Ayo Menikah

Jari-jari Ye Banxia tanpa sadar mengusap-usap layar ponsel untuk waktu yang lama. Ia tidak tahu dan tidak sadar bagaimana ia sudah menekan tombol panggilan sampai suara berat seorang pria yang akrab terdengar dari ujung telepon dan mengucap 'halo'. Ia seketika tersadar dan berkata, "Tuan Mo." 

Mo Chenyan mengerutkan alisnya saat mendengar suara serak Ye Banxia. Ia memegang setir dengan semakin erat dan matanya yang gelap memancarkan cahaya suram. "Kau di mana?" tanyanya.

"Ayo kita menikah saja," kata Ye Banxia.

Ada beberapa detik kesunyian di ujung telepon dan hanya suara napas pria yang terdengar samar hingga pikiran Ye Banxia melayang ke mana-mana. Setelah detik berganti menjadi menit dan semakin lama waktu yang terbuang, Ye Banxia memegang ponselnya semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menggigit pelan bibirnya dan berpikir. Apakah Mo Chenyan menyesal sekarang?

Setelah sekian lama, terdengar jawaban dari ujung telepon, "Aku tahu."

Kemudian, panggilan itu terputus dan Ye Banxia tertegun dibuatnya. Ia menjauhkan ponselnya dari telinganya dan menatap layar ponselnya yang sudah redup. Apa arti dari aku tahu... Setuju?

———

Ye Banxia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan. Tetapi, ketika ia mendongakkan kepalanya lagi, langit yang luas telah berganti menjadi malam yang gelap tanpa bintang-bintang. Hanya ada bulan yang bertengger di langit dan memancarkan sedikit cahaya melankolis. Lampu-lampu neon jalanan menerangi pemandangan di sekitarnya, tetapi sosoknya yang lembut tersembunyi dalam kegelapan di belakang pohon. Semakin makmur sebuah kota, maka semakin berisik orang-orang di dalamnya dan semakin hidup lingkungannya, justru semakin kesepian pula orang-orangnya.

Ye Banxia menemukan bangku di taman dan duduk dengan santai. Kemudian, ia meletakkan kedua tangan di lutut dan mengubur kepalanya di dalam lengannya, seolah-olah dengan begini ia dapat mengisolasi semua kebisingan dunia luar untuk meninggalkannya sendirian dan tidak perlu memikirkan apapun.

'Ye Banxia."

Terdengar suara gelap yang bergumam pelan dari atas kepala Ye Banxia. Sosoknya yang rapuh kini menegang karena ia sangat terkejut, bahkan ia sampai lupa untuk merasa malu. Bagaimana mungkin pria ini tiba-tiba muncul di sini?

Mo Chenyan mengenakan kemeja abu-abu perak dan jas hitamnya tetap rapi seperti biasa. Ia memasukkan tangan kirinya ke saku celananya dengan elegan dan tangan kanannya menggantung di sisi tubuhnya. Mo Chenyan menatapnya dengan mata ringan, namun ia bertanya, "Kau menangis lagi?" Ia pun mengerutkan kening dan tampak bingung, "Apa kau begitu menderita jika menikah denganku?"

Ye Banxia tiba-tiba berdiri dari kursi dan membantah, "Aku tidak menangis." Ia mengira bahwa mungkin pria itu ingat soal kejadian di ruangan rumah sakit di pagi hari sehingga ia pun menggertakkan giginya dan segera menambahkan, "Mataku juga tidak merah."

Mo Chenyan menatap Ye Banxia dengan tatapan yang mendalam. Ia maju selangkah, lalu menundukkan kepalanya sedikit. "Baiklah, biarkan aku melihatnya," katanya. Ia sudah sangat dekat dekat Ye Banxia hingga Ye Banxia bisa merasakan napas pria itu menerpa wajahnya. Telinga Ye Banxia mulai terasa hangat, tapi Mo Chenyan sepertinya menatap mata Ye Banxia dengan sangat serius. "Sepertinya masih agak merah."

Mo Chenyan akhirnya menyimpulkan, Aku tidak membuat Ye Banxia nyaris mati karena gelisah. Bahkan, jika matanya memerah, mungkin itu karena ia menunduk sambil memejamkan mata untuk waktu yang lama?

"Mo Chenyan," Ye Banxia tiba-tiba mengucapkan nama pria itu. Ini adalah pertama kalinya ia memanggil nama Mo Chenyan sejak keduanya bertemu. Sebelumnya, ia selalu memanggil pria itu 'Tuan Mo'.

Mo Chenyan mengerutkan alisnya, mengisyaratkan agar Ye Banxia melanjutkan perkataannya. Ye Banxia pun bertanya, "Kenapa kau ingin menikahiku?"

Ini bukan pertama kalinya Mo Chenyan mengajukan pertanyaan ini, tapi ini pertama kalinya Ye Banxia tidak mendapat jawaban dan ia merasa sangat penasaran.

"Banyak wanita yang menyukaimu dari ujung ke ujung kota Rong Cheng. Mereka lebih cantik dan lebih lembut dariku. Terlebih lagi, aku tidak punya apa-apa sekarang... Mengapa kau ingin menikahiku?"

