Chapter VI: Struggle

"Dengarkan aku, Okeanos. Di antara semua makhluk yang kulihat selama aku di bumi, manusia adalah yang paling menarik."kata seorang pria. "Kenapa begitu?"tanya Okeanos. "Hidup mereka penuh dengan kontradiksi. Mereka bisa mencintai dan membenci sekaligus. Mereka ingin hidup damai, tetapi dalam lubuk hatinya, mereka menginginkan perang. Aneh bukan?"

"Aneh, mereka membuat segalanya menjadi rumit." Sang pria tertawa sambil mengelus rambutnya. "Benar, mereka memang membuat segalanya menjadi rumit. Di saat mereka punya kesempatan untuk menghabisi musuhnya, mereka memilih untuk mengampuninya. Tapi kau tahu, Okeanos? Jalan takdir mereka berubah."

"Apa maksudmu?"tanya Okeanos kebingungan. "Kita, para makhluk alam dibuat untuk tujuan tertentu. "katanya sambil tersenyum. "Aku, sebagai cakrawala yang menaungi bumi," Sang pria menunjuk Okeanos, "Dan kau, sebagai air yang mengairi bumi dengan kesejukannya. Jalan takdir kita sudah ditentukan."

"Angin bertiup kemanapun dia mau dank au mendengar bunyinya, tetapi kita tidak tahu darimana ia datang dan kemana ia pergi."lanjut sang pria. "Aku sama sekali tak mengerti ucapanmu," Sang pria tersenyum sambil mengusap kepalanya, "Ketika ia pergi sendiri, tembok pun bisa memecahnya." Sang pria mengambil beberapa buah batu. "Tetapi, ketika angin itu bersatu, ia menjadi kuat, menarik dan menghancurkan," Batu-batu yang ada di tangannya kini menjadi butiran-butiran kecil.

"Jelaskan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti, kak."rengek Okeanos. "Hahaha…suatu saat kau akan mengerti,"katanya sambil mengangkat Okeanos.

Okeanos terbangun, air mata mengalir di pipinya. Ia bahkan tak sadar kapan dan mengapa ia menangis. Satu hal yang ia tahu, dendamnya akan terlaksana hari ini juga. Ia mengambil jubah perangnya dan berjalan menuju Holy Chamber, tempat mutiara-mutiara itu diletakkan. Tiga lagi, katanya dalam hati. Tunggu aku kakak, akan ku balaskan dendamku.

Ia melesat naik menuju ke permukaan. Bulan merah telah berada di bawah kuil dengan sempurna. "Waktunya sudah tiba,"gumamnya. Ia melepas jubah perangnya dan berdiri di pertemuan kelima kuil. "Dewa bumi, Gi, biarlah diriku menjadi wadah bagi kekuatan dan amarahku, biar jiwaku menjadi persembahan untuk kembali memurnikanmu, luapkanlah amarahmu ke bumi melaluiku!"

Tetapi, tak ada apapun yang terjadi. "Ini aneh," Laut tetap tenang, seperti malam-malam sebelumnya. "Manusia itu telah melakukan sesuatu,"katanya dengan geram. Blarr! Blarr! Blarr! Tiga ledakan terdengar dari dalam air. Manusia itu, dimana dia, pikir sang wanita. Blarr! Blarr! Blarr! Ledakan tersebut makin lama terdengar makin ramai. Dimana? Dimana dia?

Sang professor melesat masuk ke dalam laut. Meskipun wujudmu adalah sang laut itu sendiri, kau tak akan mampu mendeteksiku jika banyak benda yang memasuki lautan, pikir sang professor. Ia menarik gps dari pakaiannya. Sang nahkoda telah dipasangi alat pelacak tanpa sepengetahuannya. Kini, ia bisa langsung menuju tempat si nahkoda tanpa repot-repot mencarinya.

Holy Chamber! Sang wanita tiba-tiba tersadar. Dia pasti ada di sana! Tujuannya pasti menyelamatkan manusia yang lain itu! "Jangan remehkan kekuatan manusia, lady,"kata kapten kapal kedua dari dalam kapal. "Kami punya amunisi yang tak akan pernah kau temui di laut," Sang kapten mengambi aba-aba, "SERANG!"teriak sang kapten. Ratusan ranjau laut dilemparkan dari udara, melukai sang wanita dimana-mana.

"Merepotkan! Dimana mereka? Jika aku terus mengabaikan mereka, aku tak akan bisa bertahan." Sang wanita menatap permukaan dengan seksama. Ia tidak menemukan satu kapal pun mengapung di laut. Ranjau laut terus berjatuhan, membuat sang wanita tersadar bahwa yang dicarinya berada di atas. "Ketemu,"katanya sambil tersenyum jahat.

