Chapter V: Someone

Di suatu tempat di laut Jawa,

Sesosok makhluk terlihat berenang bebas. Sosoknya seorang wanita dengan mata yang bercahaya di laut yang gelap. Siapapun yang melihatnya pasti akan bergidik dan berenang menjauh sebab perawakannya mengerikan. Ia berenang menuju suatu tempat, tempat yang tak akan diketahui siapapun.

Ia tiba di sebuah kuil yang megah. Ketika ia masuk, ia berubah. Rambut panjangnya yang hitam berubah menjadi pirang. Matanya tak lagi bercahaya dan kini sepasang bola mata kecoklatan menggantikannya. Ia melangkah menuju suatu ruangan yang terkesan megah. Ia menghormat, sebelum masuk dan ketika ia membuka pintu, tampak lima pilar dengan lubang di tengah-tengahnya mengelilinginya.

Dua mutiara besar terpampang di lubang dua pilar, ketiga sisanya kosong, tak bertuan. "Mohon tunggu aku sebentar lagi, tuan. Kita akan menjalankan rencana kita tepat waktu. Dan tentu saja, akan kupastikan tak ada seorang saksi pun yang akan hidup." Ia menghormat kembali, lalu keluar dari ruangan. Seekor hiu mendatanginya dengan terburu-buru. Ia terlihat panik.

"Ada apa?"katanya penuh ketegasan. Hiu tersebut mengisyaratkan sesuatu. "Manusia,"kata sang wanita dengan geram. "Ikut aku menghadapi mereka dan bawalah mutiara pertama. Kita akan segera menyerang mereka."katanya lagi. Sang wanita menuju ruang amunisi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian perang. Ia memimpin puluhan hiu menuju ke permukaan.

"Manusia, dua orang. Seharusnya mereka datang dengan sesuatu kemari. Aku mendeteksinya tadi, tapi aku tak merasakannya lagi sekarang." Tak mungkin mereka kemari dengan tangan hampa. Sesuatu pasti ada di sini, tapi tersembunyi. "Aktifkan mutiara pertama,"katanya pada barisan hiu. Ketika mutiara pertama diaktifkan, mereka akan memanggil monster yang bisa menghabisi ancaman apapun. Aku penasaran, apa yang dilihat mereka?"

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Professor! Dimana kita harus mendarat?"kataku dengan panik. "Darat, kita punya banyak keuntungan di darat."katanya. "Apa ada senjata di dalam tas ini?"tanyaku padanya. "Kau bisa menemukan AK-47, .357 Magnum, GLOCK-17, dan sebagainya. Aku juga membawa katana ini untuk jaga-jaga." Apa? Darimana katana itu berasal? Aku tak melihatnya membawanya tadi.

"Tsk! Mereka menuju daratan! GNARES AKEREM, RIA TUAL!"seru sang wanita dari dalam laut. Pusaran air raksasa keluar dari dalam lautan, berusaha untuk menarik mereka ke dalam air. Sang professor berhasil menghindar tetapi tidak dengan sang laksamana. Ia tak menguasai parasutnya dengan baik. Sebuah pusaran air berhasil menariknya ke dalam laut. Ia tidak bisa melawan.

Beruntung baginya, pengalamannya di akademi militer membantunya untuk bertahan di air. Aku akan bertahan selama mungkin, pak tua itu masih membutuhkanku, ia tak akan meninggalkanku di sini, pikir sang pemuda. Tetapi, takdir berkata lain. Sang pemuda yang tidak mengetahui apapun ditarik lebih dalam, menjauh dari permukaan, ke tempat yang tak akan diketahuinya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Buk! Sebuah pukulan membangunkannya. "Bangun, manusia."kata sang wanita. Sang laksamana mengangkat wajahnya dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat wajah yang ia kenal. "Rebecca?"katanya sambil melihat kepada wanita yang ada di depannya. "Kenapa kau ada di sini?" Ia melihat tangan dan kakinya yang sudah dirantai dan mendapati dirinya ada di suatu tempat yang tak pernah ia lihat. "Dimana aku? Kenapa kau melakukan ini padaku?"

"Kenapa? Alasannya jelas, kau menggangguku." Sang laksamana tampak tidak mengerti. "Kau tidak tahu apa yang sudah kau lakukan, Arutala."katanya sambil menatap sang laksamana dengan tatapan merendahkan. "Memangnya apa yang ku lakukan?"tanya sang laksamana. "Kau membantunya melarikan diri! Kau merusak rencanaku!"

