Chapter VII: Words

"Apa maksudmu dia ada disini?"tanya Laksamana Ayodya kepada sang dewa. "Kau tak mengerti maksudku? Bukankah sudah kukatakan dengan sangat jelas? Dia ada di sini."jawab sang dewa dengan nada meyakinkan. "Jadi, maksudmu, dia masih hidup?"tanya sang professor. "Ya, benar, dia masih hidup dan sebenarnya dia sudah mendengarkan pembicaraan kita dari tadi."

"Professor Hawkins? Bisakah kau keluar sekarang? Kau tahu dengan tubuhmu yang besar, tak mungkin bagimu untuk bersembunyi di semak-semak," Sang professor dan laksamana berbalik, tampak Professor Hawkins berdiri dengan daun-daun yang tersangkut di bajunya. "Ketahuan, rupanya. Hahahahaha…"katanya sambil tertawa lepas.

Prof Zadweg berlari secepat yang dia bisa menuju Prof Hawkins. Tangannya mengepal, siap menghantamkan sebuah tinju. Bam! Tinju mereka bertemu. "Masih hidup, rupanya? Kukira kau sudah mati, terapung-apung di samudra,"ujarnya sambil tersenyum kesal. "Tentu saja aku hidup berkat kepandaianku, tidak seperti seseorang yang dengan teledor merancang rencana hingga merepotkan sang dewa dengan turun ke bumi,"katanya dengan nada mengejek.

"Setidaknya, tidak lebih parah daripada seseorang yang bersembunyi namun tahu segalanya."balas Zadweg lagi. "Hal yang sama berlaku padamu juga, bukan? Orang yang menyembunyikan dirinya selama 1 bulan?" Zadweg terlihat kesal, namun tak bisa membalas perkataannya. "Sekarang aku bingung dengan hubungan mereka berdua. Bukankah kau bilang mereka sahabat baik?"tanya sang dewa yang dibalas dengan isyarat badan tidak tahu oleh Ayodya.

"Abaikan saja mereka, yang mulia. Jika Anda berkenan, saya punya beberapa pertanyaan untuk Anda,"kata Ayodya. "Apa yang sedang terjadi di bumi sekarang? Aku ingin tahu keadaanya." Sang dewa membawanya ke depan singgasana. Seekor elang terbang rendah dan hinggap di tangannya. "Lihatlah ke dalam mata elang,"kata sang dewa.

Ayodya melihat pasukan yang sudah tiba dengan selamat di pelabuhan. Ia menarik napas lega. Namun, napasnya tercekat ketika ia melihat para pasukan di darat yang mati-matian berusaha untuk melindungi sesuatu yang tengah dipindah-pindahkan. "Hentikan perkelahian konyol kalian, mereka membutuhkan kita."kata sang laksamana.

"Mereka? Siapa?"tanya kedua professor bersamaan. "Para prajurit. Mereka tengah melindungi sesuatu, entah apa itu."kata sang laksamana. "Mutiara,"kata sang dewa. "Adikku mengincar tiga mutiara yang tersisa untuk menarik daratan ke dalam lautan." Kedua professor menghentikan perkelahian mereka dan bergabung dengan sang dewa dan Ayodya.

"Bukankah kau bilang mutiara-mutiara ini adalah sumber kekuatan ibumu?"tanya Prof Hawkins. "Benar,"jawab sang dewa. "Tak adakah yang bisa dilakukan ibumu untuk hal ini?"tanya Hawkins lagi. "Tidak,"kata sang dewa sambil menggelengkan kepalanya. "Ibu memilih untuk bersikap netral. Ia menganggap memberikan pelajaran kepada manusia adalah sebuah keharusan, tapi ia tidak menyukai cara adikkku."

"Tak bisakah kau membujuknya?"tanya Zadweg "Tidak, keputusan ibu adalah absolut. Kami berdua tak pernah sekalipun membantah keputusannya. "Dan ibumu setuju kau menolong manusia?"tanya Zadweg lagi. "Itu bukan urusannya. Sudah kukatakan tadi, ia mengambil sikap netral."

