WebNovelNaive85.71%

Chapter 06

.

Tik tik tik.

Sangat hening. Suara detak jam tangan yang berotasi pun dapat memasuki indera pendengar dari dua anak manusia yang masih saling berdiam diri. Masing-masing dari mereka masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Mozaik jingga dari sang raja siang menandakan bahwa tengah hari telah lewat sedari tadi.

"Ka..." Akhirnya yang muda yang lebih dulu membuka percakapan. Ia tak tahan dengan suasana yang terlalu hening seperti ini.

"..."

"Aku mau pulang. Paman akan marah kalau aku terlambat pulang ke rumah."

Blossom bangkit berdiri. Sudah sejam ia menunggu senior-nya untuk bicara. Tadi memang michelle memanggilnya ke atap sekolah. blossom mengikutinya karena berpikir kalau michelle akan mengajaknya berbicara tentang hubungan mereka berdua yang tiba-tiba saja menjadi kaku tanpa sebab yang jelas. Alih-alih berbicara, keduanya malah saling mendiamkan satu sama lain.

"Blossom, aku—"

"Maaf, ka, aku harus pulang sekarang. Kalau tidak, aku akan benar-benar diamuk paman." blossom langsung berlari pergi tanpa menunggu reaksi dari michelle.

"Shit!" umpat michelle sambil menendang kaleng kosong yang berada di dekatnya. Memaki dirinya sendiri karena hanya bisa diam tanpa mengucap satu kata pun. Kenapa juga blossom harus terlihat begitu manis di matanya? Oh, astaga, michelle sudah tak tahu lagi apa yang salah dengan dirinya. Sepertinya ia memang harus berhenti membohongi dirinya sendiri, kalau begini terus lama-kelamaan michelle akan percaya kalau dirinya memang memiliki kecenderungan untuk menjadi seorang homoseksual.

oOo

"Hai manis."

Sekali lagi blossom menatap horror tamu yang datang. Mengingat ancaman pamannya mengenai micky yang pedofil membuat bulir-bulir keringat muncul di dahinya secara spontan. micky lalu melihat dirinya sendiri, mencari apakah ada yang salah dengan penampilannya sehingga remaja tanggung di depannya ini seperti sedang melihat hantu.

"Ada yang salah dengan penampilanku, hm?"

"Ti-tidak. Hanya saja, pamanku tak ada di ru-mah." Napasnya terputus-putus. Dalam hati ia berdoa semoga Steven cepat pulang.

"Oh, tentu saja. Pamanmu pasti akan pulang terlambat malam ini. Dia sedang ada rapat sampai tengah malam nanti," ujar Micky meyakinkan. Ia memang tak menginginkan keberadaan Steven sekarang. Untung saja ia sudah memastikan jadwal lelaki itu sebelumnya. Yang ia perlukan hanya bocah manis yang tinggal di rumah Steven.

"Boleh aku masuk? Aku ada perlu denganmu, anak manis."

Blossom masih ragu untuk mengizinka micky masuk. Di satu sisi dia memang takut pada micky, dan di sisi lain, ia takut pada Steven. Pamannya itu pasti marah kalau blossom mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuannya.

"Kau lama sekali." Dengan tak sabar Micky menarik tangan anak itu masuk ke dalam rumah.

Baiklah, paling tidak blossom punya alasan kalau nanti Steven marah. Tinggal katakan saja kalau Micky yang memaksa masuk. Ya, itu alasan paling masuk akal untuk menghindari amukan pamannya. Steven yang murka tampak lebih menakutkan dari raja iblis sekalipun.

"Wah, sepertinya kau pandai memasak, ya," seru Micky takjub ketika melihat sajian makan malam yang telah tersedia di meja makan.

"Paman lebih suka makan di rumah. Makanya aku memasak setiap hari."

"Selamat makan." Tanpa diperintah, Micky sudah duduk dan menyantap makanan yang dibuat blossom untuk Steven. "Ayo makan, aku yang akan bertanggung jawab kalau Steven marah."

Blossom masih ragu-ragu. Bagaimanapun, ia sangat takut kalau Steven sudah marah.

