"Kau menyuruhku menabrak rumah sakit itu? Apa maksudmu?" Ia tak menjawabku dan terus memainkan handphone nya. "Hei! Jawab aku!"teriakku, marah. "Sudah kubilang aku akan menjawab semua pertanyaanmu nanti. Sekarang cepat jalankan mobil ini dengan kecepatan penuh, atau…" Cklak! "peluru akan bersarang di kepalamu dalam waktu lima detik."
Pistol? Orang ini membawa pistol sedari tadi? "Lima…" Apa yang harus ku lakukan? Aku tak mau dipenjara karena menabrak rumah sakit! "Empat…" Apa orang ini tidak memikirkan berapa banyak korban jiwa akibat tindakannya ini? "Tiga…" Bagaimana jika aku keluar dari mobil? "Dua…" Ya, itu pilihan bodoh karena pistolnya sudah menempel di kepalaku sekarang.
"SATU!" Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Ya Tuhan, maafkan aku. Jika aku mati hari ini, aku akan menyeret dia juga ke neraka! Tepat sesaat sebelum kami menabrak rumah sakit, sebuah turunan rahasia muncul dan kami pun meluncur turun. Aku memandang orang gila yang sekarang sedang bersenandung riang.
"Hei," Ia menoleh dengan muka tak bersalah. "Apa susahnya mengatakan padaku bahwa ada jalan rahasia di sana? Kau tak tahu seberapa… aku bahkan tak tahu lagi harus berkata apa,"kataku pasrah. Sekujur tubuhku lemas dan aku masih menyisakan sedikit tenagaku untuk menggenggam kemudi. Ia tertawa, "Ayolah, dimana letak keseruannya? Lagipula aku mengujimu untuk percaya padaku. Setelah ini, akan ada banyak kejadian yang memerlukan kepercayaanmu padaku,"katanya sambil mengusap gagang pistolnya.
"Pistol itu?" Dia mendekatkan moncongnya ke kepalaku. "Oh, ayolah. Kau percaya ini pistol sungguhan? Ini hanya mainan! Hahahahaha!" Menyebalkan! Benar-benar menyebalkan! Aku tak percaya aku telah memutuskan untuk menolongnya tadi. Ini adalah keputusan terburuk dalam hidupku! Sekarang, aku meragukan omongannya tentang kota yang akan tenggelam. Pada akhirnya, aku percaya padanya hanya karena nama dan reputasinya! Tak lebih dan tak kurang!
"Perlambat laju kendaraanmu, sebentar lagi kita sampai." Lorong gelap berubah menjadi sebuah pelabuhan kecil. Di depan kami, sebuah kapal ferry menunggu. Aku mematikan mesinku dan berencana keluar. "Siapa yang menyuruhmu mematikan mesin? Masukkan mobilmu ke kapal. Kita akan membutuhkannya nanti," Ya, ya, ya setelah menyuruhku melakukan ini dan itu, sekarang dia meminta mobilku juga.
Aku menjalankan mobilku dan keluar. Baru saja aku meregangkan badanku, ketika ia melemparkan baju dan topi kepadaku. "Bawa kita pergi dengan segera dari sini, kapten. Aku percaya padamu." Apa dia tidak tahu yang namanya istirahat? Aku baru saja mengendarai mobil dengan gila untuknya dan sekarang dia menyuruhku untuk langsung mengendarai kapal? "Tidak bisakah kita…"
"Tidak, tidak ada waktu untuk beristirahat. Aku memerlukanmu untuk mengantarkanku ke sebuah tempat. Ketika kita sudah agak jauh dari daratan, kau akan melihatnya dengan mata kepalamu sendiri."katanya tanpa melihat ke arahku. Ia meninggalkanku di buritan dan pergi ke lambung kapal. Aku berusaha untuk percaya kata-katanya dan pergi ke ruang kemudi.
Sudah lama aku tidak berada di dalam sini. Entah sudah berapa tahun. Satu, dua, atau tiga? Mungkin lebih dari itu. Apakah aku masih bisa mengemudikannya? Aku memegang kemudi dan tombol-tombol yang ada. Setiap jariku bergerak dengan sendirinya. Memori otot memang luar biasa. Aku memegang kemudi dengan pasti, menyalakan pengeras suara.
"Perhatian, kepada seluruh penumpang yang berada di dalam kapal, saya Arutala sebagai nahkoda yang akan memimpin perjalanan ini. Kita akan memulai perjalanan, pastikan anda memakai peralatan keselamatan Anda, dan saya berharap Anda menikmati perjalanan kali ini. Terima kasih,"
"Seperti dugaanku, dia bukan sekedar wartawan surat kabar,"kata sang professor di lambung kapal. Identitas sang wartawan terlihat di layar handphone-nya. "Arutala Abhimana. Siapa sebenarnya orang ini?"
Mesin dinyalakan, dan kapal kami pun melaju. Sekitar 100 meter dari daratan, sang professor memintaku untuk berhenti. "Arahkan matamu ke daratan, lihat dengan baik agar kau mengerti dari apa aku melarikan diri." Aku mengarahkan pandanganku ke daratan. Bulan terlihat terang benderang dalam kesempurnaan purnamanya. Makin lama, bulan seolah-olah terlihat makin lama makin besar.
Kapal kami mulai bergoncang, aku mengambil jarak lebih jauh lagi dari daratan. Sesuatu yang membingungkan terjadi. Tak ada gelombang, bahkan ombak. Laut menjadi tenang, sangat tenang. Lalu kemudian, guncangan hebat terjadi. Daratan terlihat semakin turun dan perahu kami semakin hebat bergoyang. Pusaran air bergulung-gulung muncul dari lautan dan menarik pulau itu ke lautan. Professor menyuruhku untuk menjalankan kapal secepat mungkin. Tidak ada kemungkinan bagi kami untuk bisa selamat dari guncangan yang hebat itu.
Aku kehabisan kata-kata. Jadi, itu yang terjadi pada pulau Jawa dan Skandinavia. Sungguh mengerikan. Ketika para penduduk bumi terlelap, mereka hilang dalam sekejap saja. Siapa yang akan menyangka bahwa di hari esok, mereka tidak akan membuka matanya lagi? Aku teringat dengan teman-temanku. Apakah mereka ada di sana? Apakah mereka selamat? Sudah lama aku memutuskan kontak dengan mereka. Sejak kejadian itu, aku tak punya muka untuk menghadap mereka.
Bagaimana kabar ibu dan ayah? Mereka seharusnya aman selama mereka tidak meninggalkan Borneo. Pikiranku kacau. Aku tak ingin mereka semua merasakan hal-hal seperti ini. Kenapa kali ini Barcelona juga tenggelam? Apa hubungannya dengan kejadian sebelumnya? Bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di sana? Apakah mereka sudah dievakuasi? Atau jangan-jangan professor ini hanya menyelamatkanku?
"Berhenti, kita sudah di zona aman,"katanya lewat earphone. "Tetap di tempatmu, aku sedang ke sana. Kita akan membahas beberapa hal." Aku mematikan mesin kapal dan melihat keluar. Bulan tampak sangat tidak wajar dan kota tempatku bekerja hilang ditelan air. Apa yang tersisa untukku? Dimana aku bisa diterima?
Pintu ruangan terbuka. Tampak sang professor memegang gulungan-gulungan kertas. "Dengar, aku sudah berjanji padamu untuk menjawab semua pertanyaanmu. Sekarang, tanyakan semuanya. Aku akan menjawab sebisaku." Aku bahkan tak tahu darimana aku harus bicara. Semuanya terasa aneh dan janggal. Bahkan sekarang aku tak punya apa-apa lagi!
"Hei,"suara professor membuyarkan lamunanku. "Aku tahu bagimu ini hal yang gila karena aku pernah merasakannya," Raut mukanya berubah. " Kau pikir mengapa aku mengurung diriku selama 30 hari? Ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Jutaan bahkan milyaran orang hilang dalam satu malam? Kau bisa gila jika memikirkan semuanya sekaligus."
Ia mengambil minuman dari meja dan meminumnya hingga habis. "Jangan pikirkan apa yang bukan menjadi bagianmu. Kau boleh melakukan itu belakangan. Sekarang, pikirkanlah dirimu sendiri."katanya sambil memberiku sebotol air. "Kau punya dua pilihan, menghabiskan waktumu dengan pikiran tak penting atau menjalani waktumu yang sekarang dan mengubah banyak hal."
Benar, aku adalah wartawan. Tugasku adalah mengambil informasi sebanyak mungkin dari narasumber dan membagikannya ke semua orang. Aku akan menjalankan tugasku sekarang, karena tidak ada yang namanya lain waktu. "Baik, professor. Mohon bantuannya." Sang professor memandangku dengan muka puas. "Sekarang, aku suka sinar matamu. Lanjutkan!"
Aku dan professor bertanya jawab untuk waktu yang lama. Katanya, dia berusaha untuk menyelamatkan orang sebanyak mungkin, tetapi banyak yang tidak mempercayainya. Salah satunya? Pimpinan Spanyol. Sehingga demi kelangsungan negara, ia terpaksa menculik pimpinan dan memakai namanya untuk evakuasi darurat. Bagian utara adalah yang paling pertama mengalami penenggelaman, jadi itu sebabnya bagian utara gelap gulita.
Saat ini, ia dan para peneliti masih belum mengetahui apa yang terjadi dengan pulau Jawa dan Skandinavia. Yang dia tahu hanyalah mereka semua tenggelam, dengan cara yang sama. Setelah itu, sebuah kuil akan muncul. Ia mengatakan bahwa negara-negara yang tenggelam seharusnya berjauhan satu dengan yang lain, seperti pulau Jawa dan Skandinavia. Tetapi, ia kebingungan melihat tanda-tanda yang menunjukkan Spanyol akan tenggelam. Ia tak tahu apa yang terjadi.
Setelah itu, masih banyak pertanyaan yang ku ajukan padanya. Ia menjawabnya dengan teliti dan mudah dipahami. Ia bahkan bersedia menjelaskan bagian-bagian yang tak ku mengerti. Aku merapikan lembaran-lembaran kertasku. Seingatku, di tempat yang akan kami tuju terdapat gedung cabang kantorku. Seharusnya aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaanku kembali, apalagi dengan laporan wawancara eksklusif dengan sang professor.
Professor kembali ke lambung kapal setelah wawancara dengannya selesai. Aku belum mengucapkan terima kasih karena dia telah menyelamatkanku(meski dengan cara yang aneh). Aku bergegas turun ke lambung kapal dan mencarinya. Dia tidak ada di sana. Dimana dia? Aku mencarinya ke ruang mesin. Dia tidak ada di sana. Dimana dia?
Aku menaiki tangga menuju buritan dan menyadari ada seseorang di sana. Professor! Aku bergegas menuju ke arahnya. Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu yang seharusnya tak boleh kudengar.
"Ya, aku sudah mengatur semuanya. Kami sudah meninggalkan Spanyol dan menuju ke sana. Perhatikan dan jaga cara bicaramu. Dia seorang wartawan. Jangan sampai dia tahu bahwa akulah penyebab Spanyol tenggelam…"