"Bisa kau bawa kami padanya?"kata Ayodya. "Untuk apa? Ibu membenci kalian dengan sangat."jawab sang dewa. "Sepertinya tidak,"kata Ayodya lagi. "Kalau dia membenci kami dengan sangat, ia bisa saja setuju dengan rencana adikmu bukan?" Sang dewa membalikkan badannya. "Kau tidak tahu sifat ibuku. Ia menentukan segala sesuatu sesuka hatinya. Sudah kukatakan tadi bahwa ia hanya tidak menyukai cara adikku menghukum kalian, bagaimana jika ia berencana untuk menghukum kalian dengan cara lain? Yang lebih menyakitkan?"

"Perkataannya benar,"kata Hawkins. "Kita tak tahu apa yang ada dalam pikirannya," Zadweg terlihat mengangguk-angguk setuju. "Tapi,"kata Zadweg tiba-tiba. "Tak ada salahnya mencoba, bukan?" Kling, kling, kling, kling, kling. "Bunyi ini, kalian semua! Sembunyi di belakangku!"teriak sang dewa tiba-tiba. Dua batang pohon yang ada di depan mereka mulai menumbuhkan rantingnya. Tanah bergerak naik ke atas, membentuk dirinya sendiri menjadi wujud seorang wanita. Ranting-ranting pohon mengelilingi gundukan tanah yang bergerak naik, kemudian menumbuhkan daun yang lebat.

Seorang dewi dengan gaun kehijauan muncul di hadapan mereka. "Orizon member hormat kepada Dewi Gi yang telah menyempatkan diri untuk datang kemari."kata sang dewa sambil membungkuk. "Angkat kepalamu, Orizon." Suara perempuan itu menyeramkan, seperti suara guruh saat badai. Matanya menatap tajam kepada manusia yang bersembunyi dalam bayangan putranya.

"Apa yang kau bawa kemari, putraku?"tanyanya. Nada bicaranya penuh dengan amarah. Salah berbicara sedikit saja, kita bisa langsung menjadi abu, pikir Ayodya. "Mohon maaf, ibunda. Tapi aku tak bisa membiarkan mereka dilibas begitu saja oleh Okeanos."katanya sambil tetap membungkuk. "Angkat kepalamu, Orizon. Kapan aku pernah mengajarkanmu untuk membungkuk demi manusia?"

Gawat, sang dewi benar-benar marah. "Tak adakah dari kalian yang berani menghadapku setelah putraku membela kalian? Tidak bisakah kalian membela diri kalian hingga putraku harus merendahkan dirinya di hadapanku untuk kalian?" Ayodya terdiam. Apa yang bisa kami katakan? Kami adalah makhluk yang dibencinya. Apa perkataan kami bisa dibenarkan? Apa kami akan didengarkan?pikirnya dalam hati.

"Mohon izin bicara, yang mulia."kata Zadweg. "Zadweg von Kalstreeg, seorang ilmuwan jenius yang memulai karirnya di usia 10 tahun, aku harus mengucapkan selamat karena banyak dari penemuanmu yang memudahkan manusia untuk terus menghancurkan alam."ucapnya sinis. Zadweg terdiam dan menunduk.

"Kiranya aku mendapat kasih di matamu, yang mulia. Jika yang mulia berkenan, izinkanlah saya…" Sang dewi membuka buku di tangannya. "Hawkins Eissenmeyer, seorang professor dengan karir gilang gemilang, bahkan di saat usianya sudah tak muda lagi. Dari pendapatannya, ia selalu menyumbangkan sebagian yang ia punya kepada yayasan yatim piatu ataupun kepada orang-orang yang membutuhkan,"

Hidung Hawkins kembang kempis mendengar apa yang dibacakan tentang dirinya. "Namun, sama seperti Zadweg, penemuanmu telah membuat banyak masalah bagi alam, dan parahnya lagi, kau adalah seorang pemabuk dan pejudi." Hawkins menunduk. Wajahnya memerah karena malu. Sementara itu, Zadweg tertawa dalam hatinya.

"Lalu kau, manusia. Tak adakah yang hendak kau katakan padaku?"tanya sang dewi pada Ayodya. Ayodya menunduk, "A…aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Aku hanya merasa tak layak untuk berbicara, bahkan untuk berada di sini." Sang dewi membuka bukunya, "Rupanya ada sesuatu yang menarik disini,"katanya sambil tersenyum.

"10 detik."kata sang dewi tiba-tiba. "Ku berikan kau waktu 10 detik untuk berbicara padaku. Jangan sampai kutemui sesuatu yang tak masuk akal ada dalam ucapanmu," 10 detik? Apa yang bisa kukatakan dalam 10 detik? "Sepuluh, " Gawat, dia sudah memulai hitungannya. Pikir! Berpikirlah Ayodya! Apa yang harus kau katakan?