"Lagipula Steven pasti tak akan makan di rumah. Dia pasti makan malam dengan kliennya."

Mendengar itu akhirnya Blossom mengalah. Sebenarnya, ada rasa tak nyaman yang menyusup ke lubuk hatinya. Ia ... iri pada Micky yang bisa bertingkah seenaknya pada Steven. Beberapa temannya di panti asuhan dulu sudah berpacaran, dan tak ada satu pun dari mereka yang bisa berlaku sama santainya dengan Micky saat menghadapi mantan pacar masing-masing.

"Nah, bocah, di mana kamarmu?"

Glek! Mendadak Blossom tak bisa menelan air minum yang sedang ditenggaknya. Air matanya sebentar lagi akan mengalir saking takutnya. Baru saja ia selesai makan malam, jangan-jangan sebentar lagi malah dirinya yang dilahap.

"Huh." Mendadak Micky terlihat sangat sebal. "Apa yang dikatakan Steven padamu?" paksanya. "Dia bilang aku pedofil kan?"

Blossom yang belum menurunkan gelas dari mulutnya mengangguk takut. Wajah Micky yang murka ternyata tak kalah menakutkannya dengan sang paman. Kenapa ia selalu dikelilingi orang-orang bermasalah seperti Steven, michelle, dan Micky?

"Pertama, aku ini bukan pedofil. Kedua, walaupun kau manis, tapi kau bukan seleraku. Paham?"

Blossom buru-buru mengangguk sebelum wanita itu menjadi semakin murka.

"Ketiga, aku bertanya di mana kamarmu karena aku ingin kau mencoba ini." Wanita cantik itu kemudian menyerahkan kotak yang lumayan besar yang dibawanya sejak tadi pada blossom. "Gantilah dengan barang-barang yang kubawa ini. Aku hanya ingin memastikan bahwa perkiraanku tidak salah."

Blossom membuka kotak berwarna coklat itu dan mendapati pakaian bergaya kasual lengkap dengan sepatu, topi, dan aksesori lainnya. Tak mau mencari masalah, maka secepat kilat ia menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Nanti sajalah baru bertanya tentang tujuan Micky memintanya memakai benda-benda tersebut.

oOo

Micky bersiul-siul pelan di ruang makan sembari menunggu Blossom. Dalam hati ia mengeluhkan kenapa tidak dari dulu saja ia bertemu dengan anak itu. Kalau dari awal ketemu kan ia tak perlu repot-repot untuk mencari wajah baru dari brand pakaian miliknya. Blossom sudah memenuhi semua syarat yang ia cari. Senyum kemenangan tersungging di wajahnya saat Blossom muncul dengan pakaian yang ia pilihkan tadi. Tak salah lagi, anak inilah yang memang ia cari. image baru untuk brand-nya akhirnya ia temukan juga.

"Sempurna! Jadilah model K2!"

"Emm ... aku harus mendapat persetujuan dari paman dulu."

Micky memutar bola matanya dongkol. Steven lagi, Steven lagi. Anak ini terlalu menurut pada Steven.

"Dengar, nak," ujarnya seraya merangkul bahu blossom. "kau tahu kan kalau pamanmu itu pasti tidak akan setuju." Dan ia mendapat satu anggukan dari Blossom. "Tapi, apakah kau mau terus menyusahkannya?"

"Maksud bibi?"

Wajah Karin seperti akan memakannya hidup-hidup saat dipanggil 'bibi'. "AKU BELUM SETUA ITU UNTUK DIPANGGIL BIBI!" Menyadari Blossom menciut karena amukannya,micky kembali tersenyum manis dan melembutkan suaranya. "Emm, maksudku jadilah modelku diam-diam. Kau sudah 17 tahun kan?"

Blossom yang terintimidasi senyum Micky buru-buru mengangguk.

"Bagus, kalau begitu tak ada masalah." Micky mulai melancarkan jurus rayuannya. "Kau akan mendapat bayaran yang setimpal. Aku sendiri yang akan mengatur kontrakmu. Kupastikan kau mendapat bayaran yang bagus. Bukankah ini akan mengurangi beban Steven."

