Siang cukup terik untuk kota Bandung saat itu. Asap mengepul dari jalanan besar. Kendaraan riuh menghamburkan debu-debu sepanjang jalan. Bulan berjalan mengikuti langkah ibunya yang sedang hamil muda di sepanjang trotoar. Wajahnya berhiaskan keringat yang mengucur dengan pakaian kumal yang melekat di tubuhnya. Entah sudah berapa kali ia memakainya. Karung bawaan Bulan hasil memulung bersama dengan ibunya hampir penuh. Sudah setengah hari, keduanya berjalan berkeliling mengumpulkan barang-barang daur ulang yang menjadi mata pencaharian untuk kehidupan sehari-hari.
Ibu Sari -ibu Bulan- memutuskan untuk mengajak Bulan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, beberapa orang berlari tidak menentu. Seolah menghindari kejaran dari seseorang yang mereka takuti.
"Lari! Lari!" Teriak seorang berlari tunggang langgang.
"Ada Trantib! Ada Trantiiib! Ayo kabuurrr!" Teriak yang lain sembari membawa dagangannya.
Beberapa pedagang yang awalnya menggelar dagangannya pun buru-buru membereskan dagangannya kemudian berlari menghindari petugas keamanan. Sebagian ada yang bertabrakan, sebagian lagi ada yg tersandung-sandung sampai terjatuh menyelamatkan diri.
"Kenapa mereka lari ketakutan seperti itu, Bu?" Tanya Bulan keheranan.
Ibu Sari hanya menggeleng tidak mengerti dengan situasi tiba-tiba yang ada di hadapannya.
"Ada apa ini?" Tanya Bu Sari mencegat seorang laki-laki dengan peluh yang menghiasi wajahnya penuh debu.
"Ada penggrebekan dadakan dari petugas keamanan kota. Kalau ketangkap, habislah kita."
"Jangan lari kalian! Berhenti!" Tiba-tiba terdengar teriakan pria dengan tubuh berbalut pakaian petugas keamanan mengejar dari kejauhan. Disusul beberapa pria lain dengan pakaian yang sama mengejar sambil membawa pentungan dan meniupkan peluit.
"Ayo lari!" ajak laki-laki itu menatap bu Sari.
Laki-laki itu pergi berlari mendahului ibu Sari dan Bulan yang masih diam mematung di tempat.
"Hei kamu! Diam di tempat!" Teriak seorang petugas keamanan menunjuk ke arah bu Sari dan Bulan berdiri.
"Bulan, ayo kita lari!" ajak ibu Sari sambil menarik tangan putrinya.
Bulan yang tidak tahu menahu apa yang tengah terjadi memutuskan mendengarkan ibunya. Ia mengikuti langkah kaki ibunya meninggalkan karung hasil mereka memulung hari ini. Mereka berusaha berlari menjaga jarak untuk menghindari kejaran dari petugas keamanan. Bu Sari menuntun langkah Sari berbelok menuju jalan kecil untuk memasuki daerah di tengah perkampungan. Napas Bulan mulai terengah-engah. Ia mengeluh pada ibunya jika tidak sanggup lagi berlari karena kecapekan. Bu Sari meyakinkan putrinya untuk melanjutkan pelarian agar mereka bisa terlepas dari kejaran petugas. Tiba-tiba kaki Bulan tersandung batu yang berada di tengah jalan. Ia terjatuh dan menangis. Bu Sari buru-buru menenangkan raungan tangisan putrinya kemudian mengambil inisiatif untuk memapahnya. Ketika ingin melanjutkan pelarian, tidak dapat diduga, dari arah berlawanan mereka sudah dihadang oleh beberapa petugas keamanan.
"Nah, ketangkap kalian. Percuma kabur, ayo ikut!" Ucap salah satu petugas itu garang dengan nada membentak.
"Jangan tangkap kami, Pak!" Ucap Bu Sari memohon pada petugas itu.
"Diam!"
