. "Baiklah, kau Pemain, aku Penyerang. Jadi, mari kita bermain permainan gay."

"HUAAAAA!" Blossom berteriak kencang saat Steven memajukan wajahnya dan berpura-pura hendak mencium Blossom. Remaja berambut cepak itu menggunakan tangannya yang bebas untuk menjauhkan wajah Steven yang semakin mendekat. Dengan usaha yang keras, akhirnya ia berhasil mendorong tubuh sang paman ke belakang. Pintu kamarnya ia banting dan langsung dikunci tanpa berpikir panjang. Tubuhnya ia sandarkan ke pintu dengan napas tersengal.

"Hosh ... hosh ..." ia berusaha mengambil napas. Gemuruh di dadanya tak bisa berhenti. Bukan hanya itu, bahkan sekujur tubuhnya pun ikut gemetar.

Di lain pihak, Steven juga sedang bersandar di pintu kamar Blossom. Jika dilihat dari samping, keduanya hanya dibatasi oleh ketebalan pintu. Steven menatap telapak tangan kanannya yang tadi memegang tangan gadis itu dengan bingung. Ia lalu menertawai dirinya sendiri. Kembali ia menatap tangan kanannya tadi. "Apa yang sudah kau lakukan, Steven?" tayanya pada diri sendiri.

oOo

Pada saat yang sama, di kamar luasnya yang berbentuk persegi panjang, Michelle sedang serius mengamati tulisan-tulisan yang tertera pada layar laptopnya. Sejak berjam-jam yang lalu ia mencari berbagai macam informasi mengenai keanehan yang ia alami. Ia merasa seperti orang sinting karena tidak bisa menghilangkan bayangan juniornya yang sangat manis itu. Wajahnya saat menatap Michelle di atap sekolah pada siang tadi terus terbayang.

"Homoseksual adalah perilaku atau adanya ketertarikan khusus secara romantis atau seksual pada sesama jenis. Homoseksual ini mempengaruhi kejiwaan seseorang," baca Michelle dengan sangat pelan, takut ada anggota keluarganya yang mendengar. "Perilaku homoseksual dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, pertama kelainan genetik, kedua faktor lingkungan, ketiga adanya trauma."

Michelle menimbang-nimbang sebentar. Kelainan genetik? Rasanya tidak pernah ada sejarah keluarganya menjadi homoseksual. Trauma? Dia tidak pernah merasakan trauma apa pun yang dapat membuatnya menjadi homoseksual seperti sodomi dan lain sebagainya. Lingkungan? Dia tidak tahu ada temannya yang menjadi homoseksual atau tidak. Apa mungkin karena ia terlalu banyak bergaul dengan anak laki-laki makanya dia seperti ini? Michelle sering berganti pacar, tak pernah ada satu perempuan pun yang bertahan lama menjalin hubungan dengannya. Paling lama hanya dua minggu.

Pasti karena itu, aku terlalu sering bersama teman-teman lelakiku makanya aku menjadi tertarik pada kaumku yang sejenis.

Michelle tahu, homoseksual di Jepang bukanlah hal yang baru. Bahkan, perilaku menyimpang itu sudah ada sejak zaman dulu. Tapi tetap saja, dia adalah anggota keluarga terpandang. Kehormatan keluarganya harus ia jaga. Mungkin mereka bisa memaafkan dirinya yang nakal dan sering berbuat onar, namun Michelle tak yakin jika mereka bisa langsung menerima kalau ia memiliki perilaku seksual yang menyimpang.

Ibunya pasti akan menangis. Ayahnya pasti akan sangat kecewa. Kakak dan kakak iparnya pasti tidak akan menyangka kalau Michelle seperti itu. Tapi, ia yakin kalau memang dirinya memiliki potensi menjadi homoseksual, keluarganya secara perlahan akan bisa menerima. Mereka sangat menyayanginya. Kecewa, sudah pasti, tapi kembali lagi rasa sayang yang begitu besar padanya akan membuat mereka menerima penyimpangannya itu.

"Tunggu sebentar! Aku kan belum tentu gay! Aku normal! Michelle adalah seorang pria sehat yang normal!" ujarnya meyakinkan dirinya sendiri. "Ya, aku normal. Kejadian tadi siang itu hanya kebetulan. Itu semua hanya karena Blossom terlalu manis! Arrgghh!" Michelle mengacak-ngacak rambutnya sendiri karena frustrasi. Ia lalu menutup laptopnya dan memutuskan untuk tidur. Sebaiknya sudahi saja pencariannya mengenai homoseksual. Semakin ia mencari informasinya, tanda-tanda itu semakin mengarah pada kondisinya saat ini. Lebih baik ia meyakinkan dirinya sendiri kalau dia bukan gay. Kondisinya sekarang ini pasti karena kebingungan sesaat. Setelah beberapa lama semua pasti akan kembali seperti semula. Ia adalah pria normal. Benar-benar normal.

oOo

Bertemu lagi dengan Blossom di sekolah bagaikan mimpi buruk untuk Michelle. Melihat juniornya itu berjalan dengan ceria membuatnya merona. Sialan. Seperti ada bunga-bunga yang bermekaran di sekeliling Blossom, rambut merah muda pendeknya malah semakin membuat auranya bersinar cerah dengan warna merah muda yang senada dengan rambutnya.