Blossom yang polos mulai membayangkan betapa bahagianya mendapat uang banyak. Imajinasinya menunjukkan dirinya sendiri yang sedang menari-nari di bawah hujan uang.

"Steven kan sudah mengeluarkan banyak biaya untukmu, kalau kau punya uang sendiri, kau tidak akan merepotkan pamanmu itu." Well, Micky sangat tahu kalau blossom sudah mulai masuk ke dalam jeratannya. "Blossom anak baik kan?" bocah itu mengangguk sekali. "Tak mau merepotkan paman kan?" satu anggukan lagi. "Jadi, kau mau menjadi modelku kan?" dan satu anggukan lagi dari Blossom membuatnya merasa seperti seorang ratu yang sedang memerintah bawahannya.

Wanita itu lalu mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tasnya. "Ini perjanjian kita, kau tinggal tanda tangan saja." Senyumnya semakin lebar saat perjanjian hitam di atas putih itu telah resmi ditandatangani. "Karena kita sudah sepakat, besok aku akan menjemputmu untuk mencoba-coba dulu baju yang akan kau pakai saat pemotretan nanti. Sebaiknya kau mencari alasan yang logis untuk Steven, karena kita akan pulang sedikit malam sepertinya."

Micky yang telah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya pulang dengan sangat puas. Rekan kerjanya tidak akan marah-marah lagi karena kali ini pemotretan dan promosi sudah bisa dilakukan. Yang penting tanda tangan anak itu sudah ia dapatkan, Steven sekalipun tak akan bisa menghalanginya.

oOo

Blossom yang ketar-ketir sendiri selama di sekolah. Bodoh sekali ia tadi malam. Bisa-bisanya ia terjebak rayuan Micky. Kalau sudah begini ia harus mencari akal agar bisa bebas. Steven pasti akan sangat marah kalau tahu mengenai perjanjian menjadi model itu. Sesaat setelah Micky pergi, blossom menyadari kecerobohan yang telah ia lakukan. Lebih baik ia bicara baik-baik dengan Micky sebelum semuanya menjadi semakin runyam.

"Emmm ... Ka Micky," panggilnya tak yakin.

"Ada apa?" balas Micky yang sedang menyetir mobilnya.

"Bisa kita batalkan perjanjian tadi malam?"

Ciiiiiiitt!

Untung ada sabuk pengaman yang mencegah tubuhnya terpelanting menabrak dasbor mobil. Ia sangat kaget karena micky menginjak rem mobilnya mendadak. Apa ia sudah salah bicara ya?

"Dengar, ya, bocah. Perjanjian kita sudah tidak bisa dibatalkan."

"Aku takut kalau paman akan marah."

Micky mengembuskan napas pelan. "Aku yang akan bertanggung jawab," janjinya.

"Tapi—"

"Begini saja, kau coba dulu untuk sekali pemotretan. Aku janji ini tak akan mengecewakanmu. Aku bersumpah aku yang akan bertanggung jawab pada Steven."

Akhirnya, karena merasa tak punya pilihan, lagi-lagi blossom menurut. Ia sudah memulainya, setidaknya ia mencoba untuk bertanggung jawab pada pilihan yang diambilnya semalam. Hanya satu kali. Benar-benar hanya satu kali.

Sesungguhnya dalam hati Micky marasa bersalah karena sudah memanfaatkan kepolosan blossom. Anak itu masih terlalu polos untuk mengetahui trik yang telah micky gunakan padanya. Cukup dengan permainan kata maka blossom telah masuk ke dalam perangkap. Tapi, Micky sangat yakin dengan pilihannya. Anak ini punya bakat yang sangat besar. Micky bisa menangkap sinyal-sinyal terpendam itu. Dan Micky tak akan gentar. Murka Steven pun akan ia hadapi.

oOo

Justin adalah seorang fotografer komersil profesional. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa model baru yang dibawa Micky benar-benar bocah yang masih hijau. Terlihat jelas anak itu sangat awam dengan dunia mereka.

"Korbanmu, Micky?" ejeknya.