"Sa ... salah saya apa, Pak?" Tanya ibu Sari bingung.
"Nggak usah banyak nanya!"
"Tapi, pak, saya ...," ucapan ibu Sari terpotong karena petugas itu terus menarik-narik lengannya.
"Lepaskan! Jangan sakiti ibuku!" Teriak Bulan marah sembari memukul tubuh petugas yang menyeret langkah ibunya.
"Ini anak kamu? Ibu macam apa kamu punya anak diajak ngegembel," geram petugas yang lain. Petugas itu meraih tangan Bulan lalu menarik mengikuti langkahnya menuju parkiran tanpa peduli rintihan akibat luka yang berada di lututnya.
"Kita mau dibawa kemana, Bu?" Tanya Bulan panik memandangi ibunya yang turut serta mengikuti langkah petugas di sampingnya.
Ibunya hanya menggeleng tanpa tahu tujuan mereka dengan keadaan yang letih akan kondisi fisiknya. Sesampainya di parkiran, mereka dibawa naik ke dalam mobil petugas keamanan. Di dalam mobil, tidak hanya mereka berdua yang ditangkap. Tetapi ada beberapa yang bernasib sama. Kebanyakan pemulung dan pengemis. Bulan memeluk ibunya erat ketika ia memandangi sekelilingnya.
"Pak, kami mau dibawa kemana? Tolong turunkan kami! Suami saya sedang sakit-sakitan di rumah. Ijinkan kami kembali ke rumah," pinta ibu Sari memohon kepada petugas yang sedang berbincang di luar mobil.
"Percuma memohon pada mereka. Orang seperti mereka mana mau dengerin orang kita. Kita ini dianggap gembel. Sampah yang merusak keindahan kota," jelas seorang pemuda yang memijat kakinya kesakitan karena dipukul rotan karena ia berusaha kabur dari kejaran petugas keamanan.
Tidak lama, petugas keamanan ikut naik dan duduk bersama mereka. Mesin mobil berbunyi kemudian berjalan meninggalkan lingkungan kota Bandung. Ibu Sari hanya bisa pasrah dengan yang terjadi saat itu. Yang paling ia cemaskan bukan kemana mereka akan pergi, tetapi keadaan suaminya yang pasti menanti di rumah.
*****
Suara batuk Pak Teguh –ayah Bulan- terus bersahut-sahutan ketika ia terbangun dari pembaringannya. Kumandang adzan menggema di luar rumah kardusnya yang berukuran kecil. Ia menebarkan pandangannya menuju pintu depan. Tertutup. Kondisinya masih sama sejak sepeninggal istri dan anaknya yang pergi memulung sejak pagi. Ia bangkit dari pembaringan dan berjalan menuju meja yang tidak jauh dari tempatnya untuk mengambil air minum. Meredakan batuk yang mengguncang tubuhnya. Jalannya tertatih-tatih sampai ia tidak sengaja tersandung dan tubuhnya terhempas di atas tanah. Sekelebat firasat buruk terlintas di benaknya. Ia mendadak cemas. Pikirannya tiba-tiba menjelajah kemana-mana. Takut terjadi hal buruk pada istri dan anaknya yang tidak kunjung pulang. Hari ini tidak seperti biasanya istri dan anaknya pulang terlambat.
"Sari, Bulan, kenapa kalian belum juga pulang?" Tanyanya sembari meringis. Tidak ada jawaban. Hanya ruang kosong dan kesepian menemaninya.
"Andai penyakitku ini tidak menghalangiku untuk bekerja mencari nafkah. Sari dan Bulan pasti tidak perlu kesusahan mengganti posisiku untuk bekerja," keluhnya setengah berbisik.
Ia merasa amat tidak berguna menjadi kepala keluarga. Ia marah pada dirinya sendiri yang hanya bisa berdiam diri di rumah tidak melakukan apapun. Perutnya mulai merintih sakit. Bukan dikarenakan penyakitnya. Melainkan tidak ada apapun yang bisa dimakan. Bahkan dalam keadaannya pun, tidak pantas rasanya jika ia mengeluh karena lapar. Bagaimana dengan istri dan anaknya? Apakah mereka sudah makan atau masih kelaparan juga sama sepertinya?