Baru saja Blossom mengangkat tangannya untuk menyapa Michelle di gerbang sekolah, pemuda itu sudah berlari pergi. Blossom memperhatikan sekelilingnya mencari objek apa yang membuat Michelle berlari ketakutan seperti itu. Tak ada apapun yang bisa ia temukan sebagai penyebab keanehan Michelle.

Bahkan selama beberapa kali mereka hampir berpapasan, Michelle pasti akan memutar haluannya dan menjauhi Blossom. Alih-alih bertemu, seniornya itu lebih memilih untuk menghindarinya. Otomatis Blossom merasa aneh dengan tingkah Michelle seharian ini. Sebelumnya pemuda itu selalu menyeretnya setiap kali jam istirahat. Michelle memang orang yang cukup kasar dan tidak pernah menjaga omongannya, tapi Blossom cukup nyaman bersamanya. Dia teman yang baik. Lagipula, karena kedekatannya dengan Michelle, tak ada satu pun siswa di sekolah yang berani mengganggunya lagi.

Ka Michelle aneh, batinnya.

Bukan maunya juga ia menghindari Blossom. Tapi, Michelle tak siap dengan detakan jantungnya yang terus menggila jika melihat Sakura. Semakin ia menguatkan diri kalau itu bukan apa-apa, semakin ada penolakan dari dasar hatinya. Ada sesuatu yang berteriak kalau ia memang menyukai Blossom, tapi sisi lain dirinya terus menyangkal. Selama ia masih berperang dengan dirinya sendiri, ia tak akan pernah siap untuk bertemu dengan junior yang sudah mengguncang hidupnya itu.

oOo

Sore hari, Blossom langsung pulang ke rumah. Ia memang malas mengambil kegiatan tambahan di sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler yang ia ikuti hanya klub piano yang mengadakan kegiatan setiap hari Selasa dan Rabu, selebihnya waktunya sangat lowong. Malam ini ia ingin membuat makanan kesukaan Steven. Paman tampannya itu menyukai apa saja asalkan banyak tomatnya.

Setelah masakannya siap, ia bermain piano sambil menunggu kepulangan Steven. Biasanya jam delapan malam sang paman sudah sampai di rumah. Blossom berencana untuk meminta Steven mengajarinya Bahasa Inggris seusai makan malam nanti. Itu pun kalau Steven sedang tak sibuk. Ia melirik jam dinding yang suda menunjukkan pukul 20.35, sosok Steven belum juga muncul. Ada perasaan tak enak yang merasuki relung hatinya. Pamannya, pasti pulang kan?

oOo

Steven berbaring rileks, menyamankan dirinya di atas ranjang empuk itu. Kedua tangannya yang terlipat di belakang kepala menjadi bantalnya yang nyaman. Dibiarkan wanita dengan surai merah itu melakukan apa saja pada tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu. Yang tersisa darinya hanya celana panjang hitamnya saja.

"Tubuhmu sudah jauh lebih hebat dari yang kuingat dulu, lebih berotot," ujar Micky.

"Aku sudah dewasa."

"Tapi aku juga suka tubuhmu yang dulu, tidak terlalu berotot, cenderung agak kurus, tapi sangat pas saat dipandang dan disentuh."lanjut Micky

"Hn. Kau tidak banyak berubah."

Tubuh Micky masih tetap seindah yang dulu. Wanita itu masih secantik dulu. Wanita itu masih sangat menggoda.

"Ah, sudahlah. Aku malas melanjutkan." Micky kemudian membaringkan tubuhnya di samping Steven.

Ia menatap kesal pada Steven yang juga menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Jangan melihatku seperti itu. Ini salahmu, kenapa kau tidak merespon sentuhanku?"

"Entahlah," jawabnya santai.

"Jangan-jangan kau memang sudah menjadi gay karena tidak bereaksi denganku," tuduh Micky curiga.

"Oh, itu sangat melukai harga diriku," canda Steven. "Aku ini normal, Micky, wanita yang pernah bersamaku selalu menginginkanku lagi dan lagi. Hanya saja mungkin saat ini aku sudah tidak tertarik padamu."

"Ck, kau memang brengsek," umpatnya sambil tertawa, lalu melempar bantal ke wajah Steven.