"Tidak sopan," timpal Micky. "Dia adalah berlian yang kutemukan secara tidak sengaja."

"Tadinya kupikir dia anak perempuan," celetuk Justin lagi.

"Lakukan saja tugasmu."

Berikutnya, blossom yang seharusnya hanya mencoba-coba pakaian, kini diseret Justin ke dalam studionya. Rupanya fotografer itu sudah tak bisa menahan jemarinya pada kamera. Gerakan-gerakan blossom dinilai sangat natural. Remaja yang tadinya ia nilai sangat polos itu dapat dengan mudah mengikuti instruksinya. Justin terus memintanya berganti gaya dan kostum. Sang fotografer sepertinya sangat puas dengan semua hasil jepretannya hari ini. Waktu berjam-jam yang telah mereka lewati pun terasa begitu singkat.

"Justin, kupikir hari ini kita hanya menguji coba saja?" ejek Micky.

"Harus kuakui, kau punya pengamatan yang bagus. Anak ini benar-benar harus menjadi image K2. Dia punya gaya yang natural. Aku berani bertaruh kalau semua fotografer pasti akan menyukainya. Ia membuat gambar yang kami ambil menjadi sangat hidup."

"Apa kubilang," tukas Micky puas. Matanya memang tak pernah salah. Sejak awal dia sudah tahu kalau blossom adalah berlian yang perlu diasah. Anak ini calon model berbakat di masa depan.Mickybtak ingin menyia-nyiakan peluang seperti ini. Dia harus bicara dengan Steven. Micky ingin membimbing Blossom menjadi seorang model.

"Bagaimana? Suka?" tanyanya sambil menyerahkan sebotol air mineral pada blossom.

Karena haus, ia menenggak air tersebut dengan tergesa-gesa, membuat Micky menggeleng-gelengkan kepalanya. "Um." Gadis itu mengangguk. "Walau melelahkan, tapi ini sangat menyenangkan."

"Ini sudah jam sepuluh. Aku akan mengantarmu pulang, kalau Steven sudah di rumah, biar aku yang bicara padanya."

Mendengar nama Steven, kembali nyalinya menciut. Ia sangat menyukai kegiatan barunya ini, tapi semuanya akan menjadi sia-sia kalau Steven tidak memberikan persetujuannya.

"Nanti kita mampir beli pizza sebentar, sepertinya kau sangat kelaparan."

Benar saja, perut blossom kemudian berbunyi tanda minta diisi. Beberapa kru yang berada di sana ikut menertawainya. Micky lalu mengacak-acak rambut anak itu karena gemas.

oOo

Steven baru sampai di rumah pada pukul satu dini hari. Kasus yang ia tangani belakangan ini cukup berat. Ia merasa kesal karena orang-orang di firma hukum tempatnya bekerja seperti sangat bergantung padanya. Pamornya sebagai pengacara muda yang bersinar memang meningkat drastis sejak ia memenangkan kasus Samudra. Sejak saat itu, banyak kasus berat yang ia pegang. Ia memang senang karena itu berarti saldo rekeningnya juga meningkat drastis, namun hal tersebut harus dibayarnya dengan waktu luang yang semakin sedikit. Untung saja ada blossom di rumahnya sehingga ia tak perlu khawatir rumahnya akan berantakan karena tak ada yang mengurus.

Ngomong-ngomong soal blossom, sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu anak itu. Bertemu pun hanya pada saat sarapan. Kadang ia malah tak sarapan dan langsung pergi. Pulang juga sudah terlalu larut. Apa kabar anak itu sekarang? Apa sekolahnya lancar-lancar saja? Sepertinya ia harus membuat catatan pengingat untuk menghubungi Kimberly dan menanyakan keadaan blossom di sekolah. Oh, ya, sebentar lagi anak itu akan ujian . Biasanya Steven akan membantunya belajar, sepertinya untuk beberapa waktu ke depan ia tak bisa membantu Blossom. Hah, sepertinya dia memang harus meminta bantuan Kimberly lagi untuk mengajari blossom secara privat, atau meminta istri sahabatnya itu untuk memasukan Blossom ke tempat les terpercaya. Awas saja kalau nilai anak itu jelek, Steven sendiri yang akan langsung memarahinya.

