Okeanos melesat masuk ke dalam lautan. Di tangannya, tiga mutiara tersimpan dengan aman. Persiapannya sudah selesai, tiba saatnya untuk melaksanakan rencana yang telah ia pikirkan matang-matang. Tidak ada siapapun yang bisa mengubah keputusannya, bahkan ibunya sendiri pun tidak. Ibu hanya bisa menghentikanku, tapi aku pikir dia tidak akan melakukannya, pikir Okeanos dalam hati.
Holy Chamber berada tepat di hadapannya. Akhirnya, hari ini tiba, pikirnya dalam hati. Semua yang telah ia siapkan dan rencanakan tidak akan menjadi sia sia. Semua yang direncanakannya akan terjadi hari ini, malam ini juga.
Ia meletakkan ketiga mutiara tersebut dalam pilarnya masing-masing. Ketika mutiara terakhir diletakkan ke dalam pilar, Holy Chamber bergerak naik hingga menembus permukaan laut. Ia terus bergerak naik hingga menembus awan. Okeanos memandang sekelilingnya, indah, katanya dalam hati saat melihat awan memenuhi tempat itu.
Holy Chamber akhirnya berhenti bergerak. Di antara awan-awan dan dibawah naungan bulan merah yang semakin dekat, Okeanos memulai prosesinya. Ia mengubah wujudnya menjadi dirinya yang sebenarnya, dengan kulit yang biru, sebiru lautan dan mata yang bercahaya di kegelapan malam.
Ia berdiri di tengah-tengah Holy Chamber dan meletakkan gulungan yang diberikan ibunya di depan kakinya. Ia menarik napas panjang, "Baiklah, akan kumulai."
Ia melangkahkan kakinya ke pilar pertama. "Ainud nakpaleg,matih!"katanya dengan sekali ucap. Tiba-tiba, kuil apung yang berada di permukaan laut naik ke atas hingga berada dalam posisi sejajar dengan Holy Chamber.
"Asod nakpakgnis, hitup!"lanjutnya lagi. Kuil apung kedua beranjak naik. "Nataukek nakireb, uggnurep!" Kuil apung ketiga beranjak naik. Audek naailumek, karep!" Kuil apung keempat beranjak diikuti bulan yang makin lama makin membesar.
"Awed naailumek, same!"teriak Okeanos sekuat tenaga. Kuil kelima naik diikuti dengan suara gemuruh yang keras. "Hormat kepada ibu bumi, Dewi Gi dan kepada penjaga galaksi, Dewa Galaxias. Seluruh lautan tunduk atas namaku, Okeanos. Kupersembahkan jiwa dan ragaku sebagai wadah bagi kekuatanmu."
Ia menarik napas dalam-dalam dan berteriak dengan keras sambil menengadah ke langit, "AKUB!" Langit menjadi merah darah, awan menjadi hitam gelap dan kabut bermunculan dimana-mana. Pilar cahaya turun dari langit menghunjam tubuh Okeanos.
"Okeanos, dewa dan dewi akan mengujimu untuk melihat apakah kau pantas untuk kekuatan yang maha dahsyat ini, apakah itu1/2 kekuatan ibumu atau 1/2 kekuatan ayahmu. Persiapkanlah dirimu untuk ujian ini!" ucap sebuah suara menggelegar dari langit.
Badan Okeanos teras berat. Tubuhnya terasa ditarik ke bawah oleh kekuatan yang luar biasa. Tetesan-tetesan darah keluar dari tubuhnya. Pilar cahaya telah berubah duri-duri tajam yang turun dari langit. Baru saja Okeanos melindungi dirinya dengan tameng air, pilar cahaya telah mengubah dirinya menjadi ribuan pedang bermata dua yang siap menghunjam kapanpun dia mau.
"Aku akan bertanya sekali lagi padamu, wahai dewi laut Okeanos, apakah kau siap untuk menghadapi ujian demi mendapatkan kekuatan yang kau inginkan?" kata suara itu lagi. Okeanos bangkit, dengan tubuh penuh goresan dimana-mana. Dalam benaknya, ingatan tentang ibunya yang terlihat sedih memandang bumi terus menerus terputar.
"Mulailah, kapanpun aku siap," kata Okeanos penuh tekad. Keputusannya sudah bulat, ia tidak akan mundur begitu saja. Ribuan pedang bermata dua mulai berjatuhan dari langit, Okeanos tahu jika ia tak bisa menghindari serangan ini, ia akan mati.