Pusaran air muncul dari lautan, berubah menjadi tombak yang terlempar ke udara. "Menghindar!"teriak sang kapten. "Kapten, ingatlah. Apabila ia menyadari letak kapal ini, bawa kapal ini keluar dari sini semampumu. Aku tak ingin korban jiwa bertambah karena aku."kata-kata sang professor terngiang-ngiang di telinga sang kapten.

"Mundur! Kita mundur!"teriak sang kapten. "Tapi, kapten, bagaimana dengan…"kata salah satu awak. "MUNDUR! APAKAH PERINTAHKU KURANG JELAS?"teriak sang kapten dengan nada marah. Harus kau ketahui professor, aku tak bisa bertahan lebih lama lagi, tapi, jika aku berhasil keluar dari sini, aku akan membantumu dari luar. Aku berdoa untuk keselamatanmu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Ayodya, aku kecewa denganmu. Mulai saat ini, kau dilarang menginjakkan kaki di tempat ini!" Tapi, pak, aku bahkan belum diberi kesempatan untuk membela diri. Kau bahkan belum mendengarkan penjelasanku. Mengapa kau lebih memercayainya dan mengapa diantara kalian tak ada satupun yang membelaku?

"Ayodya,bangun! Ayodya! AYODYA! PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. "Wah, akhirnya kau bangun juga," Tampak sang professor tertawa dengan muka puas. "Anu, bukankah kau terlalu keras menamparnya?"tanya seseorang. "Tidak masalah! Pukulan segini tak akan menghancurkan rahangnya!"jawabnya pada orang yang tak dikenal itu.

"Dengan siapa kau bicara professor?"tanya Laksamana Ayodya setengah sadar. "Beri salam padanya, kau manusia lemah, dan jaga nada bicaramu, kau sedang berbicara dengan seorang yang agung, dan juga penolong kita." Ayodya membuka matanya perlahan, kesadarannya kembali sepenuhnya dan tampak baginya sesosok pemuda yang diliputi dengan cahaya.

Ia jatuh menghormat, menyadari apa yang ada di hadapannya bukanlah manusia biasa. "Maafkan ketidaksopananku,"katanya sambil menunduk. "Tidak apa-apa, berdirilah."katanya dengan ramah. "Bila tuan berkenan, bolehkah saya mengetahui nama Anda?"tanya Ayodya lagi. "Namaku Ton Orizonta, aku adalah sang dewa cakrawala,"

Kemuliaan tampak terpancar di wajahnya. Jelas, yang berdiri di hadapannya adalah seorang dewa, namun ia tampak sangat bersahaja dan penuh welas asih. "Saudara perempuanku telah banyak menyusahkan kalian,"katanya dengan sedih. "Siapa yang Anda maksud?"tanya Ayodya lagi. Ia menunjuk ke bawah, "Okeanos, sang lautan adalah saudara perempuanku."

Apa? Dewa yang tampak sangat bersahaja ini punya hubungan darah dengan monster yang ada di bawah itu? "Maafkan dia, sebelumnya ia tak pernah begitu,"kata sang dewa lagi. "Aku seharusnya tahu bahwa ia berubah setelah kami mengunjungi ibu kami, Gi." Sang professor mendekat, "Jika tuan berkenan, bolehkah tuan menjelaskan apa yang sedang terjadi?"

"Gi, atau bumi atau tanah tempat kalian berpijak adalah ibu kami. Ia melahirkan aku, sang cakrawala dan adikku, sang lautan. Dari dialah segala binatang dan tumbuh-tumbuhan berasal, dari dialah sumber kehidupan muncul."jelasnya. "Tetapi, manusia mendapat perhatian khusus darinya, sebab ia menciptakan manusia dengan cara yang berbeda."

"Aku dan adikku, ditugaskan untuk menjaga alam ini agar kehidupan bisa tetap ada di muka bumi." Raut mukanya menjadi sedih, "Tapi, seiring bumi bertambah tua, semakin kalian sering merusaknya menyebabkan ibu menderita. "Dalam kesakitannya, ia berpesan kepada adikku untuk memberi sedikit pelajaran pada manusia."

"Tetapi adikku, yang tak tahan melihat ibuku menderita, mengambil inisiatif dan mulai menenggelamkan daratan dari muka bumi." Raut wajahnya memancarkan kesedihan, "Tapi, bukan itu yang ibu inginkan." Ia mengehla napas sejenak, "Ibu menginginkan manusia berubah, bukan melenyapkannya. Adikku juga tidak sepenuhnya salah, ia hanya menginginkan ibu lebih baik dengan cepat,"

"Dan disinilah aku, berada di tengah-tengah mereka berdua sambil membantu para manusia." Sang laksamana tersentak,menyadari sesuatu. "Apa yang kau maksud dengan membantu para manusia?"tanyanya. "Kalian kenal Prof Hawkins Eissenmeyer?" Professor Zadweg dan Laksamana Ayodya bertatapan. "Dia masih hidup…dan dia ada di sini,"