Tunggu dulu. Steven jadi bingung sendiri. Kenapa dia jadi sibuk sekali mengurusi segala hal tentang blossom? "Hahaha ... aku ini bukan ayahnya!" tukas Steven yang bingung dengan dirinya sendiri. Berhubung sudah lama tak bertemu anak itu, Steven segera pergi ke kamarnya. Ingin mengetuk pintunya, tapi agak ragu. Pria itu lalu membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Ia tersenyum tipis melihat anak asuhnya itu tidur dengan begitu polos. Wajah Blossom benar-benar seperti anak kecil yang sangat nyaman dalam tidur lelapnya.

Sesaat sebelum pintu itu kembali ditutup, sayup-sayup Steven mendengar blossom mengigau dalam tidurnya. "To-long ... tolong aku ... to-tolong, ada orang jahat mengejarku."

Ekspresi anak itu sangat ketakutan. Ia meremas bantal gulingnya dengan begitu erat. Karena terus merintih ketakutan, Steven memutuskan untuk membangunnkannya saja.

"Blossom, Blossom ... bangun ...," panggilnya sembari menepuk pipi dan bahu gadis itu. "Blossom ..." ia terus berusaha membangunkan Blossom. Anak itu terlihat sangat menderita. Kembali Steven menepuk-nepuk pipinya agar dia segera terbangun.

Gadis yang sedang menyamar itu membuka matanya panik. Tanpa diduga ia memeluk tubuh Steven erat-erat. "Aku takut!"

"Ssssst ... tak ada orang jahat di sini," kata Steven berusaha menenangkannya sambil mengusap punggung Blossom.

Sadar akan apa yang telah ia lakukan. Blossom melepaskan pelukannya, ia kini bukan lagi takut karena mimpi buruknya, tapi takut kalau Steven curiga pada reaksinya tadi. Reaksi spontan yang dilakukannya tanpa berpikir dulu. Curiga kalau sebenarnya ia bukan anak laki-laki.

"Hanya mimpi buruk. Maaf sudah merepotkan Paman."

"Tidurlah lagi, kalau ada apa-apa bilang saja padaku."

Blosskm segera membelakangi pamannya itu dan memejamkan matanya erat-erat, berpura-pura tidur. Dalam hati ia berharap agar Steven tidak curiga padanya. Jangan sampai penyamarannya terbongkar secepat ini.

Steven sendiri menutup pintu kamar Blossom dengan berbagai macam pikiran yang ada di dalam kepalanya. Ia selalu penasaran, sebenarnya siapa yang sedang mengejar anak itu? Pasti ada sesuatu yang blossom sembunyikan. Jika waktunya sudah tepat, ia akan menanyakan segala hal yang membuatnya sangat penasaran.

oOo

Sejak malam di mana blossom bermimpi buruk, keduanya semakin jarang bertemu. Steven kembali tenggelam pada kesibukannya mengurus kasus pembunuhan. Hal ini benar-benar dimanfaatkan Micky dengan baik. Seminggu ini Blossom banyak menghabiskan waktu di luar sekolah bersamanya. Pandangan Blossom pada micky berubah. Ia tak takut lagi pada Micky, wanita itu sangat baik padanya. Bagi Blossom, Micky adalah orang yang sangat menyenangkan. Dia lucu dan dengan senang hati membantu Blossom beradaptasi dengan pekerjaan barunya.

Setelah makan malam, Micky mengajak Blossom berjalan-jalan sebentar di kota. Beberapa kali ia menangkap Blossom melirik beberapa sepatu sport yang sepertinya disukai anak itu. Tanpa ragu ia mengajak Blossom masuk ke dalam toko dan membeli sepatu yang beberapa kali dilirik sang remaja. Senyum polos Blossom mengembang setiap kali mencuri pandang pada sepatu baru yang berada di dalam tas belanjaan yang sedang ditentengnya sekarang.

