Hari ini, rumah Tuan Mami kedatangan Bella, guru senam yang cantiknya bikin Paijo klepek-klepek. Cuma sayang, Bella agak sombong dan matre. Paijo pun curhat ke Abdul Latif, sahabatnya yang selalu punya ide nyeleneh. Abdul Latif, dengan tampang seriusnya, menyarankan solusi ampuh: bulu perindu! (Paijo cuma mengerutkan dahi, belum percaya sepenuhnya).
Paijo membayangkan Bella, dan tiba-tiba... jleb! Lagu Bola Salju milik Sule terngiang-ngiang di kepalanya, diiringi imajinasi Paijo yang sedang berdansa romantis dengan Bella.
(Di Khayalan Paijo – adegan penuh efek slow motion dan cahaya yang berlebihan)
(Paijo bernyanyi dengan suara serak-serak basah, gerakannya super lebay)
Cintaku kepadamu bagaikan bola salju… bergulir-gulir semakin kencang… (Paijo menari seperti sedang dikerjai hantu)
Rinduku kepadamu bagaikan bola salju… waktu ke waktu kian membesar… (Paijo hampir jatuh, tapi gaya banget)
Dimanapun kau berlari… takkan ku lelah mengejarmu… (Paijo berputar-putar sampai pusing)
Dan walau pun kau menghindar… takkan ku bosan untuk bersabar… (Paijo terduduk lemas, tapi senyum-senyum sendiri)
(Kembali ke Dunia Nyata)
Brukk! Paijo tersentak kaget. Hidungnya hampir bersentuhan dengan hidung Pak Lik Purwanto yang sedang lewat.
"Aduh, Pak Lik! Maaf, maaf!" Paijo panik.
Pak Lik Purwanto menatap Paijo dengan ekspresi curiga. "Kamu ngapain sih, Jo? Jangan bilang kamu lagi ngebayangin hal-hal yang nggak senonoh?"
Paijo membantah dengan wajah polos. "Enak aja, Pak Lik! Siapa yang punya pikiran jorok?"
"Terus kamu ngelamun di sini? Kerjaanmu udah selesai?" tanya Pak Lik Purwanto.
"Udah, Pak Lik! Tinggal santai-santai aja sekarang. Lagian, lihat Mbak Bella, cantiknya luar biasa!" Paijo menjawab sambil menatap Bella yang sedang memperagakan gerakan senam.
Pak Lik Purwanto ikut melirik. "Iya juga ya, Jo. Mbak Bella cantik banget."
Paijo langsung menyambar. "Iya dong, Pak Lik! Dia… gebetanku!"
Pak Lik Purwanto terkekeh. "Hemm… ngarep!"
Paijo manyun. "Biarin!"
Paijo masih berkhayal tentang Bella. "Hemm… kira-kira Mbak Bella mau nggak ya sama aku?" gumamnya, sambil garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba, Titah muncul. "Eh, Jo! Ngelamun aja kerjaannya. Sana kerja! Eh, Bella, kenalin ini Paijo… panggil aja Joya," kata Titah, memperkenalkan Paijo pada Bella dengan gaya super formal.
Bella cuma nyengir tipis. "Oh ya…"
Paijo, dengan semangat 45, memperkenalkan diri. "Mbak, kenalin saya…"
Bella memotong. "Udah tau kok, Joya kan?" Nada bicaranya jutek banget. Paijo langsung kempes.
Titah, yang jeli melihat situasi, langsung mengalihkan perhatian. "Eh, ya… ngomong-ngomong, kamu kapan nikah, Bella? Udah punya pacar atau calon?"
Bella mengangkat bahu. "Urusan nikah? Nanti aja deh. Belum, belum punya… hehe…" Jawabannya terdengar agak terpaksa.
Titah makin penasaran. "Oh, emang tipe kamu kayak gimana sih?"
Bella melirik Paijo sekilas, lalu menjawab dengan nada yang cukup menyindir, "Yang pastinya nggak kayak dia lah…"
Titah langsung tertawa kecil. "Ya iyalah… Jo, kerja yang bener!"