Ia meraih gelas berisi air minum di atas meja. Meneguknya hingga tak tersisa. Setidaknya, itu dapat meringankan batuk dan menangkal rasa lapar yang mulai memenuhi rongga perutnya.
Ia melangkah menuju pintu depan. Udara malam yang dingin menyambutnya dari sela-sela jaket tebal yang membungkus tubuhnya. Sepi. Hanya hiasan lampu yang menerangi setiap rumah.
"Sari, Bulan, apa kalian baik-baik saja? Ada apa dengan kalian?" tanyanya menatap ke ujung jalan.
****
Hari mulai petang ketika ibu Sari dan Bulan menelusuri jalan raya di kawasan daerah hutan Ciwidey. Dengan sengaja, mereka diturunkan paksa oleh petugas keamanan dan ditinggalkan begitu saja. Sekalipun ibu Sari berusaha dengan keras memohon agar ia dan putrinya dibawa kembali ke Bandung, tidak satu orang pun dari petugas itu yang iba dengan permohonannya.
"Nggak mau, Pak... Nggak mauuu! Tolong jangan buang kami disiniii...,"
"Haaarrgghh... itu hukuman buat kalian yang bikin rusak suasana kota!" Ucap salah satu petugas Trantib sambil menghentak tangan Bu Sari dan Bulan.
Bu Sari dan Bulan tak dapat menolak takdir, mereka harus menerima dibuang di tengah hutan Ciwidey untuk alasan yang kurang logis.
Panas udara sore hari saat mereka menelusuri jalan kini mulai berubah menjadi begitu dingin. Udara malam mulai menusuk-nusuk kulit mereka. Bu Sari memandangi putrinya yang menggigil kedinginan. Ia memberikan sweter hangatnya untuk digunakan putrinya. Suasana hutan malam itu begitu gelap tanpa penerangan. Hanya terdengar suara-suara binatang penghuni hutan dan hembusan angin malam yang mencekam.
"Ibu ...," sahut Bulan, "Bulan sudah capek, Bu."
Ibunya memandangi Bulan yang tampak kelelahan. Putri semata wayangnya itu nampak tidak berdaya lagi. Lalu ia mencari tempat berteduh untuk beristirahat. " Ayo kita istirahat di situ dulu," tunjuk ibunya mengarah pada gubuk kecil beratapkan jerami tak bertuan.
"Ibu, kapan kita bisa pulang? Bulan pengen ketemu ayah," ucap putrinya bergelayut di samping ibunya.
"Gimana kalau Bulan bantu ibu berdoa? Kita pasti bisa pulang dan bertemu ayah lagi," ucap ibunya meyakinkan.
"Apa doa Bulan dikabulkan, Bu? Kita, kan, orang miskin."
"Kalau Bulan berdoa dengan segenap hati, pasti akan terkabul," ucap ibunya memandang putrinya penuh senyum.
Tidak lama Bulan tertidur dalam buaian ibunya. Ibunya menengah ke langit malam yang gelap gulita.
"Ya, Allah, bantu kami agar bisa kembali menemukan jalan pulang," bisiknya pelan kepada pemilik kehidupan.
****
Bu Sari melambai-lambaikan tangannya di bahu jalan. Berharap kendaraan yang lewat dapat memberinya tumpangan sampai ke kota. Tetapi usahanya sia-sia. Kendaraan yang melewatinya acuh tak acuh. Peluh mengucur dari wajahnya yang berselimut debu. Sedangkan Bulan menatap tidak jauh dari ibunya berdiri. Menuruti perkataan ibunya agar ia berdiri di tepi jalan dan menjaga jarak dari kendaraan yang melintas.