"Ayo menyeberang." Suara Micky menyadarkannya kemudian. Ia melirik lampu lalu lintas yang berwarna merah dan lampu penyeberangan yang telah hijau, lalu mengikuti langkah Blossom. Wanita bemahkota merah itu telah beberapa langkah di depannya. Blossom setengah berlari untuk menyusul micky. Walaupun menggunakan sepatu dengan hak tinggi,Micky sama sekali tidak menemukan kesulitan untuk berjalan cepat. Blossom bahkan sampai bingung bagaimana wanita modis itu bisa melangkah cepat tanpa beban.

Sepertinya ada mobil yang tidak menghiraukan lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Sedan hitam itu terus melaju ke depan tanpa menghiraukan orang-orang yang masih melintasi jalan. Sekuat tenaga Blossom berlari, ia menarik tangan Micky agar mereka bisa menghindari dari mobil tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurunkan kecepatannya.

"Kyaaaaa!"

Orang-orang di tengah jalan menjadi ribut. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri. Suasana di tengah jalan menjadi kacau tak terkendali. Mobil yang menjadi sumber kekacauan tersebut telah menghilang. Sepertinya pengemudinya kabur dengan kecepatan tinggi. Blossom dan Micky sendiri terjatuh di pinggir jalan. Untung saja ia cepat menarik micky. Beberapa orang yang melihat gerakan Blossom juga ikut berlari sehingga tak ada korban jiwa. Hampir saja terjadi kecelakaan maut yang memakan korban jiwa.

Napas keduanya terputus-putus. Blossom menarik napas secara rakus melalui mulutnya. Mereka pasti mati atau paling tidak sekarat jika tadi ia tidak mengambil tindakan cepat.

"Orang yang membawa mobil tadi pasti sudah gila. Semoga dia membusuk di neraka!" umpat Micky. Amarahnya semakin memuncak saat ia menemukan kedua lutut mulusnya lecet, stocking hitam yang dikenakannya juga sobek di bagian lutut. "Oh, sial!"

"Kau baik-baik saja, Ka?" tanya Blossom seraya membantu wanita itu berdiri.

"Hanya lecet sedikit, kau?"

Micky menjadi tak tega saat melihat Blossom meringis kesakitan. Tangan kiri anak itu memegang bahu kanannya. Sepertinya bahu Blossom cedera. Apalagi terdapat beberapa luka lecet pada tangan anak itu.

"Apa-apaan ini!?"

Dua orang yang baru saja selamat dari maut itu rasanya benar-benar melihat setan sekarang.

"Kupikir mataku salah. Ternyata dua orang yang penuh dengan luka-luka ini adalah orang yang kukenal."

Blossom dan Micky saling pandang satu sama lain. Cuma ada satu nama dalam benak mereka sekarang: Steven!

"Ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Sepertinya pengemudinya tidak memperhatikan lalu lintas."

"Penjelasannya nanti saja. Kita ke rumah sakit, sekarang juga," tukas Steven yang langsung menarik kedua orang itu ke dalam mobilnya.

"Aku baik-baik saja, Paman. Kumohon, jangan ke rumah sakit!" rengek Blossom di dalam mobil.

"Tidak. Kalian penuh dengan luka."

"Paman," rengeknya lagi.

Steven bergeming. Ia tetap pada keputusannya untuk membawa mantan kekasih dan anak asuhnya ke rumah sakit.

"Aku takut pada jarum suntik."

"Hahaha ...," Steven tertawa mengejek, "anak laki-laki tak boleh takut pada apa pun."

Blossom merengut sebal. Ini bahaya. Jangan sampai mereka tiba di rumah sakit. Penyamarannya bisa saja terbongkar.

"Ngomong-ngomong, kenapa kalian berdua bersama?" Steven menanyakan kecurigaannya. Bukannya ia sudah mengultimatum Micky untuk jauh-jauh dari Blossom?

"Aku baru saja mau membicarakan hal ini denganmu," jawab Micky santai, tak peduli Steven sudah menghadiahinya dengan tatapan membunuh. "Steven, sudah kubilang, sekali aku menetapkan sesuatu—"

"Nanti Micky, nanti. Setelah kita sampai di rumah sakit, mengobati luka-luka kalian, baru urusan yang satu ini kita selesaikan," ujarnya dengan amarah yang berusaha ia tahan. Steven yakin kalau Micky tak mengindahkan perkataannya waktu itu. Apa dia pikir Steven bercanda mengenai ketidak setujuannya dengan permintaan Micky untuk menjadikan Blossom model?