Ia mengambil kuda-kuda, menarik napas dalam-dalam. Ia mengepalkan kedua tangannya dan menyilangkannya di depan dadanya. "STEREA PROSTASIA PAGOU!"teriaknya. Air bergerak naik ke udara dalam jumlah yang besar dan mengelilingi Holy Chamber seolah-olah siap menenggelamkannya kapan saja.
Aku harus memfokuskan diriku untuk pertahanan ini. Langkah pertama, ujarnya dalam hati. "Apolyti prostasia!" Sebagian besar air tertarik ke arah Okeanos dan meliputinya. Langkah kedua, ujarnya dalam hati sambil mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan membentuk lingkaran. "Dynamiki statheropoiisi pagou!"
Air yang meliputinya membeku dengan kecepatan dan kekerasan yang luar biasa. Belum ada pedang yang pernah menembus pertahanan keduaku, katanya dalam hati. Langkah ketiga, ujarnya sambil meluruskan tangannya ke depan dan mengepalkan telapak tangannya. "Lotos pago vrochi,"ucapnya sambil menyeringai.
Air berubah menjadi butiran-butiran seukuran bola tenis dan membeku dengan cepat. Dengan satu jentikkan jarinya, bola-bola es itu melesat seperti meteorit, siap melindungi sang dewi kapanpun. Bola-bola es tersebut menghancurkan setiap pedang yang mereka temui dan setiap pedang yang lolos tidak mampu menggores sang dewi sedikit pun.
"Baiklah, dewi atas seluruh air yang mengalir di permukaan bumi, Okeanos. Aku menyatakan kau lolos dalam ujian ini. Tetapi, masalah pemberian kekuatan bukanlah urusanku. Kekuatan itu sendirilah yang akan memilihmu,"ujar sang suara dari langit.
Dua buah permata turun perlahan dari langit. Warna biru gelap menghiasi yang satu dan warna merah darah menghiasi yang lainnya. Okeanos menginginkan permata biru, permata yang berisi kekuatan sang ayah. Ia mengulurkan tangannya dan berusaha menggenggamnya. Tetapi, belum juga tangannya menyentuh permata tersebut, panas menjalar ke telapak tangannya, melukainya.
"Sepertinya, dia bukan pilihan yang tepat,"kata sang suara. Okeanos tidak peduli. Ia menginginkan kekuatan itu. Ia melapisi tangannya dengan air, tetapi permata itu masih mengeluarkan kubah pelindungnya. Tangan Okeanos tak bisa menggapainya.
"Mengapa kau tak berpaling kepada yang lainnya? Bukankah sudah sangat jelas ia tidak menginginkanmu menjadi pemiliknya?" Okeanos merengut, "Kekuatan ini tak boleh menjadi milik kakak," jawabnya kepada suara itu. "Jadi, kau akan tetap bersikeras mengambilnya?"tanya sang suara.
"Ya, aku tak peduli bila tubuhku harus hancur,"katanya dengan penuh tekad. Tetapi, baru saja Okeanos akan mendekatkan tangannya, permata itu terbang menjauh hingga hilang dari pandangan Okeanos. "Terimalah apa yang seharusnya menjadi hakmu, jangan mengambil milik orang lain,"kata sang suara itu lagi.
Dengan pasrah, Okeanos mengambil permata merah, yang langsung terserap dalam tubuhnya. Ia berubah dalam sekejap. Mahkota keemasan dengan permata merah menghiasi kepalanya. Baju perangnya kini berlapis intan dan yang paling penting, kekuatan. Kekuatan sang ibu mengalir dalam tubuhnya, memberikannya kepercayaan diri yang luar biasa.
Okeanos bersiap, ia mengulurkan kedua tangannya ke atas, membuat sebuah persegi panjang dengan jari-jarinya dan mengarahkannya ke bulan merah. "Pnigo,"ucapnya pelan.
Seketika, gelombang lautan meninggi, pusaran air keluar dari laut dan menarik Kamboja, Jordania, dan Peru ke dalam lautan. Daratan digantikan lautan dan sebuah kuil kembali muncul di tempat negara-negara tersebut tenggelam.
Lima pilar cahaya keluar dari kelima kuil yang muncul tepat setelah daratan-daratan tersebut tenggelam. Cahayanya menembus awan hingga terlihat oleh Orizon, Zadweg, Hawkins dan Ayodya. Sang dewi laut memandang ke bawah, senyumnya mengembang, percaya diri rencananya akan berhasil.
"Tunggu aku kakak, nikmatilah waktumu mengawasi manusia dari atas karena sebentar lagi kau akan kehilangan seluruh manusia kesayanganmu itu."