"Kau cantik, lebih cantik dari yang dulu."

"Lalu?" tanya Micky penasaran. Steven memang bajingan, usahanya untuk membangkitkan gairah pria itu gagal total.

"Hasratku padamu sudah padam, Micky," jawab Steven santai namun penuh makna.

"Kau sudah melupakan semua yang pernah terjadi di antara kita? Kisah cinta kita yang indah dulu ..."

Steven tertawa kecil dan membuat Micky semakin kesal. Ia berbaring miring agar dapat bertatapan langsung dengan Steven.

"Micky ... Micky... kalau lelaki lain, mereka pasti akan langsung menyerangmu jika melihat kondisimu yang seperti ini."

Steven serius saat mengatakan hal itu. Micky memang terlihat hot dengan pakaian dalam berendanya yang berwarna hitam. Sangat kontras dengan tubuhnya yang begitu putih dan mulus, yang semakin dipercantik dengan surai halusnya yang berwarna merah.

"Kalau begitu kau buta dan bodoh karena tidak mengambil kesempatan ini," ejek Micky lagi.

"Terima kasih. Aku merasa sangat tersanjung," balas Steven santai sehingga membuat Micky semakin kesal.

"Baiklah, aku memang tidak bisa mengalahkan pengacara terkenal," ujar Micky menyerah. "Steven" panggilnya lagi, "Kupikir tadi kau tidak akan datang."

"Kalau aku tidak datang, tandanya aku belum lepas dari bayang-bayangmu. Aku kemari agar kau tahu kalau kau sudah tidak ada artinya lagi. Kau sama saja dengan wanita yang lain bagiku."

"Hahaha ..." kembali wanita itu memamerkan tawanya. "Stevenku sudah berkembang rupanya. Bukan lagi anak burung yang baru belajar terbang, tapi ia sekarang adalah seekor elang pemburu."

Steven menyunggingkan senyum tipisnya. "Sekali lagi, terima kasih."

"Untuk apa?"

"Tanpamu aku tidak akan jadi seperti ini."

Tidak mau membuang waktu, Steven bangkit dari ranjang Micky dan mengambil kemejanya di lantai. Setelah pakaiannya kembali rapih, ia berjalan untuk meninggalkan kamar itu.

"Yakin tidak mau menginap malam ini, Steven?" goda Micky untuk yang terakhir kalinya.

"Aku lebih memilih melewatkan kesempatan emas ini," jawab Steven sebelum membuka pintu kamar dan melangkah pergi.

oOo

Sambil menyetir mobil, ia kembali merenung. Memang benar, kehadiran Micky menjadi salah satu faktor utama yang membuatnya berubah. Jujur saja ia lebih menyukai dirinya yang sekarang. Jika Micky tidak muncul, maka tidak akan ada pertengkaran hebat dengan ayahnya. Jika ia tidak mengetahui kenyataan itu, ia tidak akan punya keberanian untuk pergi dan meninggalkan semuanya. Dan jika ia tidak pergi pada saat itu, maka selamanya ia adalah boneka yang diatur-atur, ia tidak akan memiliki kebebasan seperti yang dimilikinya sekarang.

Steven sedikit merasa bersalah saat menemukan Blossom tertidur di meja dapur dengan makanan yang masih belum tersentuh. Ia kembali menertawakan dirinya sendiri saat menganggap dirinya adalah suami yang baru pulang dari rumah selingkuhan, sedangkan istrinya menunggu di rumah sampai jatuh tertidur karena kelelahan. Pikiran konyol!

"Bangun bocah," panggilnya sambil menyentil dahi Blossom lagi.

"Uugghh, aku mengantuk sekali," rajuknya. "Kyaaaa!" pekiknya kencang karena kembali mendapat sentilan di dahinya yang lebih kencang dari sentilan pertama tadi. "Paman sudah pulang?" tanyanya saat melihat Steven yang sedang memelototinya.

"Kau menungguku sampai tertidur?"

"Iya, kupikir Paman akan pulang. Ng, makanannya sudah dingin, kupanaskan saja, ya."

"Tidak usah," pria itu malah segera mengambil tempat di meja makan dan mulai mengambil makanan yang sudah disediakan Blossom. "Ayo makan sama-sama."

Rasa kantuknya langsung hilang, dengan bersemangat ia makan bersama Steven. Tak peduli kalau saat itu telah hampir jam sebelas malam.

oOo

Blossom telah mengenakan gaun tidurnya. Penampilannya sudah tidak semenantang saat bersama Steven tadi. Ia berbaring santai di atas ranjangnya dan menatap langit-langit kamarnya. "Blossom, ya," gumamnya sambil tersenyum penuh arti.

.

.

.

To be continue