Paijo, yang sudah merasa minder setengah mati, cuma bisa manyun dan bergumam, "86, Tuan Mami…"
Abdul Latif melihat Paijo mondar-mandir di dapur, gelisah. "Lik…" panggilnya.
"Apa, Dul?" tanya Paijo, wajahnya penuh dengan tanda tanya.
"Kowe iki kok mondar-mandir terus? Ono opo to?" tanya Abdul Latif, nada bicaranya agak curiga.
Paijo pura-pura santai. "Ora opo-opo kok, Dul."
Abdul Latif nggak percaya. "Ampun ngapusi aku, Lik! Jujur wae, aku wis ngerti tingkahmu!"
Paijo masih mencoba mengelak. "Nek wis ngerti tingkahku, gampang, Dul! Tinggal nonton kelanjutannya wae, wis pasti ketahuan!"
Abdul Latif makin penasaran. "Iku ora ngerti aku, Lik!"
"Terus opo to?" tanya Paijo, mulai sedikit panik.
"Aku ora ngerti, kowe ora gelem crita!" jawab Abdul Latif.
"Emang kudu crita?" tanya Paijo.
"Ya kudu! Aku kan ponakanmu, keluarga! Ora wong liyo!" Abdul Latif sedikit meninggikan suaranya.
Paijo langsung menyerah. "Iwak asin…"
Abdul Latif tertawa. "Ora asin, tapi asing! Wong liyo! Mengerti?"
"Iya…"
"Ya wis, crita! Aku pengin ngrungokke keluh kesahmu!"
Paijo pun menceritakan semuanya pada Abdul Latif. Setelah selesai bercerita…
"Gitu critaku, Dul. Kok kowe bengong to?" tanya Paijo.
"Sithik wae, Lik. Aku lagi mikir nih…" jawab Abdul Latif, dengan senyum jahil.
"Mikir opo?"
"Aku duwe ide!"
"Ide opo?"
"Ide sing apik banget!"
Paijo makin penasaran. Abdul Latif pun mengajak Paijo ke rumah seorang dukun.
"Permisi, Mbah…" kata Abdul Latif.
Dukun itu langsung tahu maksud kedatangan mereka. "Aku wis ngerti tujuan kowe loro teka kene. Arep ngelet wong sing kowe tresnani, ya?"
"Iya, Mbah…" jawab Paijo dan Abdul Latif serempak.
"Jangan panggil aku Mbah! Panggil aku Grandma!" Dukun itu terlihat agak sok modern.
"Oh, iya, Grandma…"
"Oke… sebelum aku kasih bulu perindu lan mantranya, lunasi dulu administrasinya!"
Paijo memberi kode pada Abdul Latif. "Dul…"
"Iya, Lik. Pira, Grandma?"
"Terserah kowe…"
"Oh, terserah…" Abdul Latif mengeluarkan uang sepuluh ribu.
"Haaaa… kok sepuluh ribu?!" Grandma melotot.
"Kan tadi Grandma ngomong terserah!" Abdul Latif menjawab dengan enteng.
"Tapi ora se-murah iku, to!"
"Ye… Grandma iki piye, sih…" Abdul Latif mulai kesal.
"Mau opo ora bulu perindunya?"
"Mau!"
"Ya wis, tambah!"
Paijo kembali memberi kode. "Dul…"
Abdul Latif menambah uangnya. Lalu, Paijo bertanya, "Grandma, iki opo?"
"Jangan dipegang! Iki penawarnya! Hargane luwih mahal!"
"Oh…"
Grandma memberikan bulu perindu pada Paijo. Abdul Latif bertanya tentang cara kerja penawar.
Grandma menjelaskan, "Nek wis bosen karo wong sing di-pelet, lempar bulu perindunya ning penawar. Terus baca mantra, wes balik normal."
"Oh, gitu, ya, Grandma?"
"Iya. Pamit, ya…"
"Ya…"
Paijo dan Abdul Latif pulang. Begitu sampai rumah, Paijo langsung menyembunyikan bulu perindu itu. Eh, dari teras, terlihat Tuan Mami sedang asyik teleponan sama Tuan Papi. Paijo langsung deg-degan.