Bu Sari mengajak Bulan kembali melanjutkan perjalanan ketika beberapa kendaraan menghiraukannya. Langkah kakinya terseret di atas tanah. Selang beberapa kilometer mereka berjalan, Bulan menyahut memanggil ibunya. Bu Sari menghentikan langkahnya. Menatap Bulan yang berdiri di sampingnya. Terlihat wajahnya pucat.
"Perutku sakit, Bu," rintihnya pelan sembari memegang perutnya.
"Perut kamu kenapa, Nak?" Tanya Bu Sari menyejajarkan tubuhnya sama tinggi dengan Bulan.
Bulan menggeleng lemah.
"Bulan lapar?" Tebak ibunya.
Bulan mengangguk.
Seperti yang sudah ibu Sari perkiraan. Sejak mereka dibuang ke hutan, tidak ada apapun yang bisa mereka makan kecuali air embun yang coba ia dapatkan dari dedaunan. Itu pun sebagai penangkal lapar dan haus. Pandangan ibu Sari melanglang buana sampai ke ujung jalan. Samar-samar ia melihat deretan warung dimana terlihat beberapa kendaraan berhenti. Mungkin itu tempat peristirahatan. Siapa tau aku bisa meminta sedikit makanan untuk anakku, batinnya.
"Nak, tahan sebentar lagi ya. Nanti ibu belikan makanan," ucap ibu Sari.
"Benar, Bu!" Bulan berkata girang. Sesaat ia melupakan sakitnya.
Bu Sari mengangguk kemudian menggenggam tangan putrinya. Keduanya berjalan beberapa meter lagi untuk sampai di warung itu. Ketika jaraknya hampir dekat, penglihatan ibu Sari mulai rabun. Ia mengedip-ngedipkan matanya. Perlahan-lahan tenaganya mulai terkuras. Ya Allah, kumohon kuatkan aku demi anakku, batinnya. Tubuhnya mulai melemah tidak kuat berjalan. Hingga akhirnya tubuhnya ambruk tidak sadarkan diri di depan warung peristirahatan.
"Ibuuu !!!" Teriak Bulan. "Ibuuu ..., Bangun, Bu!" Bulan mengguncang-guncangkan tubuh ibunya. Ia mulai menangis.
Beberapa orang yang sedang beristirahat di dalam warung itu berlarian keluar ketika mendengar teriakkan Bulan.
"Ada apa, Dek?"
"I ... Ib ... Ibu ... Ibuku ..., " Ucapan Bulan terputus-putus oleh isak tangisnya.
Salah seorang mendekati Bulan dan melihat ibu Sari tergeletak tidak sadarkan diri di sampingnya.
"Hei, tolong ! Tolong ! Ada yang pingsan."
Beberapa laki-laki menghampiri lalu memapah tubuh ibu Sari untuk dibawa masuk ke dalam warung. Sedangkan salah seorang wanita paruh baya menggandeng Bulan mengikuti dari belakang.
****
PRANGG ...
Gelas terjatuh dari tangan pak Teguh yang gemetaran. Beberapa pecahannya melukai telapak kakinya. Ia meringis. Ibu. Bulan. Ada apa dengan kalian? batin pak Teguh. Untuk yang kesekian kalinya ia merasakan perasaan yang tidak nyaman pada istri dan anaknya. Sudah lewat beberapa hari mereka belum tiba di rumah. Dengan kondisinya yang lemah, ia memutuskan untuk pergi mencari mereka di kota Bandung. Kakinya yang terluka itu pun ia abaikan begitu saja tanpa diobati terlebih dulu.
Wajahnya pucat dihiasi keringat dingin yang membasahi tubuhnya ketika pak Teguh berjalan meninggalkan rumah. Suara batuknya yang keras terdengar menemani perjalanannya. Hampir setiap orang yang ia temui, ia tanyakan tentang keberadaan istri dan anaknya. Namun hasilnya nihil. Tidak seorang pun tahu. Langkah kakinya mulai terseok-seok karena kelelahan.