"Paman, aku tak mau ke rumah—"

"Diam!"

"Aku mau pulang!" pekik Blossom tak mau kalah.

"Blossom, kau sedang terluka!"

"Aku bisa mengobati diriku sendiri!"

Micky yang duduk di sebelah tempat duduk kemudi mengunci mulutnya rapat-rapat. Anak ini menggali kuburannya sendiri dengan membalas Steven yang sedang emosi. Kau cari mati bocah.

"Pamaaaaannn!"

"Baiklah, baiklah. Kita pulang ke rumah. Aku sendiri yang akan mencincangmu kalau kau berteriak kesakitan."

"Tidak akan," kata Blossom sambil membentuk huruf 'V' pada tangan kirinya.

"Aku juga pulang ke rumah saja, lukaku bisa kubersihkan sendiri. Lagipula ini tidak parah," sambung Micky.

Dua orang ini benar-benar membuat Steven kesal. Mereka sama-sama terluka dan sama-sama tak ingin pergi ke rumah sakit. Awas saja kalau terjadi sesuatu, Steven tak mau bertanggung jawab.

oOo

Keesokan harinya Steven benar-benar muncul di kantor Micky untuk membahas soal Blossom. Steven bersumpah akan mencekik perempuan itu kalau ia sudah bertindak terlalu jauh. Blossom adalah anak asuhnya, semua yang dilakukan anak itu harus melalui persetujuanannya.

"Jadi begitu, Steven," kata Micky setelah menyelesaikan semua ceritanya. Tentu saja ia tak menceritakan tentang bagaimana cara ia membujuk Blossom agar mau menjadi modelnya.

"Aku sendiri yang akan membatalkan perjanjian itu." Keputusan Steven juga sudah bulat. Sekali tidak, tetap tidak. Menjadi model bukan bagian dari hidup Blossom. Kehidupan sebagai model sangat keras. Ia sendiri sudah menyaksikan sisi gelap dari dunia yang dianggap sangat glamor itu. Tidak, tidak, dan tidak. Anak asuhnya tidak akan masuk ke dalam dunia seperti itu. Selain itu, masih ada hal lain yang ingin ia korek mengenai Blossom. Micky tak boleh mengacaukan rencananya sebelum semuanya selesai.

"Stev."

"Aku pengacara, kalau kubilang aku bisa membatalkan kontrak ini, berarti memang bisa. Lagipula aku adalah walinya, dia menandatangani perjanjian itu tanpa persetujuanku. Sudah pasti aku bisa membatalkannya."

Micky berdiri sambil menggeram. Lama-lama ia menjadi jengah juga dengan Steven yang seperti terlalu mengekang Blossom. "Lihat ini!" Ia melempar beberapa hasil pemotretan ke atas meja kerjanya. "Lihat! Anak itu sangat berbakat. Aku tak mau bakatnya terkubur begitu saja!"

"Biar saja."

Micky mengernyitkan keningnya frustrasi. Steven akan sangat sulit diubah pendiriannya jika sudah memutuskan sesuatu. Micky sudah menyadari hal itu dari dulu, tapi ia tak menyangka kalau akan sesulit ini.

"Kenapa kau terlalu mengekangnya?"

"Mengekang?" Steven berdiri sekarang. "Aku sedang berusaha melindunginya."

"Melindungi? Kau hanya ingin mengurung anak itu. Itulah kenyatannya," teriak Micky emosi. Steven memperlakukan anak itu seperti burung di dalam sangkar emas. Blossom memang tak kekurangan kebutuhan apa pun, tapi Steven terlalu memenjarakannya. Tak bisakah Steven melihat potensi besar Blossom?

"Micky, kau baru mengenalnya. Anak itu sudah menyembunyikan terlalu banyak hal. Kau akan mengerti nanti. Keputusanku tetap tidak! Aku akan bayar ganti ruginya, kau tinggal beritahu saja berapa nominalnya."