Baru mau masuk kamar, Mbak Nayla memanggil Paijo untuk dibuatkan susu. Paijo kembali deg-degan. Situasi makin menegangkan!
Paijo memberi kode ke Abdul Latif. "Dul…"
"Apa, Lik?"
"Iku lho… ana Tuan Mami!" bisik Paijo.
Abdul Latif langsung paham. "Iya, Lik. Terus gimana? Gimana rencana kita?"
Paijo buru-buru menjawab, "Tak umpetin dhisik, Dul!"
"Iya, cepetan!"
Paijo buru-buru menyembunyikan bulu perindu. "Wis, ayo masuk! Aja nganti ketahuan!"
"Yuk…"
Di teras, Tuan Mami masih asyik bertelepon. "Mas Daffa lagi ngapain ya di Bali bareng Dzaka dan Dzaki? Aku kangen banget sama anak kembarku dan suamiku! Telepon aja deh…" Tuan Mami terlihat sangat rindu.
(Percakapan Telepon Titah dan Daffa)
[Titah: Assalamu'alaikum…]
[Daffa: Wa'alaikumussalam…]
[Titah: Apa kabar suamiku?]
[Daffa: Alhamdulillah baik istriku, gimana kabarmu dan Nayla di Jakarta?]
[Titah: Alhamdulillah baik. Kamu, Dzaka, Dzaki kapan pulang? Aku kangen!]
[Daffa: Aku juga kangen banget! Seminggu lagi kita pulang.]
[Titah: Oh, gitu. Mas, tunggu sebentar ya.]
[Daffa: Iya sayang…]
Paijo dan Abdul Latif pulang. Paijo memberi salam.
"Assalamu'alaikum, Tuan Mami,"
"Wa'alaikumussalam, Jo," jawab Titah. "Habis dari mana kalian berdua?"
"Habis dari warung, Bu," jawab Abdul Latif.
"Oh, ya sudah, masuk. Gerbangnya udah dikunci, kan?"
"Udah, Tuan Mami," jawab Paijo.
"Ya sudah…"
"Permisi, Bu…" Abdul Latif pamit.
"Emm… ya…"
(Percakapan Telepon Titah dan Daffa (Lanjutan))
[Titah: Mas Daffa…]
[Daffa: Iya sayangku…]
[Titah: Maaf ya, lama. Tadi ada Paijo dan Abdul Latif baru pulang.]
[Daffa: Iya sayang, nggak papa.]
[Titah: Ya udah, kita lanjutkan yang tadi ya, Mas.]
[Daffa: Iya sayang…]
Abdul Latif menepuk pundak Paijo. "Jo… besok jangan lupa, ya!"
Paijo bingung. "Kowe ngajak aku ngapa tadi, Dul? Aku kan lagi dipanggil Tuan Mami, kok malah dipanggil kamu?"
"Oh, maaf, Lik. Aku lupa. Maaf ya, Jo," Abdul Latif meminta maaf.
"Ya sudah, yuk ke kamar, tidur," ajak Paijo.
"Yuk…"
Tiba-tiba, Mbak Nayla memanggil.
"Lik Jo…"
"Iya, Mbak Nayla," jawab Paijo.
"Itu apa, sih?" tanya Nayla, menunjuk sesuatu yang dibawa Paijo.
"Yang mana, Mbak Nayla?"
"Itu… yang Lik Jo bawa," Nayla menunjuk bulu perindu yang hampir kelihatan.
Paijo pura-pura nggak ngerti. "Oh, ini? Ini hadiah buat calon istriku, Mbak Nayla!"
"Oh… ya udah, bikinin aku susu, ya," pinta Nayla.
"Iya, Mbak Nayla."
"Eh, Lik, tadi Mami sama Om Daffi mana, ya?"
"Ada di teras depan, Mbak Nayla," jawab Paijo.
"Oh…"
"Masih ada lagi, Mbak Nayla?"
"Enggak ada, Lik. Makasih, ya, Lik."
"Sama-sama, Mbak Nayla."