"Ibuuu .... Bulan .... kalian dimana?" rintih pak Teguh.
Tak lama, tubuhnya gontai dan terjatuh di trotoar bersamaan dengan batuknya yang tidak kunjung berhenti.
"Pak, bapak baik-baik aja?" Tanya pejalan kaki yang sedang lewat menghampirinya.
Pak Teguh memegang dadanya yang mendadak nyeri. Napasnya berubah sesak. Matanya berkunang-kunang, tidak jelas menangkap seseorang yang berbicara di hadapannya.
"Tooo ... loong ...," ujarnya dengan nada yang berat. Tidak lama ia pun tidak sadarkan diri.
"Tolong! Tolong! Ada yang pingsan!" Pejalan kaki yang berada di sampingnya berteriak meminta bantuan. Orang-orang yang berada di sekitar datang berkerumun menghampiri untuk membantu pak Teguh yang tidak sadarkan diri. Nampak salah seorang yang mengenal pak Teguh terkejut dengan kondisinya. Ia pun turut membantu dan membawanya ke rumah sakit.
****
Usai sadarkan diri, pemilik warung memberikan segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuh ibu Sari. Dengan penglihatan yang masih samar-samar, ia memandang sekeliling untuk mengingat dimana keberadaannya saat ini.
"Ibu," sahut Bulan menggenggam pakaian ibunya sembari menatap ibunya yang masih setengah sadar .
Selang beberapa menit, ia tersadar apa yang terjadi sebelum dirinya tidak sadarkan diri.
"Ini, Bu, dimakan dulu makanannya," tawar pemilik warung menyuguhkan makanan di hadapan ibu Sari.
"Nggak usah, Bu. Buat anak saya aja," tolak ibu Sari halus. Takut pemilik warung tersinggung.
"Anak ibu yang bernama Bulan sudah makan tadi waktu ibu pingsan," ucapnya menjelaskan sembari menatap Bulan. "Makannya banyak. Saya senang ngeliatnya."
"Tapi, saya nggak punya uang buat bayar makanannya, Bu."
"Nggak usah dipikirin. Saya ikhlas ngasihnya," balas pemilik warung tersenyum ramah.
Pemilik warung itu pun memulai percakapannya dengan ibu Sari. Menanyakan bagaimana bisa ia dan putrinya bisa sampai berada di kawasan hutan daerah Ciwidey. Apalagi di tengah kondisinya yang sedang hamil. Ibu Sari pun memulai ceritanya.
"Gimana kalau ibu numpang kendaraan saudara saya? Kebetulan dia mau ke kota membeli bahan-bahan makanan," tawar pemilik warung setelah ia mendengar cerita ibu Sari.
"Apa boleh, Bu?" tanya ibu Sari berharap.
Pemilik warung mengiyakan. Ia merasa iba melihat ibu Sari dan Bulan kesulitan mendapatkan tumpangan untuk kembali pulang ke rumahnya. Ibu Sari mengucap syukur dan berterimakasih pada pemilik warung yang telah banyak membantunya.
"Maaf saya udah banyak ngerepotin. Semoga Allah yang membalas semua kebaikan yang ibu kasih ke kami," doa ibu Sari sekalian berpamitan kepada pemilik warung.
Mereka menaiki mobil pick up yang digunakan untuk mengantar mereka kembali pulang menuju kota Bandung. Meski tidak langsung menuju ke daerah tempat keduanya tinggal, mereka bersyukur kepada pemilik mobil pick up. Angin segar menerpa wajah mereka selama perjalanan pulang selama sekian jam. Tidak terasa waktu menunjukkan malam hari ketika mereka sudah memasuki kawasan kota Bandung. Ibu Sari dan Bulan memutuskan untuk turun di salah satu pasar besar di kota Bandung.
