Buka Puasa di Rumah Pak Daffa

Hari pertama puasa. Niatku membangunkan sahur. Bersama Asep, kami merasa merinding saat hendak membangunkan sahur. Ketakutan, kami membangunkan sahur hanya di dalam rumah.

Suara ribut kami membangunkan Tuan Papi. Beliau marah besar. Kami mengerjainya balik, hingga akhirnya Tuan Papi dihukum Kanjeng Ibu. Menghindari kemarahan Tuan Papi, kami segera keluar rumah.

Di luar, Paijo dan Asep sudah beraksi. Mereka berkeliling rumah sambil memukul-mukul tutup panci, panci, dan galon.

"Itu suara apa sih?" tanya Daffa, terganggu tidurnya.

"Suara apa ya, Mas?" tanya Titah.

"Ada suara ribut-ribut di luar, Sayang," Daffa bertanya lagi pada Titah.

"Aku juga nggak tahu, Mas. Coba lihat sendiri saja," jawab Titah.

"Yuk, Sayang," ajak Daffa.

"Nggak mau, Mas. Mas saja yang lihat," tolak Titah.

"Baiklah, aku sendiri saja yang keluar," kata Daffa.

"Iya, Mas," jawab Titah.

Daffa keluar kamar dan mendapati Paijo dan Asep bersembunyi di bawah meja.

"Kalian ngapain sih? Berisik sekali!" Daffa sedikit kesal.

"Kami lagi membangunkan sahur, Pak Daffa," jawab Asep.

"Bangunkan sahur itu di luar, bukan di dalam rumah!" Daffa mengeluh.

"Di luar serem, Pak Daffa. Malam Jumat lagi, gelap. Takut ada setan," kata Paijo.

"Bulan puasa, setan diikat kok," kata Daffa.

"Ah, masa sih? Setan masih berkeliaran," Paijo tetap ketakutan.

"Mana setannya?" tanya Daffa.

Paijo menunjuk Asep.

"Oh…" Daffa terkejut.

"Ih, enak saja! Aku ganteng, kok disamakan dengan setan?" Asep protes.

Daffa menghela napas. "Kalian ini berisik sekali! Sampai kedengaran sampai kamar!"

"Ah, masa sih, Pak Daffa?" Paijo tak percaya.

"Kalau nggak percaya, coba saja! Kalian di sana, aku di sini," Daffa kesal.

Paijo mengajak Asep ke kamar untuk membuktikan ucapan Daffa.

"Iya, sana!" Daffa menyuruh mereka pergi.

"Aku nggak percaya," kata Paijo.

Asep memberikan panci, galon, dan tutup panci kepada Daffa. "Pak Daffa, pukul-pukul ini ya!"

Daffa memukul-mukul peralatan dapur. "Kedengaran nggak? Sahur, sahur, sahur!"

Paijo dan Asep menuju kamar Kanjeng Ibu dan Kanjeng Romo. Mereka mengetuk pintu.

"Wa'alaikumussalam. Masuk, Jo," Kanjeng Ibu mempersilakan Paijo masuk.

Paijo meminta Asep menunggu di luar.

"Tunggu di sini ya, Asep. Aku yang masuk," kata Paijo.

"Doaku menyertaimu, Jo," kata Asep.

"Aku ini bukan pejuang, kok didoakan segala," Paijo mengeluh.

"Hehehe…" Asep tertawa.

"Ada apa, Jo?" tanya Kanjeng Ibu.

Paijo menjelaskan tentang Daffa yang berisik membangunkan sahur.

Kanjeng Ibu memahami dan mengajak Paijo untuk menegur Daffa.

Mereka menuju ruang makan. Daffa masih berisik memukul peralatan dapur.

Kanjeng Ibu menegur Daffa. Paijo dan Asep ikut membela diri, mengatakan bahwa mereka sudah menyuruh Daffa membangunkan sahur di luar.

Kanjeng Ibu menghukum Daffa dengan memukulnya menggunakan bantal. Paijo dan Asep tertawa melihatnya. Mereka melanjutkan membangunkan sahur di lupasar

Setelah sahur di rumah Tuan Papi, Kanjeng Ibu memanggil Arif.

"Rif," panggil Kanjeng Ibu.

"Inggih, Kanjeng Ibu," jawab Arif.

"Itu apa?" tanya Kanjeng Ibu, menunjuk uang koin yang dipegang Arif.

"Uang koin, Kanjeng Ibu, untuk anak-anak yang ikut sahur. Buat jajan mereka nanti buka puasa," jawab Arif.

"Saya jadi kepikiran untuk berbuka puasa bersama anak yatim," kata Kanjeng Ibu.

"Beramal, Kanjeng Ibu?" tanya Arif.

"Iya, Rif. Saya merasa kurang beramal," jawab Kanjeng Ibu.

"Kanjeng Ibu bukan kurang beramal, Kanjeng Ibu," Arif membetulkan.

"Lalu, Rif?" tanya Kanjeng Ibu.

"Tapi belum pernah beramal," Arif menjelaskan.

Kanjeng Ibu sedikit kesal. Arif mengingatkan, "Kanjeng Ibu ingat, ini puasa. Jangan marah-marah."

"Astagfirullahalazim… Ya sudah, gini saja, Rif. Kamu siapkan belanjaan untuk buka puasa bersama anak yatim. Kamu juga, Nuk," pinta Kanjeng Ibu.

"Inggih, Kanjeng Ibu," jawab Menuk.

"Kamu ke rumah Daffi, ya," pinta Kanjeng Ibu pada Menuk.

"Ke rumah Pak Daffi? Untuk apa, Bu?" Menuk bertanya.

