Chapter III: New Path

Matahari mulai muncul dari pembaringannya ketika kami tiba di San Pietro. Aku tak mengerti mengapa dia menyuruhku untuk berhenti disini. Ini bukan tujuan awal kami. Kemarin malam, ketika kami menaiki kapal, dia menunjuk Jerman sebagai tempat tujuan selanjutnya. Mengapa kami berhenti di sini? Ku tanyakan hal tersebut padanya dan ia hanya melangkah keluar kapal. Hendak memesan kamar katanya.

Aku mengikutinya dari belakang dengan membawa barang-barangnya. Aku tak pernah ke sini. Mengapa dia kemari? Bagaimana nasib karierku? Apa aku akan terus berurusan dengannya? Dia sudah cukup merepotkanku, aku tak mau menghabiskan waktuku untuknya! Aku punya kerjaan yang harus kuurus! Ku pegang erat kartu wartawanku. Tunggu aku Jerman, aku akan segera ke sana, bagaimanapun caranya.

Professor memesan dua kamar dan kami langsung menempati kamar masing-masing. Aku menuliskan setiap pikiranku ke dalam kertas yang ku bawa. Tapi, satu hal yang paling mengganggu pikiranku sekarang adalah perkataannya kemarin malam. Jangan sampai ada yang tahu kalau dialah penyebab Spanyol tenggelam tadi malam? Konyol. Mengapa tak ada yang boleh tahu?

Aku membaringkan diriku di tempat tidur. Aku lelah, tetapi mataku menolak untuk menutup. Aku memutuskan untuk membersihkan diri. Aku butuh kesegaran. Siapa tahu aku bisa beristirahat sejenak setelah aku mandi? Selesai menyegarkan diri, aku mendapati diriku tertidur hingga pagi. Aku membuka mataku dan menyadari bahwa aku tidak berada Spanyol lagi.

Aku tak bisa lagi percaya padanya. Apa jangan-jangan selama ini dia penyebab negara-negara tenggelam? Pada akhirnya, setiap kejadian itu terjadi, tak ada saksi mata, kecuali dirinya sendiri. Dan sekarang, aku pun menjadi saksi mata juga atas negara yang tenggelam. Apakah dia akan membeberkan informasi ini ke media? Atau dia akan bungkam?

Ketika aku tengah memikirkan banyak hal, pintu kamarku diketuk. "Persiapkan dirimu, dalam 30 menit orang-orang yang mengantarmu ke Jerman akan segera tiba."katanya sambil mematikan panggilan di teleponnya. "Anda tidak ikut ke Jerman?"tanyaku. Raut mukanya menjadi sedih, "Tidak, aku harus tetap di sini," Baru saja aku mau menanyakan alasannya, sebuah mobil tiba di parkiran penginapan.

"Selamat tinggal, ku harap kau bisa memulai kehidupan yang baru disana,"katanya sambil melambaikan tangan. Aku melambai balik padanya. Sebelum kami berpisah, ia sudah menawar mobilku dengan harga yang fantastis. Ia juga memberikan uang yang bisa membiayai hidupku sekitar 5 bulan. Apa pekerjaannya memang menghasilkan uang sebanyak itu?

Perjalanan terasa sangat singkat karena pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku harus berhenti memikirkannya. Bukankah ini yang kuinginkan? Aku ingin lepas dari professor aneh itu dan memulai kehidupanku yang biasa, begitu bukan? Ini adalah jalan yang telah kupilih. Aku menggenggam berkas yang sudah kukumpulkan dan melangkah maju ke kantor cabang surat kabar.

"Arutala Abhimana? Ya, perusahaan kami sudah mendengar tentang Anda. Anda bisa mulai kerja hari ini. Direktur mengharapkan kehadiran Anda sekarang. Silahkan,"kata petugas sesaat setelah aku menyodorkan kartu wartawanku. Ada apa ini? Aku bahkan belum mulai berbicara! Sesuatu pasti terjadi sebelum aku kesini, tapi apa? Apa jangan-jangan mereka sudah tahu bahwa aku adalah saksi kedua?

Lift membawa kami naik ke lantai paling atas dan aku menduga-duga siapa orang yang akan kutemui. "Pak? Kita sudah sampai."kata sang petugas yang membuatku tersadar dari lamunanku. "Ah, iya. Terimakasih,"kataku kikuk. Ia mengetuk pintu kayu yang lumayan besar, "Pak Freitz, dia sudah datang. Boleh kami masuk?"

"Masuk,"kata suara dari balik pintu. Ketika pintu dibuka, ku dapati seorang bapak dengan wajah bersahaja tengah menatapku dalam-dalam. Sang petugas mohon undur diri, meninggalkanku dengan bapak itu berdua. Rasa gugupku bercampur dengan ketakutan karena ketidaktahuan. Apa yang akan terjadi denganku? Aku bahkan tak mengenalnya!

"Pak Arutala Abhimana? Benar itu kau?"katanya dengan suara yang berat. "Benar, pak, dan saya kemari hendak…" Ia mengangkat tangannya. "Aku sudah tahu,"katanya sambil tersenyum. "Zadweg von Kalstreeg adalah sahabatku, dia memberitahukan segalanya padaku." Professor gila itu? "Dia memintaku untuk menerimamu bekerja di sini karena kau telah menolongnya. Di samping itu, dia mengatakan bahwa ia telah menceritakan semuanya padamu, tentu saja aku menerimanya."

Jadi ia tidak menceritakan apapun mengenai aku yang telah menjadi saksi kedua. "Aku percaya dokumen itu sekarang ada di tanganmu?"katanya sambil menunjuk ke arahku. "Ya, pak, Anda benar."kataku sambil menyodorkan dokumen itu padanya. "Jangan berikan itu padaku, berikan itu pada mereka yang bekerja di bawah karena aku sudah pasti menyetujuinya,"

"Baiklah,"kataku. "Tapi, aku percaya kau tahu tujuanku memanggilmu kemari bukan hanya sekedar menanyakanmu hal ini bukan?"tanyanya lagi. Benar, ini pasti bukan sekedar masalah dokumen wawancara. "Tujuanku memanggilmu kemari adalah menanyakan tentang keputusanmu yang kurasa harus kau pikir ulang,"

Ia menyeruput kopi dan berbalik membelakangiku. "Kau tahu, Zadweg adalah orang yang unik," Sangat unik, malah, pikirku. "Aku tak pernah menemukan seseorang yang bisa tahan menghadapinya satu hari saja," Apa maksudnya? "Hanya ada dua orang di dunia ini yang tahan bekerja dengannya, yaitu aku dan Prof. Hawkins,"

"Maksud Anda, Prof Hawkins yang itu?"tanyaku memberanikan diri. "Ya, kau benar Prof Hawkins yang itu, yang menghilang dalam ekspedisi kedua." Jadi, dia mengenal dekat Prof Hawkins. "Dan, satu orang lagi,"katanya sambil tersenyum ke arahku. Apa maksud senyumannya itu? "Anda,"katanya sambil menunjuk ke arahku.

Apa? Aku? Bisa bekerja sama dengan orang sepertinya? Satu jam lagi kau biarkan aku dengan dia, rasanya pembuluh darahku akan pecah! "Hahaha! Dari wajahmu aku tahu kau menolak kenyataan itu, Pak Arutala," Aku menunduk malu. Wajahku memang tak bisa berbohong sejak dulu. "Jadi di sini, sekarang, aku menanyakan keputusan Anda,"katanya sambil membuka laci mejanya.

"Apakah Anda benar-benar menginginkan kehidupan Anda sebagai wartawan yang dulu?" Ia menyodorkan selembar kertas padaku. "Atau Anda menginginkan kehidupan yang baru?" Surat. Ini surat dari professor gila itu. Aku tak menyangka ia akan peduli denganku yang hanya memikirkan diriku sendiri sejak aku terlibat dengannya.

Yang terhormat,

Freitz Simon Blanc

Direktur Peace Media

Hei, apa kabar Freitz. Kau tahu rasanya aneh ketika aku mengirim surat padamu di saat ponsel sudah bertebaran di mana-mana. Anggaplah sebagai nostalgia masa lampau, dimana oorang-orang masih menikmati indahnya tulisan yang mereka lihat yang mereka jaga sampai mati.

Perihal surat ini, aku menginginkan kau untuk melakukan sesuatu untukku. Ada seorang bocah yang akan pergi ke kantormu, dia telah banyak membantuku. Dan luar biasanya lagi, dia bisa sabar menghadapiku(entah itu sabar atau dia menyimpan dendamnya dalam hati. Yah, aku tak peduli juga sih.)

Aku meminta dengan sangat padamu untuk menerimanya sebagai bawahanmu. Aku melihat sinar matanya dan mengetahui betapa dia ingin menjadi wartawan hebat. Meski kikuk dan suka melamun, aku mengetahui bahwa dia orang yang berdedikasi tinggi dengan pekerjaannya. Kujamin, kau tak akan merugi selama dia ada.

Terlepas dari itu, aku sedikit merasa sedih karena harus melepasnya untukmu. Dia orang yang sangat jujur. Terlalu jujur malah. Membuatku ingin menjadikannya anggota timku(kau tahu betapa aku membutuhkan orang kan?) Tapi aku tak bisa memaksanya, jadi yah, begitulah.

Aku akan sangat berterimakasih apabila kau menyetujui permintaanku ini. Kuharap, bocah itu bisa membantumu dalam banyak hal.

Sahabat gilamu,

Zadweg von Kalstreeg

PS: Surat ini ku titipkan pada bawahanku, kau bisa mengirimkanku surat lewat dia, atau kau bisa balas dengan e-mail. Lalu, bisakah kau tanyakan bocah itu untuk bekerja denganku? Aku membutuhkannya, kau tahu.

"Jadi? Apa keputusanmu, Arutala?" Aku berpikir dengan keras. Apakah aku menginginkan ini? Bukankah sejak dulu aku ingin kembali? Ke tempat seharusnya aku berada? Menjadi wartawan adalah pelarianku, seharusnya aku tahu itu. Aku menginginkan tempatku kembali. Di dalam kapal, di tengah laut yang menggelora.

"Maaf, pak, dengan segala hormat. Aku memutuskan untuk bekerja dengannya."kataku sambil membungkuk. "Pergilah, nak. Sejak awal, aku tahu tempatmu bukan di sini."balasnya. "Bawa dokumenmu itu pergi, aku bisa mewawancarai sahabat gilaku itu kapanpun." Aku membungkuk sekali lagi dan melangkah pergi.

"Sebentar, kemana kau pergi?"tanyanya lagi. "Menemui dia, tentunya."jawabku dengan heran. "Dengan apa? Memangnya kau tahu dimana dia berada?" Aku mengangguk. "Bukankah dia ada di San Pietro?" Direktur menggeleng, "Tidak, sekarang dia ada di Borneo." Apa? "Atau tepatnya, dalam perjalanan menuju pulau Jawa yang sudah tenggelam." Jangan-jangan… "Ya, kau benar. Dia akan menyelam ke bawah laut tanpa mempedulikan nyawanya."

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Professor! Apa kau yakin?"tanya seseorang sambil membawa perlengkapan selam. "Ya, aku harus, nak. Ini demi umat manusia, demi negara-negara yang masih berdiri hingga sekarang."katanya mantap. "Tapi mengapa terburu-buru pak?"tanyanya lagi. "Sesuatu yang lebih besar akan segera terjadi, nak. Aku merasakannya…"