Ye Hanyuan kembali ke kamar tidur, lalu berdiri di dekat jendela dan melihat ke arah lampu-lampu rumah yang masih terang di luar. Tiba-tiba, dahinya terasa sedikit sakit. Lampu-lampu menerangi setiap rumah di luar sana, tapi sebaliknya rumahnya sendiri tidak terasa seperti rumah. Ye Hanyuan mengambil ponselnya dan memanggil nomor telepon Ye Banxia, tapi panggilan pertamanya tidak tersambung.
Ye Banxia baru mendengar ketika ponsel berdering untuk yang kedua kalinya. Saat itu ia baru saja keluar dari ruang kerja sambil membawa sebuah buku bahasa asing di tangannya. Suasana hatinya sedang baik. Begitu ponselnya berdering, Ye Banxia pikir itu adalah telepon dari Ling Nian sehingga ia berjalan dengan cepat dan terlihat senyuman di wajahnya. Ia segera mengambil ponselnya, tapi ia malah melihat kontak Ayah tertera di layar ponselnya.
Ye Banxia merasa aneh dan panggilan yang akrab itu membuatnya terdiam sesaat. Setelah terdiam sesaat, barulah ia menekan tombol jawab dengan mata tertunduk. Telepon terhubung, tapi ada keheningan yang tak terduga di antara mereka. Ye Banxia sedikit tersenyum dan menyapa, "Ayah, ada apa?"
Ye Banxia duduk bersender di dipan tempat tidur sambil memegang buku yang baru saja ia bawa. Jarinya tidak berhenti membolak-balik halaman buku dan setelah ia selesai berbicara, ia diam menunggu jawaban dari ujung telepon.
Ye Hanyuan awalnya ingin langsung bertanya pada Ye Banxia tentang biaya operasi Hanyan, tapi ia tiba-tiba terdiam. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tapi ia tiba-tiba merubah pembicaraannya, "Apa kamu punya waktu luang besok? Datanglah untuk makan malam di sini."
Ujung jari Ye Banxia berhenti sejenak. Lalu, ia lanjut membolak-balik bukunya dengan tenang sambil tersenyum tipis. Namun, senyum itu terlalu dingin dan terlihat sedikit mencemooh, "Ayah, aku sibuk bekerja baru-baru ini. Tidak ada waktu kosong."
Ye Banxia secara implisit menolak dengan menyertakan kata 'baru-baru ini' sehingga membuat Ye Hanyuan tidak tahu harus berkata apa. Ye Banxia bisa mendengar napas yang dalam dari ujung telepon. Lalu, Ye Hanyuan balik bertanya dengan nada memelas, "Pekerjaan sangat sibuk sampai tidak ada waktu untuk makan?"
"Aku baru saja mulai bekerja, jadi pasti akan lebih sibuk sedikit. Ayah, aku bukan mahasiswa yang baru saja lulus kuliah. Tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pekerjaan," terang Ye Banxia. Tampaknya ia tidak menyadari kemarahan dalam nada bicara Ye Hanyuan sehingga ia masih berbicara dengan tenang.
Ye Hanyuan menurunkan suaranya dan berkata setenang mungkin, "Tidak peduli mau bagaimanapun caranya, minggu ini kau harus meluangkan waktu untuk pulang ke rumah dan makan di rumah!"
Pulang ke rumah, Ye Banxia diam-diam tersenyum. Ia merasa bahwa yang disebut rumah adalah tempat di mana ada kakek dan Hanyan, bukan seperti tempat di mana ayahnya tinggal bersama Fang Shuyuan dan Ye Youran. Ia bahkan tidak tinggal di sana bersama mereka, jadi bagaimana mungkin ia menyebut tempat itu rumah? Bisa dibilang juga bahwa Ye Hanyuan mungkin lupa bahwa di sana ada sepasang ibu dan anak yang tidak bisa ia lepaskan, sedangkan Ye Banxia dan Ye Hanyan adalah dua orang anak perempuan yang telah tinggalkan.
Setelah hening sejenak, Ye Banxia berbisik, "Akan aku usahakan." Ye Banxia memijat alisnya dan suaranya terdengar sedikit lelah, "Ayah, jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan, aku akan menutup teleponnya."
Sisa pembicaraan Ye Hanyuan seperti tersangkut di tenggorokannya. Kemudian, ia memutuskan panggilannya dengan marah.
———
Ketika Mo Chenyan masuk, ia melihat Ye Banxia duduk di tempat tidur. Wanita itu melipat kaki dan meringkuk sambil menatap buku di atas lututnya dengan penuh perhatian. Cahaya redup dari lampu samping tempat tidur menerpa wajah putih Ye Banxia hingga mengaburkan kelembutan wajahnya dan menambahkan sedikit kesan kesedihan yang tidak seperti biasanya. Mo Chenyan berdiri di depan pintu sekitar setengah menit, tapi Ye Banxia masih menatap buku di tangannya dan tidak menyadari bahwa Mo Chenyan telah kembali. Padahal, Mo Chenyan yakin bahwa Ye Banxia hanya memandangi buku itu saja dan tidak sedang membacanya.
Mo Chenyan melangkahkan kakinya yang ramping ke arah Ye Banxia, lalu menyipitkan mata dan berkata dengan acuh tak acuh, "Nyonya Mo, bukumu terbaik."