Sang wartawan masih tidak mengerti. "Siapa yang kau maksud? Dan apa maksudmu aku merusak rencanamu?" Sang wanita mengambil mutiara besar, menunjukkan kepada sang laksamana semua yang telah dilaluinya. Bagaimana ia bertemu dengan sang professor, bagaimana ia akhirnya setuju untuk bekerja sama dengannya. Wanita ini tahu segalanya.

"Kau mengerti siapa yang ku maksud?" Arutala menunduk, berpikir keras apa hubungannya sang wanita dengan semua ini. "Zadweg von Kalstreeg, kau membantu musuh terbesarku, Arutala." Sang wanita berjalan maju, mengangkat mutiara yang dipegangnya dan sebuah proyeksi terpancar dari mutiara tersebut.

"Namaku Okeanos, akulah sang lautan. "katanya dengan keras. "Bumi telah meminta kepadaku untuk menghapus kalian, manusia dari muka bumi dan itulah yang akan ku lakukan sekarang." Dendam seolah-olah mengalir dari setiap perkataannya. "Tetapi, ia tidak memintaku untuk menghapus kalian dengan segera." Ia menghentikan perkataannya dan menuju mutiara yang lain, sebuah mutiara hitam.

"Ia menginginkan kiamat yang lebih dari itu. Kiamat yang mengancam, kiamat yang menakutkan." Sang wanita berbalik dan mengangkat wajah sang laksamana. "Jadi, kau tahu apa yang kuberikan?" Sang laksamana tahu jelas apa yang dimaksudnya. "Ku tenggelamkan mereka satu per satu, tanpa jejak, dan tanpa pemberitahuan."

"Dan kau tahu, bagian apa yang paling menarik?"tanyanya pada sang laksamana. "Membuat mereka tak bisa melakukan apapun selain diam dan menunggu giliran mereka untuk mati. Hahahahaha!" Sang laksamana bergetar. Ia tahu jelas bahwa ia sedang berada dalam posisi yang buruk, sangat buruk malah. Ia dalam sarang musuh, dimana sang musuh tidak bisa diajak untuk bernegosiasi dan ia sama sekali tidak tahu apapun tentang musuhnya.

"Kau tidak mendengarkanku? Memikirkan jalan untuk kabur rupanya?"kata sang wanita seolah-olah mengerti isi pikiran sang laksamana. "Menyerah saja, bukankah sudah kubilang. Akulah lautan. Tak ada yang bisa pergi tanpa sepengetahuanku. Laut adalah tubuhku dan aku bebas melakukan apapun selama orang tersebut ada di teritoriku.

"Bahkan ketika kau menyentuh darat, akan kutarik daratan itu ke dalam laut. Meskipun tanpa alasan. Seperti saat aku menangani pak tua itu."lanjutnya lagi. "Kalian tidak akan bisa kabur, aku pastikan itu." Dua ekor hiu mengawal kanan dan kiri laksamana, memastikan ia tak bisa kabur. "Sayang sekali, Arutala, padahal kau adalah orang yang tak ingin kutarik ke dalam situasi ini,"katanya sambil melangkah pergi.

Sang wanita kembali ke dalam kuil tempat mutiara-mutiara itu berada. Hari ini bulan merah, aku dapat mempercepat rencana ini dengan mudah, pikirnya. Sang professor yang kehilangan anak buahnya, telah memutuskan untuk kembali ke kapalnya. Ia bergetar, perasaan takut meliputi tubuhnya. "Tidak mungkin,"katanya dalam keputusasaan.

"Siapkan sambungan ke semua negara sekarang juga! Aku membutuhkannya!"teriak sang professor dalam kepanikan. Seluruh awak kapal berusaha untuk mengurus permintaan sang professor tetapi, mereka tak bisa berbuat apa-apa. "Maaf prof, komunikasi tidak memungkinkan di sini. Semua cara telah kami coba, tapi tak ada satupun yang terhubung."

Tidak, pasti ada caranya. Tapi, apa?pikir sang professor. Pikir, ayo berpikir. Apakah tak ada lagi yang bisa ku lakukan? "Professor! Kami berhasil terhubung!"teriak salah satu awak kapal. "Tetapi, kami khawatir kita hanya akan tersambung beberapa detik saja."katanya lagi. "Tidak, itu lebih dari cukup,"kata sang professor.

"Hubungkan ke Freitz, kita memerlukannya sekarang." Koneksi terhubung, Freitz muncul di layar. "Freitz, dengarkan aku baik-baik, kau tidak perlu tanya kenapa. Lakukan saja apa yang kuminta." Freitz mengangguk. "Machu Picchu, Angkor Wat, dan Petra. Aku ingin kau mengamankan negara yang berhubungan dengan tempat-tempat yang ku katakan,"

"Dan perhatikan perkataanku baik-baik. Jam 12 malam, mereka akan tenggelam."