"Bilang ke Daffi, buka puasa hari ini di sini saja. Sekalian buka bersama anak yatim," jelas Kanjeng Ibu.

"Oh, begitu… Inggih, Kanjeng Ibu," kata Menuk.

Menuk menuju rumah Pak Daffi. Sementara itu, Paijo ditugaskan mencari anak yatim. Ia bertemu Ucok, tukang roti di kompleks.

"Jo, Jo," panggil Ucok.

"Ada apa, Cok?" tanya Paijo.

"Kok buru-buru sekali?" tanya Ucok.

"Iya, aku lagi cari anak yatim," jawab Paijo.

"Buat apa?" tanya Ucok.

"Buat buka puasa bersama di rumah," jawab Paijo.

"Jo… Tadi sahur pakai pete ya? Wanginya sampai ke sini," Ucok mencium aroma pete.

Paijo menjelaskan, "Cok, dengar baik-baik ya. Kata Pak Daffa, orang yang berpuasa itu mulutnya harum, seperti bau minyak kasturi."

"Oh, begitu ya, Jo?" tanya Ucok.

"Iya," jawab Paijo.

"Mau dibantu cari anak yatim? Aku tahu tempatnya," tawar Ucok.

"Aku nggak butuh tempatnya, tapi anaknya," jawab Paijo.

"Oh…" Ucok mengerti.

"Tapi… Bantuanmu dibutuhkan juga, Cok," Paijo meminta bantuan Ucok.

"Oke, siap!" seru Ucok.

"Oke, dah," kata Paijo.

Di rumah Tuan Papi, Kanjeng Ibu sibuk mencatat keperluan buka puasa.

"Darmi…" panggil Kanjeng Ibu.

"Nggih, Kanjeng Ibu. Ada apa?" tanya Darmi.

"Bantu aku mencatat keperluan buka puasa. Nanti kita, belanja ke pasar," pinta Kanjeng Ibu.

"Oke, siap, Kanjeng Ibu… Tapi…" Darmi ragu.

"Kenapa, Mi?" tanya Kanjeng Ibu.

"Kertas dan bolpoinnya mana, Kanjeng Ibu?" tanya Darmi.

"Oh, iya, lupa… Dul… Abdul Latif…" Kanjeng Ibu memanggil.

Kanjeng Romo mengingatkan, "Diajeng, bukannya kamu sudah menyuruh Abdul Latif mengantar Menuk ke rumah Daffi?"

"Masa sih?" Kanjeng Ibu lupa.

"Iya, Diajeng," jawab Kanjeng Romo.

"Oh, iya, benar juga. Rif… Arif…" Kanjeng Ibu memanggil Arif.

"Inggih, Kanjeng Ibu. Ada apa?" tanya Arif.

"Ambilkan kertas dan bolpoin, ya," pinta Kanjeng Ibu.

Arif memberikan kertas, bolpoin, dan tambahan catatan belanjaan.

"Yuk, kita ke pasar sekarang," kata Kanjeng Ibu.

"Nggih, mangga, Kanjeng Ibu, Kanjeng Romo," jawab Arif.

Kanjeng Romo bertanya, "Tunggu dulu, Diajeng. Kertas dan bolpoin ini untuk apa? Tidak jadi mencatat keperluan acara nanti sore?"

"Jadi, Kang Mas. Nanti di sana saja sekalian," jawab Kanjeng Ibu.

"Oh, ya sudah. Ayo berangkat," kata Pak Lik Purwanto.

Kanjeng Ibu, Kanjeng Romo, dan Pak Lik Purwanto ikut berangkat ke pasar.

"Oh, iki ta omahe Pak Daffi," kata Menuk, sesampainya di rumah Daffi.

"Loh, kamu kok isih nang kene, Nuk? Ra mlebu?" tanya Abdul Latif.

"Iya, Dul. Iki anyar arep mlebu," jawab Menuk.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan di pintu rumah.

"Assalamu'alaikum," Menuk memberi salam.

Di dalam rumah, Bu Laras, istri Pak Daffi, baru saja selesai membereskan rumah. Ia mendengar suara Menuk dan membukakan pintu.

"Alhamdulillah, yang di dalam sudah selesai. Tinggal nyiram tanaman saja. Eh, tapi tunggu dulu deh, kayaknya ada tamu nih," gumam Bu Laras.

Di teras rumah, Menuk dan Abdul Latif masih menunggu.

"Kok suwi nemen ta, Nuk? Piye?" tanya Abdul Latif tidak sabar. Ia masih punya tugas lain.

"Mboh, ra ngerti aku," jawab Menuk.

"Iya, Wa'alaikumussalam… Eh, ada Menuk dan Mas Abdul Latif," sapa Bu Laras.

"Nggih, Bu. Saya ke sini dapat amanah dari Kanjeng Ibu," kata Menuk.

"Oh, iya. Duduk dulu, Nuk, Dul," Bu Laras mempersilakan mereka duduk.

"Amanah apa, Nuk?" tanya Bu Laras.

"Nggih, Bu. Kanjeng Ibu minta Pak Daffi dan keluarga untuk datang ke rumah. Mau buka puasa bersama," jelas Menuk.

"Oh, begitu. Ya sudah, nanti saya dan keluarga ke sana. Nanti saya sampaikan ke suami saya," kata Bu Laras.

"Nggih, Bu. Kalau begitu, saya pamit pulang, Bu. Masih ada tugas dari Bu Daffa," Menuk pamit.

"Iya, Nuk," jawab Bu Laras.

"Assalamu'alaikum," Menuk dan Abdul Latif memberi salam.

"Wa'alaikumussalam," Bu Laras membalas salam.