Nayla menuju teras.
(Percakapan Telepon Titah dan Daffa (Lanjutan))
[Titah: Maaf, Mas, boleh lama ngobrolnya?]
[Daffa: Boleh, Sayang. Nayla udah tidur?]
[Titah: Belum, lagi nonton TV.]
[Daffa: Oh…]
[Titah: Iya…]
(30 menit kemudian)
[Titah: Ya udah, Mas. Besok kita lanjut lagi, ya.]
[Daffa: Iya, Sayang. Selamat malam, mimpi indah, jangan lupa mimpiin aku juga, ya!]
[Titah: Iya, Mas…]
[Daffa: Assalamu'alaikum… muah, muah…]
[Titah: Wa'alaikumussalam… muah, muah…]
Nayla tiba-tiba muncul. "Cie… cie… ada yang habis romantis-romantisan!" Nayla meledek.
Titah tersenyum. "Kamu di sini, Sayang? Belajarnya gimana?"
"Istirahat, Mami," jawab Nayla.
Paijo mencari Mbak Nayla, tapi nggak ketemu. Dia ketemu Kanjeng Romo.
"Ini Mbak Nayla, kok…" Paijo kaget.
"Kenapa, Jo?" tanya Kanjeng Romo.
"Nggak papa, Kanjeng Romo. Tapi… anu…" jawab Paijo.
"What, Jo?" Kanjeng Romo nanya pake bahasa Inggris.
Paijo langsung ganti bahasa Indonesia. "Jadi gini, Kanjeng Romo, saya nyari Mbak Nayla. Kira-kira Kanjeng Romo lihat nggak, ya?"
Kanjeng Romo menjawab pakai bahasa Inggris lagi. "Oh, my granddaughter, Nayla… she went for a short break from her study, maybe outside. Try looking outside, Jo."
"Oh, gitu. Thanks, Kanjeng Romo. Excuse me," kata Paijo.
"Yes, you're welcome, Jo," jawab Kanjeng Romo.
Nayla dan Titah di teras.
"Mami sama Papi mesra banget, sih! Kayak Raja sama Ratu!" kata Nayla.
"Iya dong! Papi itu kan hidupnya Mami!" Titah menjawab dengan bangga.
Paijo datang sambil membawa susu untuk Nayla.
"Assalamu'alaikum…"
"Wa'alaikumussalam…"
"Nuwun sewu, Mbak Nayla, Tuan Mami. Kula kersa ngendika menika dhateng Mbak Nayla…" Paijo memberikan susu.
"Oh, iya. Iki opo, Jo?" tanya Titah.
"Susu Mbak Nayla, Tuan Mami. Tadi disuruh bikin," jawab Paijo.
"Oh, ya sudah, taruh di meja aja," pinta Titah.
"Nggih, Tuan Mami. Nuwun sewu, assalamu'alaikum," Paijo pamit.
"Wa'alaikumussalam…"
"Ya sudah, diminum susunya, ya, Nay," kata Titah.
"Iya, Mi. Ini baru mau diminum, hehe…"
(Keesokan harinya)
Hari ini Paijo siap melempar bulu perindu ke Bella. Dia baca mantra, tapi… salah sasaran! Tuan Mami yang kena! Tuan Mami jadi suka banget sama Paijo, bahkan mau cerai sama Tuan Papi!
"Sebelum senam, pemanasan dulu, ya, Bu."
"Iya, seperti biasa, kan?"
"Iya, Bu Daffa."
Abdul Latif mengingatkan Paijo. "Lik, ini saatnya!"
"Saatnya apa?"
"Mantranya, Lik!"
"Oh iya, aku lupa! Hehe… Dul…"
"Apa?"
"Kira-kira kalau aku baca mantra, Oma marah nggak, ya, Dul?"
"Itu mandra, Lik!"
"Oh iya, lupa lagi, aku. Hehe…"
"Ye… malah ketawa! Cepetan mantranya!"
"Oke, siap! Elus-elus perut mules, dibalur cabe pedes, pules-pules Mbak Bella, dilempar bulu perindu sampai lemes!"
"Udah, lempar, Lik!"
Paijo melempar… kena Tuan Mami!
"Aduh… siapa yang lempar aku? Hemm… Joya…" Titah langsung klepek-klepek.
Paijo kaget. "Atakiwir, Dul!"
"Kena Bu Daffa, Lik! Gimana ini?"
"Nggak tahu, Dul! Aduh, gawat!"
"Mas Joya… minggir…" Titah memanggil Paijo dengan mesra.
"Inggih, eling, Bu!" Abdul Latif memperingati Titah.
"Eling apa, eling? Mas Joya sayang…"
"Duh, Dul, gimana ini?"
"Ora ngerti, Lik…"
Bella ketakutan dan lari ke ruang keluarga, ketemu Kanjeng Ibu, Kanjeng Romo, Pak Daffi, dan Mbak Nayla.
Kanjeng Ibu memberi nasihat pada Nayla.
"Nay, dengerin kata Uti, ya," pinta Kanjeng Ibu.
"Iya, Uti," jawab Nayla.
"Kamu harus cari pasangan kayak Papi dan Mami, ya," kata Kanjeng Ibu.
Nayla heran. "Kok kayak Mami dan Papi, sih, Uti? Kenapa?"
"Karena Mami dan Papimu itu pasangan yang harmonis, romantis, dan jauh dari gosip. Iya, kan, Kang Mas?" Kanjeng Ibu memberi kode ke Kanjeng Romo.
"Iya, benar, Diajeng," jawab Kanjeng Romo.
Bella melihat Titah yang sedang merayu Paijo. "Ih…" gumamnya geli.
Kanjeng Romo penasaran. "Loh, kok 'ih'? Bella, kamu kenapa?"
"Itu, Kanjeng Romo…" jawab Bella.
Kanjeng Ibu ikut penasaran. "Itu kenapa? Kenapa sama Titah?"
Kanjeng Romo menebak. "Palingan Joya sama Abdul Latif bikin ulah lagi, Diajeng."
Bella pamit pulang. "Saya nggak mau cerita, Kanjeng Ibu. Lebih baik lihat sendiri aja. Saya pamit, ya, Kanjeng Ibu…"
Kanjeng Ibu heran. "Ini ada apa, ya, Kang Mas?"
"Ora ngerti, Diajeng. Jalan satu-satunya, kita cek langsung ke sana."
"Ya sudah, biar aku sama Daffi aja yang cek, Kang Mas."
"Ora usah, Diajeng. Biar aku sama adikmu aja."
"Iya, benar. Kamu di sini aja jagain cucu kita, Nayla."
"Iya, Kang Mas."
"Kamu temenin Uti dan Om-mu, ya."
"Iya, Kakung."
"Yuk, Mas Adam."
"Yuk."
Titah memijat Paijo.
Paijo panik. "Dul, gimana ini, Dul…?"
"Ora ngerti, Lik…"
"Kenapa kok kayak orang bingung gitu, Mas Jo?"
Paijo cari alasan. "Emm… Tuan Mami…"
"Iih… kok masih panggil Tuan Mami, sih, Mas Jo? Panggil Titah sayangku aja, ya… ya… ya…"
Kanjeng Romo dan Pak Lik Purwanto datang.
"Tah… apa-apaan ini?!"
"Lagi pijitin Mas Jo sayang, Kanjeng Romo, Pak Lik Purwanto…"
Kanjeng Romo dan Pak Lik Purwanto kaget.
"Menapa sampeyan wis ora waras, Tah?!"
"It's true what your uncle said, when the master likes a maid anyway…"
"Hayo… sekarang kalian berdua ngaku! Siapa yang bikin ulah sampai Titah jadi begini?!"
Paijo gugup. "Ora, Kanjeng Romo, Pak Lik Purwanto… Nuwun sewu, Dul?"
Abdul Latif gugup. "Nuwun sewu, Kanjeng Romo. Bu Daffa ora kita apa-apain kok."
"Awas kalau ketahuan!"