Micky memandang punggung Steven yang berjalan ke luar dari ruangannya dengan emosi mendidih. Steven pikir dia siapa? Melindungi Blossom? Alasan yang terlalu dipaksakan.Micky yakin ini semua hanya karena keegoisan Steven semata. Blossom punya potensi yang sangat besar, akan sangat disayangkan jika bakat besar anak itu tidak diasah. Nalurinya berkata kalau ia tidak salah sama sekali. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyuruhnya untuk terus maju. Micky yakin hal tersebut pasti karena ia tak pernah menemukan potensi untuk menjadi model profesional sebesar ini dalam diri siapa pun.

"Maaf, Steven. Tapi aku juga tidak akan berhenti." Kalau Steven bisa berkeras hati dengan pendiriannya, maka ia juga bisa. Menghadapi Steven jelas bukan sesuatu yang mudah, tapi Micky akan terus maju.

oOo

"Kau?"

Steven benar-benar tak percaya pada pemandangan yang dilihatnya ini. Saat akan menjemput Blossom, ia menemukan Micky sudah lebih dahulu berada di sana. Perempuan ini rupanya tidak mendengarkan apa yang ia katakan tadi siang.

"Ya, aku. Kami punya pemotretan yang harus diselesaikan hari ini," jawab Micky santai. Ia tak menyangka kalau hari ini Steven akan datang menjemput Blossom di sekolah. Kenapa pria itu tidak sibuk seperti biasanya sih? Benar-benar menyebalkan.

"Tidak!" tegas Steven.

"Maaf, Tuan Pengacara. Tapi aku menolak keberatanmu," tantang Micky. Jika Steven tetap menolak, maka jangan salahkan dirinya yang juga tetap ngotot.

"Errr ... Paman, Ka Micky, bisa tidak bertengkar di sini?" kata Blossom sembari memegang bahunya yang masih sakit.

"Kau tidak lihat kalau dia masih sakit? Luka-luka di tubuhnya masih belum sembuh!"

"Aaaaahh ..." Mocky seperti menemukan celah. "... jadi kalau luka-lukanya sembuh, dia boleh melanjutkan pemotretan?" tanya Micky sambil memberikan senyum yang sangat menyebalkan di mata Steven.

"Tetap tidak," tegasnya sekali lagi. "Blossom, masuk ke dalam mobil."

"Dasar pria keras kepala! Arogan! Pengatur! Kau tak boleh mengaturnya seperti ini!" Micky yang telah terbakar emosi malah jadi mengatai mantan pacarnya.

"Kita selesaikan di tempat lain saja, ya," pinta Blossom. Ia makin tak enak hati pada siswa-siswi yang menyaksikan pertengkaran tersebut.

Tapi seolah tak memedulikan permintaan Blossomb dua orang dewasa itu terus berdebat alot. Remaja yang menjadi objek perdebatan mereka sampai tak tahu harus berbuat apa karena mereka bertiga menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang pulang sekolah. Beberapa bahkan berbisik-bisik melihat kedua orang yang sedang beradu pendapat dengan sengit itu.

oOo

Siiiiiiiiiiiiiiiiiiiinngggg.

Suara desingan tersebut hampir tak terdengar siapa pun.

Blossom memegangi dada kirinya saat ia baru saja akan melangkah untuk melerai pamannya dan Micky. "Aakkhhhh," ucapnya parau. Napasnya terasa sangat sesak. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Blossom!"

Kedua orang yang tadi berdebat itu sangat terkejut. Blossom terjatuh dengan dada kiri yang telah berlumuran darah. Segera Steven membopong tubuh anak itu ke dalam mobil dengan diikuti Micky. Kerumunan murid semakin ramai karena baru saja menyaksikan penembakkan yang terjadi langsung di depan mata mereka.

Tak ada suara tembakan.

Tak ada saksi mata yang menyaksikan pelaku menembak korbannya.

Tiba-tiba saja anak itu sudah terjatuh dengan tubuh bersimbah darah.

.

.

.

Tbc: