Bawean, 296 km dari posisi pulau Jawa yang hilang.
"Bawa peralatanku, kita berangkat."kata sang professor. "Dan untuk orang yang mencariku, katakan aku sedang menyelam untuk mempelajari fenomena ini. Jika dia benar-benar harus menemuiku, susul aku kemari. Kecuali jika dia orang yang akan mengendarai kapal ini,"katanya sambil memandang ke pelabuhan.
Di ujung sana, tampak seseorang berlari-lari dan melambaikan tangannya. "Tunggu aku!"teriaknya dari kejauhan. Sang professor tersenyum sambil menantinya di atas kapalnya. "Selamat datang kembali, Arutala. Cepat juga kau mengambil keputusan."tanyanya dengan nada meledek. "Haah…haahh… aku…punya urusan…yang belum selesai denganmu!"jawabku dengan terengah-engah.
"Dan apa itu? Aku percaya aku sudah membereskan semua pembayaran denganmu."katanya dengan nada sombong. "Kau telah membuatku menjadi saksi kedua yang selamat dari peristiwa penenggelaman itu!"kataku dengan kesal. "Apa maksudmu?"katanya tanpa melihat ke arahku. "Ketika kau menjadi saksi kasus kedua, kau menggedor kaca mobilku dan mengatakan padaku bahwa kau akan dibunuh,"
Professor terlihat tersentak, tak menyadari apa yang telah terjadi. "Yang berarti, keselamatanku tak terjamin bila aku berada di Jerman." Ini hanya dugaanku, tapi mengingat dia adalah saksi pertama, dan lawan kami bukanlah manusia, maka bukan berarti posisiku sebagai saksi kedua aman. "Satu hal yang ingin ku pastikan darimu,"kataku sambil menaiki kapal.
"Kau adalah penyebab Spanyol tenggelam bukan?" Ia tercekat, tak membalas ucapanku. "Darimana kau tahu semua ini?" Tentu saja dari mulutmu sendiri saat kau tak menyadarinya! pikirku dalam hati "Sebut saja ini hanya spekulasiku."kataku tanpa membeberkan apapun. Aku harus berhati-hati. Aku tak bisa memberitahunya bahwa aku mendengar percakapannya dengan seseorang di lambung kapal. Itu akan menyusahkanku untuk mencari informasi.
Ia memberi tanda kepada dua bodyguardnya. Mereka berdua meninggalkan kapal. "Ikut aku, kita harus berdiskusi di tempat yang lebih aman."katanya sambil melangkah pergi. Kami tiba di sebuah ruangan di kapal. Ia mempersilahkan aku duduk. "Jadi, sejauh apa yang kau tahu tentang hubungan penenggelaman Spanyol dan aku?"
"Tak banyak,"jawabku. "Aku hanya berspekulasi. Kau satu-satunya yang selamat dari ekspedisi kedua. Itu menjadikanmu saksi pertama."lanjutku. "Dari ekspedisi sebelumnya, tak ada satupun orang yang selamat, keberadaanmu menjadi tanda tanya dan seluruh dunia mencarimu karena mereka menginginkan informasi." Informasi atas apa yang terjadi dan cara apa yang dia lakukan sehingga ia bisa selamat, tentunya.
"Kau pikir aku kemari karena aku tertarik dengan tawaranmu? Mungkin iya,"kataku sedikit malu karena teringat dengan ucapanku di kantor tadi. Aku memang menginginkan tempatku yang dulu, tetapi aku sadar betul dengan situasiku. "Tetapi, aku kemari kareana alasanku lebih dari itu." Ia melihatku dengan bingung. "Aku tak ingin keberadaanku membuat Jerman tenggelam, tidak sepertimu."kataku sambil menatapnya lekat-lekat.
"Mengapa kau diam professor? Sekarang aku sudah selesai berbicara. Katakan, dimana letak kesalahanku?" Raut mukanya menjadi gelisah. Terang saja, rahasia terbesarnya akhirnya terbongkar. Ia tidak menyelamatkan penduduk Spanyol karena ia orang baik, tapi karena penyebab semua itu terjadi adalah dia dan ia merasa bertanggung jawab atas itu.
"Jawab aku professor, apakah aku salah?"kataku dengan keras. "Ya, kau benar,"jawabnya perlahan. "Mereka ingin memusnahkan saksi, karena itu Spanyol tenggelam."katanya sambil menunduk. "Ya, aku memang egois. Salahkan saja aku."lanjutnya lagi. "Tapi bukan berarti aku dengan sengaja menenggelamkan Spanyol."
"Aku hanya ingin tinggal di tempatku dibesarkan, aku hanya ingin membebaskan diriku sejenak."katanya dengan nada sedih. "Siapa sangka, perbuatan egoisku itu malah melenyapkan semuanya?" Ia terisak, "Sekarang, mereka telah mengambil semuanya."katanya sambil menangis. "Tak ada lagi yang tersisa bagiku, semuanya telah diambil olehnya. Semua ini salahku,"
"Perlu kau ketahui, professor. Aktingmu sangat jelek,"kataku. Aku sudah tak tahan lagi melihatnya berpura-pura. "Yang kubutuhkan adalah jawaban, bukan curahan hatimu yang kau karang mendadak."lanjutku lagi. Kejam memang, perbuatanku sekarang memang terlihat kejam. Tapi, kehidupanku yang lain telah mengajarkanku untuk mengetahui apakah seseorang berbohong atau tidak.
"Seorang professor yang digadang-gadang memiliki ilmu tertinggi dan selalu berdebat dengan logika, menghabiskan waktu di Spanyol hanya untuk berlibur? Pfft, jangan buat aku tertawa," Karena itu sama sekali tidak masuk di akal. Siapa yang akan percaya hal seperti itu? "Jadi katakan padaku dengan jelas, apa yang kau perbuat di Spanyol dan untuk tujuan apa."
Melihatku tak bisa dibuai, dia akhirnya menyerah. Prok! Prok! Prok! "Luar biasa, aku menyerah."katanya dengan nada puas. "Aku puas! Ku pikir kau orang yang gampang ditipu, tapi ternyata tidak!"lanjutnya lagi. "Kau memang bukan orang biasa, Arutala. Atau haruskah aku memanggilmu…Laksamana Ayodya?"
Apa? Dia tahu identitas asliku? "Oh, tentunya kau tak menyangka aku percaya begitu saja denganmu bukan?"tanyanya lagi. "Seorang wartawan biasa memiliki kemampuan untuk menjalankan sebuah kapal? Itu tak mungkin," Tidak, bagaimana mungkin? Ia pasti hanya membual. "Kalau kau pikir aku hanya membual, bagaimana jika kau lihat ini?"
Sebuah dokumen terpampang di atas meja. Identitasku? Dimana ia menemukannya? "Ohh, tentunya kau tahu dengan pangkat dan koneksiku betapa mudahnya untuk mencari identitas asli seseorang bukan?" Tetap saja, hal ini tak ada hubungannya dengannya. Ia tak bisa menggunakan identitasku untuk apapun. "Kau pikir aku tak tahu bahwa kau adalah buronan di negaramu sendiri?"
Ia melempar sebuah pamflet padaku. Aku membukanya dan mendapati foto diriku di sana. "Seorang laksamana yang memiliki karier gilang gemilang, membunuh temannya sendiri saat sedang bertugas. Aku penasaran apakah benar itu kau?" Aku bergetar. Peristiwa itu sudah lama berlalu, tapi aku selalu mendapati diriku tidak dapat tidur dengan tenang setiap malam. Pikiran-pikiran itu membunuhku pelan-pelan.
"Apa yang kau mau?"kataku sambil menatapnya tajam. "Oh, jangan salah paham Laksamana, aku tidak akan menyerahkanmu ke pihak berwajib. Tidak sebelum kau berguna untukku." Apa maksudnya? "Kau tentunya tahu dengan kapal apa aku akan berangkat hari ini bukan?"tanyanya lagi. Jangan bilang… "Ya, kau benar. Kapal perang yang dilengkapi dengan senjata-senjata berat."
"Aku memang harus menaiki kapal kecil dahulu untuk sampai ke sana. Tapi, kapal disana tak berawak. Kapal itu hanya dikirim dan semua awak kapalnya akan kembali setelah mengantarkan kapal itu." Itu tidak masuk akal. "Tentu saja, kapal itu di bawah perintahku. Aku telah mengatakan akan memakai awak kapalku sendiri tapi, aku kekurangan seorang kapten."katanya sambil melihatku.
"Jadi, bagaimana, Laksamana? Apakah kau akan pergi bersamaku?"katanya dengan merayu. Menjijikan. Menggunakan keburukan orang lain untuk menggapai keinginannya. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Aku bisa saja menyebarkan semua yang ku tahu tapi aku tak punya buktinya. Sementara itu, dia bisa mengantarku ke penjara kapan saja.
"Baiklah, aku tak punya pilihan lain,"kataku. Tapi, jangan salah. Aku tak akan membiarkanmu memegang kelemahanku. Aku akan memegang kelemahanmu juga. Dengan begitu, aku tak akan bisa diancam. "Kemana kita pergi?"kataku sambil beranjak menuju ruang kemudi. Mari kita lihat professor, pertandingan ini antara kau dan aku. Siapa yang lebih dulu kalah.
Ia menyuruh bodyguardnya masuk, kemudian membuka sebuah peta. "Kau harus membawaku ke koordinat ini. Di sana, akan ada kapal yang membawa kita pergi." Bagaimana jika ada seseorang di antara para awak kapal yang mengenaliku? Sekarang operasi ini terlihat lebih berbahaya untukku. "Kupastikan kau aman. Memasukkan seorang buronan ke dalam kapal adalah hal kecil untukku."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku tahu dia memastikanku untuk tidak tertangkap, tapi aku tak pernah menyangka ia akan membawaku seperti ini! "Selamat sore, professor."kata seseorang di luar. "Kapal untuk Anda sudah siap dan semua awak kapal Anda sudah siap di posisinya masing-masing."lanjutnya lagi. "Aku telah banyak merepotkanmu, pak."katanya merendah.
"Tidak masalah, suatu kehormatan bekerja dengan Anda,"katanya sambil tertawa. "Jika berkenan, boleh saya tahu apa yang Anda bawa?" Aku tersentak. Di sinilah aku, terkurung dalam kerangkeng berukuran 90x60 cm yang tertutup kain putih. "Ah, bukan apa-apa."jawabnya sambil mendorongku. "Ini hanya peralatan rahasiaku untuk misi ini, kau tak perlu repot-repot memeriksanya."
"Begitu, baiklah."balasnya. "Ngomong-ngomong, senang bekerja sama dengan Anda, Laksamana."kata sang professor. "Panggil saja saya Waru, tuan. Waru Hendra Setiawan, itu nama saya."jawabnya dengan nada hormat. "Baik, baik, terimakasih Laksamana Waru. Aku sangat tertolong dengan kehadiranmu, hahaha!"
Aku menggenggam jerujiku erat-erat. Darahku mendidih. Dendamku 10 tahun yang lalu kembali dalam benakku. Waru Henda Setiawan…berani sekali kau menunjukkan dirimu lagi.
Kerangkeng dibuka dan aku tiba di ruang kemudi. Kapal yang mengantar Waru dan awak kapal lain terlihat menjauh. "Kita berangkat,"kataku singkat. Aku menjalankan kapal menuju titik koordinat. Perjalanan kami memang tidak mudah. Tentu saja, apa yang kau harapkan dari lautan yang telah menewaskan banyak orang? Badai, gelombang tinggi, bukan sebuah masalah bagiku. 10 tahun tak bisa menghapus ilmu yang ku dapat dari akademi militer.
Melewati badai, lautan tiba-tiba menjadi tenang, sangat tenang malahan. Suatu kejadian yang mengerikan. Tak ada burung, tak ada bunyi kapal yang melintas. Tak pernah aku melalui tempat seperti ini. Pintu terbuka, sang professor masuk. "Kau tahu hal gila apa yang kudengar dari daratan?"tanyanya padaku. Aku menggeleng. "Gempa besar mengguncang seluruh dunia! Tsunami terjadi di banyak tempat, ini gila!"
"Kita pasti telah sampai di suatu tempat yang tak boleh dimasuki manusia. Aku tak merasakan ini ketika aku melakukan ekspedisi kedua. Ada sesuatu di sini. Ada sesuatu di tanah Jawa. Aku merasakannya." Samar-samar dari kejauhan, terlihat bangunan yang dikelilingi lautan. "Hawkins memang mengatakan bahwa ia melihat sebuah kuil! Tapi, bagiku ini bukan sebuah!"
Lima kuil melingkar terlihat mengapung di tengah-tengah lautan. Dikelilingi dengan benda-benda berbentuk lingkaran berwarna putih, menjadikannya terasa lebih misterius. Sebuah pulau dengan sebuah gunung terlihat membentengi kuil itu. Apa benda-benda itu? Aku tak melihat adanya sesuatu yang berbahaya di sini yang bisa menewaskan banyak orang.
Tiba-tiba, professor menarikku dan membawaku ke lambung kapal. "Pakai ini, katanya sambil menyodorkan pakaian selam padaku. "Kau akan membutuhkannya, nanti" Untuk apa? Memangnya apa yang akan terjadi sehingga kita memerlukan kapal perang dan perlengkapan selam? Semua awak kapal berkumpul dan sudah mengenakan pakaian selam.
"Semuanya, terimakasih atas kerja keras kalian. Kalian bebas sekarang! Aku berharap kalian dapat pulang dengan selamat! Doakan juga aku dan teman kalian di sebelahku!"katanya sambil tersenyum. Ugh, senyumannya mencurigakan. Kali ini, apalagi yang direncanakannya? "Sepertinya, sebentar lagi akan dimulai." Apa yang akan dimulai?
"Semuanya, berpegangan pada sesuatu! Sekarang!" Gelombang besar tiba-tiba menghantam. Aku berlari menuju ruang kemudi. Dari mana datangnya gelombang ini? "Arutala! Arahkan kapal ke belakang gunung! Kita akan menyembunyikan kapal ini!" Apa? Bagaimana caranya? "Lakukan saja!" Aku memutar arah kapal dan menjalankannya ke belakang gunung.
Sang professor naik ke ruang kemudi dan menekan banyak tombol. "Tentunya kau tahu, bahwa ini bukan kapal biasa." Empat baling-baling muncul dari sisi kiri dan kanan kapal. "Kapal ini dilengkapi dengan baling-baling yang akan membawanya terbang! Tentu saja! Dan satu lagi…" Dia hanya menekan satu tombol.
"Aktifkan ke mode sembunyi." Aku tak merasakan apapun. "Apa yang terjadi?" Oh, kau tak akan tahu karena kau berada di dalam kapal. Kita masuk ke mode sembunyi yang artinya, kita tak terlihat dari luar!"
"Sekarang, kau ikut denganku."katanya. "Kemana?" Ia melemparkan sebuah tas padaku. "Ke pulau itu tentunya," Dari atas? "Lalu apa gunanya perlengkapan selam ini?" Dia tersenyum, "Hanya jaga-jaga kalau kapal ini dihancurkan. Tapi, syukurlah tidak." Ia menyuruhku untuk mengikutinya dan memakai apa yang ada di dalam tas.
"Kau sudah siap? Kita akan berangkat!"katanya sambil meloncat. Aku meloncat turun mengikutinya. "Pastikan kau melepas parasutmu saat aku melepaskannya!" Aku mengikutinya. Daratan masih jauh, tapi aku menyadari sesuatu sudah menunggu kami. Sebuah pusaran air kecil, dan seorang wanita? Kita harus menolongnya!
Tetapi, makin lama dan makin dekat, aku menyadari dia bukan wanita biasa. "Professor! Di bawah!" Ia tersadar dari lamunannya. Sesosok wanita yang sekarang terlihat dengan tubuh penuh kepala anjing. Pusaran air tidak menelannya, malah terlihat seolah-olah ia menemani pusaran air itu. Pusaran air makin lama makin besar dan wanita itu juga terlihat makin besar.
Ke darat!pikirku. Kami harus ke darat! Tetapi, dari jauh terlihat sesosok manusia dengan tubuh setengah beruang. Satu di pegunungan dan satu di pantai. Ia tidak terlihat bersahabat. Bisa jadi, kami dianggap musuhnya. "Professor! Dimana kita harus mendarat?"kataku panik. "Aku tak melihat dimana kita harus mendarat, Aru. Pilihan kita ada tiga. Turun di laut sebelah sana dan tenggelam dalam pusaran air, turun di laut sebelah sini dan dimangsa skilla atau turun di daratan dan dimangsa raksasa kembar."