Ye Banxia tertegun sejenak meskipun pandangannya masih tertuju ke arah halaman buku yang terbuka. Namun, matanya sedikit menyipit dan kemudian kembali terfokus. Dua detik kemudian, ia mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Mo Chenyan dengan aneh, "Mo Chenyan, kau pembohong!"
Bibir Mo Chenyan sedikit mengait dan ia terus berjalan ke arah Ye Banxia sambil bertanya, "Aku membohongimu apa?"
"Kau bilang bukuku terbalik!"
"Sudut pandang dari pintu tidak bagus, jadi cahaya membuatnya kelihatan terbalik. Normal jika aku salah melihat. Nyonya Mo, kau jelas-jelas sedang membaca buku itu, tapi kau bisa tertipu oleh hal sepele seperti buku terbalik?"
Ye Banxia tersipu. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa bersaing dengan Mo Chenyan, sehingga ia lebih ingin untuk menjaga muka. Lalu, Mo Chenyan berdiri di sampingnya dengan bibir yang tersenyum sedikit lebih dalam. "Apakah kau marah?" tanya Mo Chenyan.
Ye Banxia berdeham singkat, "Hng…. Tidak."
"Mulut dan hati tidak sesuai," komentar Mo Chenyan sambil menurunkan pandangannya dan menatap Ye Banxia sambil tersenyum. Ia mengeluarkan tangannya dari saku celana, lalu memegang dan menahan dagu Ye Banxia agar wanita itu tidak menoleh. Lalu, ia mengangkat alisnya dan bertanya, "Tidak, tapi kau berani 'hng' denganku?
Tindakan itu jelas sangat sembrono dan bahkan memalukan, tapi Mo Chenyan melakukannya tanpa niat jahat. Senyuman yang anggun dan berkelas di wajahnya yang tampan semakin menambahkan kesan ambigu.
Ye Banxia menggertakkan giginya hingga sebagian wajahnya yang putih kini memerah. "Kau salah mendengar," sangkalnya.
"Oh, ya?"
Ye Banxia menangguk dengan serius, namun tiba-tiba cahaya di depannya tiba-tiba terhalang oleh bayangan besar dan diikuti oleh wajah seorang pria tampan yang perlahan mendekat. Mo Chenyan membungkuk hingga aroma samar tembakau di tubuhnya menguar dan membanjiri indera penciuman Ye Banxia.
Mata Ye Banxia terbelalak dan ia langsung berpikir bahwa Mo Chenyan sepertinya akan menciumnya secara tak terduga, seperti sebelum-sebelumnya. Ia pun langsung memejamkan matanya di detik berikutnya. Wajah cuek dan tampan Mo Chenyan berhenti di dekat Ye Banxia dan pria itu tersenyum hingga matanya bersinar. "Ye Banxia, apa yang kau pikirkan?" tanyanya.
Wajah Ye Banxia menegang dan ia merasa dirinya sedang dipermainkan. Ia merasa diejek sehingga ia menatap Mo Chenyan dengan marah dan berkata, "Aku hanya melihat sedikit lebih lama sebelum berkedip!"
"Oh?" Mo Chenyan mengangguk dan tatapan matanya semakin dalam, "Lalu, kenapa wajahmu memerah?"
"Aku merasa panas... Um."
Mo Chenyan tiba-tiba membungkuk dan sekali lagi memotong perkataan Ye Banxia hingga wanita itu kehilangan kata-kata. Bibir tipis Mo Chenyan menggulung kuat di bibir Ye Banxia yang merah, tapi ciuman itu tidak terlalu dalam dan terkadang malah terasa lembut. Telapak tangan besar Mo Chenyan memegang bagian belakang kepala Ye Banxia dengan kuat dan jari-jari panjangnya menyelip di antara rambut keriting wanita itu. Sentuhan lembut dan sejuk dari telapak tangan Mo Chenyan terasa hingga menembus dasar jantung Ye Banxia.
Ye Banxia hampir kehabisan oksigen sehingga ia membuka mulutnya secara naluriah untuk bernapas. Namun, lidah panas pria itu menyerbu masuk dan menyapu seluruh mulutnya dalam sekejap. Tindakan ganas Mo Chenyan membuat Ye Banxia merasa sedikit aneh. Tampaknya tidak ada yang tersisa dalam pikirannya saat itu selain Mo Chenyan, termasuk kesedihannya karena telepon barusan.
Setelah waktu yang lama, barulah Mo Chenyan melepaskan Ye Banxia dengan terengah-engah. Namun, ia masih bisa mencibir, "Tidakkah kau berpikir bahwa aku sedang berfantasi?"
Dibandingkan dengan wajah Ye Banxia yang memerah, Mo Chenyan masih tenang dan santai. Bibir tipis pria yang anggun dan berkelas itu sedikit bersinar dan ia berdeham santai. Lalu, ia berkata, "Melihat keinginanmu yang sepertinya tidak terpuaskan, aku akan memuaskanmu."
Ye Banxia hanya terdiam sambil menatap Mo Chenyan dengan malas. Ia berdiri dari ranjang dalam suasana yang tidak stabil, lalu berjalan menuju kamar mandi. Mo Chenyan melihat punggung istrinya dengan kesal. Ekspresinya sedikit berubah dan mata gelapnya menatap semakin dalam.