Dalam gelap, Mo Chenyan menatap mata Ye Banxia dengan tatapan yang begitu mendalam. Mata Mo Chenyang yang gelap bak tinta hitam menyembunyikan gejolak emosinya sehingga Ye Banxia sedikit tidak sadar.

"Calon Nyonya Mo, kau sungguh terlalu banyak bertanya."

Sebutan 'Nyonya Mo' tiba-tiba mengenai hati Ye Banxia ​​dan telinganya jadi memerah. Mata Mo Chenyang yang bergolak masih bersembunyi di kegelapan, tapi pupilnya sedikit menggelap. Ye Banxia menundukkan pandangannya dan ia hanya bisa melihat Mo Chenyan berbalik badan dengan anggun sebelum melangkah menjauh. Ye Banxia terdiam sesaat sampai langkah kaki di depannya terhenti. Kemudian, ia kembali mendengar suara Mo Chenyan yang dalam dan lembut berkata, "Ikuti aku."

Dua kata sederhana itu seperti memerintah dan tidak memberikan celah untuk dibantah. Ye Banxia mengerucutkan bibirnya, lalu mengikuti Mo Chenyan berjalan ke Bentley hitam. Ia membuka pintu mobil, lalu masuk dan duduk. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan memandang pemandangan di samping jalan yang bergerak cepat seiring dengan laju mobil itu.

Tanpa sadar, Ye Banxia melontarkan sebuah pertanyaan dalam pikirannya, Bagaimana mungkin Mo Chenyan tiba-tiba muncul? Ia sangat terkejut karena tadi ia tidak memikirkannya, tapi sekarang ia mencoba menenangkan diri. Ia pun mengerutkan kening. Tetapi, ia merasa bahwa Mo Chenyan penuh kasih sayang sehingga ia akhirnya memutuskan untuk mencerna pertanyaan ini secara perlahan.

Suhu di dalam mobil terasa terlalu hampa, bahkan hingga Ye Banxia bisa sedikit merasa malu dan canggung. Perasaan ini membuat orang tanpa sadar ingin segera menghilangkannya. Ye Banxia menoleh ke samping dan melirik wajah tampan Mo Chenyan, lalu bertanya, "Tuan Mo, ke mana kita akan pergi?"

"Makan," jawab Mo Chenyan singkat. Ia sudah menyetir seharian ke sana kemari untuk mencari Ye Banxia dan sekarang ia merasa lapar. Ketika Mo Chenyan menemukan Ye Banxia setelah ditelepon, Ye Banxia mungkin juga belum makan apapun karena ia berkeliaran di jalan seharian. Tanpa menunggu penolakan dari Ye Banxia, Mo Chenyan menambahkan, "Sekalian kita membicarakan tentang operasi kakakmu."

Ye Banxia menelan kembali kata-kata yang hendak ia ucapkan

———

Tempat yang dipilih Mo Chenyang untuk makan malam adalah restoran Barat kelas atas. Saat ia baru saja datang, para pelayan di kedua sisi pintu masuk menyambutnya sambil membungkuk dengan hormat, "Selamat datang, Tuan Mo."

Ye Banxia mengikuti Mo Chenyan ke sebuah ruangan mewah dan duduk setelah Mo Chenyan membukakan kursi untuk dirinya sendiri. Tindakannya masih sangat anggun, tanpa menghilangkan kebiasaan dan temperamennya. Mo Chenyan memegang menu yang dibawa oleh pelayan dengan satu tangan dan melihat-lihat menu dengan santai, lalu berkata pada Ye Banxia, "Lihatlah, kau ingin makan apa?"

Ye Banxia tidak berpikir banyak karena ia lebih mementingkan kondisi Hanyan sekarang. Ia pun membalik menu ke halaman steak, lalu menunjuk salah satu menu dengan jarinya. "Saya mau yang ini saja, terima kasih," ujarnya. Setelah pelayan pergi, Ye Banxia menatap pria di hadapannya dan mulai berbicara, "Tuan Mo, operasi kakakku—"

"Sore tadi aku menelepon rumah sakit. Jika tidak terjadi hal yang tak terduga, operasi akan dilaksanakan jam 12 siang besok."

Ye Banxia tertegun dan membatin, Ternyata Mo Chenyan sudah mengaturnya sejak awal. Ada sedikit kehangatan di hati Ye Banxia. Meskipun lamaran Mo Chenyan lebih seperti kesepakatan bagi Ye Baxia untuk menjual dirinya sendiri sebagai imbalan atas operasi Hanyan, entah kenapa ia sangat berterima kasih pada Mo Chenyan.

"Terima kasih, Tuan Mo," kata Ye Banxia sambil menyipitkan matanya dan tersenyum.

"Ye Banxia." Mata Mo Chenyan tertuju pada Ye Banxia dan ia menatap Ye Banxia dalam-dalam tanpa ekspresi untuk beberapa saat. Wajah tampan dan elegan itu tidak bisa menyembunyikan kontur wajahnya yang tegas. Begitu saja, hati Ye Banxia juga mulai terasa tidak karuan.