*****
Dengan uang hasil memulung yang mereka dapatkan ketika mereka kembali di kota Bandung, kurang lebih perjalanan selama seminggu dengan menumpang angkutan kesana kemari, akhirnya keduanya tiba di tempat tinggal mereka. Kawasan Banjaran. Tempat yang dianggap kumuh dan tidak layak huni bagi sebagian orang. Dari kejauhan Bulan bisa melihat rumahnya yang terbuat dari papan sisa-sisa bangunan. Rumah permanen yang hampir sama dengan rumah-rumah lain disekitarnya. Yang berbeda adalah warna catnya yang berwarna biru pudar. Bulan berhambur berlari menuju ke dalam rumah.
"Ayaaahh ...!" seru Bulan riang, "Bulan pulaaangg ...." Bulan langsung memeluk ayahnya yang tertidur di tempat tidur beralaskan dipan.
"Assalamualaikum," salam ibu Sari menyusul dari belakang.
"Waalaikumsalam," balas pak Teguh yang bangun dari pembaringan.
"Nah, ini dia yang dicari-cari baru datang," sembur saudara ayah Bulan yang tiba-tiba muncul membawa air dan beberapa obat di tangannya.
"Uwak Rahmat!" Ucap ibu Sari terkejut mendapati kakak tertua suaminya ada di rumah mereka.
"Kamu sengaja mencampakkan suamimu yang sakit seperti ini?! Kalau nggak sanggup mengurusnya, bilang padaku. Biar kubawa dia pergi!" Ucapnya kesal penuh kemarahan. Ia menghampiri pak Teguh dan memberikan beberapa obat kepadanya.
"Bukan begitu, Uwak," sahut ibu Sari pada kakak suaminya, "saat kami ingin pulang dari memulung, tiba-tiba kami di ang ...."
"Cukup! Aku nggak mau dengar apapun alasanmu," potong kakak suaminya tanpa mendengarkan penjelasan ibu Sari.
"Gara-gara Teguh keluar mencarimu yang nggak pulang-pulang, penyakit asmanya kambuh. Mulai besok, aku akan merawatnya dan membawanya pulang ke Cirebon!" Ucap uwak Rahmat memutuskan keinginannya. Lalu ia pergi keluar tanpa berkata apa-apa.
Perasaan tidak nyaman tentang pak Teguh yang ibu Sari rasakan selama ia berpisah dengan suaminya ternyata benar. Ia mendekati suaminya untuk memeriksa kondisinya sepeninggalnya selama seminggu ini. Ia pun menceritakan penyebab ia dan Bulan tidak bisa pulang ke rumah. Sedangkan Bulan sudah tidur terlelap di samping ayahnya melingkarkan tangan di lengan ayahnya.
*****
Bulan tengah asyik memainkan bonekanya di pangkuan. Sedangkan ibunya menemani putrinya yang sedang duduk di sampingnya. Sesekali ia memandang putrinya. Sesekali pula ia memandang suami dan kakak suaminya yang tengah mengantri di loket pembelian tiket. Waktu menunjukkan tengah hari ketika mereka tiba di terminal bis kawasan kota Bandung. Seperti yang telah uwak Rahmat putuskan, pak Teguh mengikuti keinginan kakaknya itu. Ibu Sari dan Bulan pun turut serta meski sebenarnya mereka tidak begitu diharapkan untuk pergi bersama oleh uwaknya. Ibu pun terpaksa mengikuti karena ia juga khawatir dengan kondisi suaminya.
Perjalanan menuju Cirebon hanya menempuh jarak kira-kira tiga jam. Sekitar sore, mereka telah tiba di kota Cirebon. Kemudian melanjutkan perjalanan sebentar dengan angkutan kota. Tidak lama, akhirnya mereka telah sampai di rumah.
"Kenapa adikmu bapak bawa ke sini sih?" bisik ibu Inah, istri uwak Rahmat pada suaminya ketika mereka berada di ruangan yang berbeda dengan keluarga Bulan. "Bapak tau sendiri, kan, rumah kita sudah penuh dengan empat kepala keluarga yang lain."