Kanjeng Romo dan Pak Lik Purwanto kembali ke ruang keluarga. Pak Daffi dan Kanjeng Ibu menghibur Nayla yang menangis.
"Diajeng…"
"Mbakyu…"
"Iya, Kang Mas, Dhi Mas."
"Gimana? Ada apa sama Titah, Kang Mas?"
"Lebih baik kamu cek sendiri, Diajeng."
"Ya sudah, aku ke sana."
"Aku ikut."
"Aku juga ikut."
Nayla menangis.
"Udah, ya, Nay…"
"Enggak bisa, Om Daffi! Maminya Nayla jadi kayak gitu!"
"SMASS…"
"SMASS apaan, tuh, Om Daffi?"
"Semua Masalah Akan Segera Selesai."
"Tapi, Om Daffi…"
"Kan udah Om Daffi bilang SMASS…"
"Apaan lagi sih om Daffi sama kaya tadi?"
"Enggak dong.."
"Terus apa dong?"
"Semua masalah akan segera selesai."
"Itu sama aja, Om Daffi!"
"Duh, Nayla JMT…"
"Apa lagi, tuh, Om Daffi?"
"Jangan nangis terus, dong…"
"Mami…"
"YPPDN…"
"Apa lagi itu, Om Daffi?"
"Ya Puas-puasin Deh Nangisnya…"
"Haaaaa... Hemmm.. Mami..!!"
"Yah kok makin kencang nangisnya, gawat ini, Nay.. Nay, Nay dengarkan om Daffi ya, sudah ya nangisnya cup, cup sayang. Cup.."
Kanjeng Ibu dan Kanjeng Romo menegur Titah.
"Titah, kenapa kamu jadi begini?"
"Lihat itu, anakmu Nayla nangis kejer lihat kamu kayak gini!"
"Terserah aku, dong! Aku sayang sama Mas Jo! Bu, Pak, Pak Lik…"
Kanjeng Ibu kaget. "Apa…?!"
"Sejak kapan kamu panggil Joya itu 'Mas', Tah?!"
"Sejak tadi…"
Kanjeng Ibu, Kanjeng Romo, dan Pak Lik Purwanto kaget lagi.
"Udah ah, aku mau cari Mas Joya dulu, dah…" Titah mau pergi.
"Masa anakku jadi begini? Suka sama Paijo, abdi dalemku lagi! Ih…"
Titah memanggil Abdul Latif. "Dul…"
"Inggih, Bu…"
"Mau tanya, dong."
"Mangga…"
"Kalau suami istri udah nggak bisa bareng, bagusnya gimana, ya?"
"Nuwun sewu, Bu… pencar."
"Haaa…?! Maksudnya gimana?"
"Cerai, Bu."
"Oh, ya sudah! Sekarang kamu tolong ke Pak RT, urus surat cerai!"
"Apunten, Bu… surat cerai siapa?"
"Surat cerai aku, lah! Aku udah nemu penggantinya, kok!"
"Siapa, Bu?"
"Mas Joya sayang…"
Abdul Latif kaget. Titah langsung ganti bahasa Belanda. "Hoe komt het haa, ja, het is snel om het nu te regelen he…"
Abdul Latif nggak ngerti. "Waduh… bahasanya… kok nggak ngerti, ya…"
"Cepet urus sekarang!"
"Inggih, Bu…"
Titah mau pergi.
"Bu, mau ke mana?"
"Mau nemuin Mas Joya sayang…"
Abdul Latif kaget lagi.
"Dul, kamu kenapa?"
"Itu, Bu Daffa mau cerai sama Pak Daffa cuma buat nikah sama Pak Lik saya!"
Kanjeng Ibu kaget. Abdul Latif cerita semuanya ke Kanjeng Ibu, Kanjeng Romo, Pak Daffi, Pak Lik Purwanto, dan Mbak Nayla. Abdul Latif mau bantu mereka.
Abdul Latif berhasil dapat penawar bulu perindu. Dia lempar ke Paijo. Titah kembali normal. Gaji Paijo dipotong 50% oleh Titah. Disetujui Kanjeng Ibu dan Tuan Papi yang masih di Bali.