"Sembilan," Sang dewi terus menghitung. Apa? Apa yang harus ku katakan? "Delapan," Haruskah aku memintanya untuk membantu manusia? Tidak itu terlalu egois. "Tujuh," Haruskah aku memintanya untuk menghentikan putrinya? "Enam," Tidak, sang dewa mengatakan kalau sang dewi telah mengambil jalan netral.

"Lima," Lima detik lagi? Aku masih belum punya apapun untuk dikatakan. "Empat," Bagaimana jika memintanya untuk membiarkan putranya membantu kami? "Tiga," Tidak itu juga tidak tepat. Tapi, apa? "Dua," Ayolah, kau pasti punya sesuatu untuk dikatakan Ayodya. "Jangan menguju kesabaranku, manusia."kata sang dewi lagi.

"Sa…" Sang dewi sampai pada ujung perhitungan. "To…tolong kami!" Hawkins menghela napas, Zadweg menggeleng-gelengkan kepalanya dan sang dewa menutup mukanya. Sang dewi berjalan mendekati Ayodya. "Bagus, nak. Kau berhasil menyampaikan isi hatimu yang terdalam,"katanya sambil tersenyum.

"Kalian, para manusia, selalu membuat segalanya menjadi lebih rumit. Di saat aku bisa menolong kalian kapan saja, kalian memilih untuk berasumsi, membuat rencana dan bergerak sendiri."katanya sambil membelakangi kami. "Padahal, dua kata itu cukup bagiku untuk membantu kalian."katanya sambil menengok ke arah kami.

"Aku tak pernah menginginkan kata-kata maupun persembahan. Yang kuinginkan hanyalalah ketulusan kalian. Tapi, kalian mengubahnya menjadi barang."lanjutnya lagi. "Aku tak bisa membatalkan keputusanku, tapi jika aku berniat untuk bersikap netral di sini, maka kalian juga harus ku bantu."katanya sambil mengulurkan sebuah gulungan.

"Apa yang kalian butuhkan ada di sini,"katanya sambil menyerahkan gulungan itu pada putranya. Ia memandang Ayodya. "Dan ini untukmu, manusia yang rendah hati,"katanya sambil mengulurkan sebuah gulungan padanya. "Aku paham mengapa ia tak mau memberitahukannya padamu sekarang, tapi ada baiknya ia menceritakan hal ini dengan segera, karena kita tak pernah tahu berapa lama lagi waktu yang kita miliki."

Ayodya mengangguk. Namun, dalam hatinya, ia bertanya-tanya. Apa maksud dari semua perkataannya itu? "Bacalah ketika dunia sudah menjadi damai."ucapnya lagi. "Orizon, jaga mereka dengan baik, kau tahu apa yang harus kau lakukan," Orizon mengangguk takzim. "Baik, ibunda," Ia berjalan menjauhi mereka, "Kuharap kalian semua berhasil, selamat tinggal." Wujudnya tak lagi terlihat.

"Ayo, kita harus segera membuat rencana,"kata Zadweg. Ia membuka gulungan tersebut di atas meja. Semua berkumpul mengelilinginya. "Apa arti tulisan ini?"tanya Ayodya. "Bulan merah…sumber kekuatan utama laut…menutupnya…kekuatan akan hilang."kata Hawkins, berusaha menerjemahkan setiap kata yang ada di sana.

"Kedua dewa…seimbang kekuatan…hentikan…mereka sendiri,"lanjut Hawkins lagi. "Jadi, yang bisa menghentikannya hanya dia sendiri? Apa maksud perkataan ini? Kita tak mungkin berunding dengannya kan?"tanya Ayodya. "Tidak, itu tak mungkin."kata Zadweg. "Kita harus berpikir cerdik untuk masalah ini," Ia terlihat memikirkan sesuatu.

Tring! Tring! Tring! "Bunyi lonceng 3 kali! Sesuatu terjadi di bumi!"kata sang dewa sambil melihat ke dalam mata elang. "Oh tidak, kita kehabisan waktu,"kata Ayodya. "Apa maksudmu?"tanya Hawkins. "Mutiaranya…dia berhasil mendapatkan semua mutiara. Sekarang dia bisa bebas menenggelamkan kita, kapanpun dia mau…"