"Mau bagaimana lagi, gara-gara istrinya pergi nggak tau kemana selama seminggu, adikku hampir mati di jalan mencari mereka gara-gara penyakit asmanya kumat. Untung bapak datang menengoknya." Jelas uwak Rahmat.
"Kenapa istrinya bapak ajak juga? Ibu nggak suka padanya. Coba liat penampilannya itu, seperti gembel. Apa kata tetangga kita nanti," ucapnya kesal.
Uwak Rahmat hanya menghela napas. Tidak menanggapi ucapan istrinya dan pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Tidak lama ibu Inah mengekori dari belakang kemudian ia melihat Bulan dan kedua orang tuanya yang mengistirahatkan diri di kursi tamu. Ia menatap sekilas dengan pandangan sinis lalu melengos melewati mereka.
*****
Uwak Rahmat menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar biaya pengobatan pak Teguh ketika berada di kasir rumah sakit. Bu Inah yang secara kebetulan berada di rumah sakit karena ada keperluan tidak sengaja memergoki suaminya. Ia menarik suaminya ke selasar rumah sakit ketika suaminya telah menerima nota pembayaran.
"Bapak ini gimana sih?! Uang itu, kan, untuk keperluan kita sehari-hari. Belum lagi untuk bayar sekolah anak-anak. Kenapa malah bayar pengobatan adikmu? Istrinya, kan, lagi kerja ngumpulin uang buat berobat suaminya, " teriak ibu Inah kesal atas sikap suaminya.
"Ibu ini bisa nggak sih nggak bikin ribut di rumah sakit!" bentak uwak Rahmat pada istrinya. "Bapak bosen liat ibu marah-marah terus menerus."
"Gimana ibu nggak marah, tiap bapak dapat uang, bapak selalu kasih setengah yang bapak dapat ke mereka. Kalau adikmu mau dapat uang, kerja apa gitu kek?! Jangan cuma nadahin tangan aja! Pemalas banget sih jadi orang," sembur ibu Inah .
"Astagfirullah .... Ibu ngomongnya kasar gitu sih?!" uwak Rahmat mengelus dada atas ucapan istrinya. "Ibu, kan, bisa liat keadaan adikku. Kalau ia mampu, bapak juga nggak bakalan ngasih uang ini, Bu. Uang ini cuma buat berobatnya adikku," ujar uwak Rahmat menjelaskan kepada istrinya.
"Baik!" ucapnya tegas sembari berkacak pinggang. "Ini uang terakhir yang bapak kasih ke mereka. Kalau sampai bapak ketahuan ibu ngasih uang lagi ke mereka, liat aja, bakal ibu ambil uangnya!" ancam ibu Inah. "Enak bener terima uang gitu aja. Uang yang kemaren-kemaren bapak kasih aja belum lunas mereka bayarin."
Ia melangkahkan kakinya dengan penuh amarah meninggalkan suaminya. Uwak Rahmat hanya menghela napas berat atas perilaku istrinya itu.
******
Bulan baru saja keluar dari kamar mandi ketika ia tidak sengaja melihat sepiring pisang goreng tergeletak di atas meja makan. Ia hampiri pisang goreng itu lalu ia ambil sebiji untuk dimakannya. Saat suapan pertamanya habis dan ingin mengambil pisang goreng yang kedua, tangannya digenggam oleh ibu Inah.
"Dasar maling kamu, ya! Siapa yang suruh kamu ambil pisang goreng ini, hah?!" Labraknya dengan amarahnya yang meledak seketika.
"Maa ... maa ... Maafin, Bulan, Bu," ucap Bulan terbata-bata. Bulir-bulir airmatanya mulai menetes dari balik kelopak matanya. Ia menangis sesenggukan.
Pak Teguh yang baru pulang berobat mendengar suara teriakan dari arah belakang rumah datang menghampiri. Dilihatnya ibu Inah dengan mata melotot menatap Bulan yang menangis.
"Ada apa ini, Bu?" tanya pak Teguh heran lalu merangkul putrinya.
"Kamu jadi orang tua bisa nggak ngajarin anakmu itu! Kecil-kecil udah berani nyolong, gimana kalau udah besar nanti." Ucap bu Inah ketika melihat ayah Bulan muncul.
"Bulan nggak ada niat nyuri, Yah," isaknya membela diri menatap wajah ayahnya.
Pak Teguh membelai rambut putrinya pelan untuk menenangkan.
"Mungkin putriku lapar atau coba menyicipi pisang goreng buatan ibu," jelas pak Teguh.
"Alaaahh .... nggak usah banyak alasan. Makanya, kamu jadi kepala keluarga kerja sana cari uang! Biar bisa ngasih makan anak istrimu. Jangan cumanya bisa minta, minta, dan minta aja!"
Hati pak Teguh merasa sakit teriris-iris ketika mendengar ucap istri uwak Rahmat. Ia merasa menjadi orang yang sudah menyusahkan keluarganya dengan keadaan yang ia derita. Mulutnya pun tidak mampu membalas perkataan yang telah istri uwak Rahmat lontarkan. Apa yang ia dengar, seolah itu adalah kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Dengan wajahnya yang kesal, bu Inah mengampil piring berisi pisang goreng di atas meja dan berlalu pergi dengan sebuah kalimat yang membuat hati pak Teguh mati rasa.
"Jangan tinggal disini kalau kamu nggak punya uang untuk berobat gara-gara penyakitmu itu! Menyusahkan orang lain saja! Bisa-bisa anakku yang masih bayi tertular juga karna penyakitmu itu."
Pak Teguh diam mematung tidak berdaya dengan tatapan menunduk.
*****
"Bu, besok tolong antarin bapak ke saung di sawah ya," pinta pak Teguh pada istrinya ketika waktu istirahat malam tiba.
"Bapak mau ngapain?" tanya ibu Sari bingung.
"Nggak ada apa-apa, Bu. Ibu anterin aja," balas suayahnya.
Esok paginya, bersama istri dan putrinya, pak Teguh menyusuri jalan setapak menuju sawah yang lokasinya tidak terlalu jauh beberapa meter dari tempat uwak Rahmat tinggal. Setibanya di saung, mereka menikmati pemandangan di sawah dengan beberapa petani yang mulai bekerja. Pandangan pak Teguh menerawang jauh. Tidak ada yang tahu apa yang saat itu dia pikirkan. Sesekali ia menatap istri dan anaknya. Dan di saat yang bersamaan, istrinya memergoki dirinya. Mereka melempar senyum sejenak. Kemudian istrinya mengalihkan pandangannya kembali kepada Bulan.
"Ayo, Pak, kita pulang," ajak ibu Sari, istrinya ketika sore menjelang.
"Kalian aja yang pulang. Biar bapak di sini dulu sebentar lagi," tolak pak Teguh.
"Ibu perhatikan dari tadi bapak diam merenung sendiri. Ada apa, Pak?" ibu Sari bertanya dan duduk di samping suaminya.
"Bapak nggak mau nularin kalian," ucapnya tiba-tiba. "Kalau kalian sama bapak terus, yang ada nanti kalian bisa sakit gara-gara ketularan penyakit bapak," terang pak Teguh.
"Itu nggak mungkin, Pak. Ibu pas...."
"Jangan ngelawan omongan bapak, Bu!" Potong pak Teguh tegas. "Bapak nggak mau terjadi hal yang membahayakan pada kehamilan ibu juga Bulan. Trus, nanti bayi kita juga jadi terkena penyakit setelah dia lahir kalau bapak terus berdekatan dengannya. Yang ada nambah biaya lagi, Bu, kalau sampai sakit. Mau dapat uang dari mana kalau terjadi seperti itu," jelasnya meyakinkan istrinya agar mengerti. "Kalian berdua pergilah!" Usir pak Teguh.
Ibu Sari terdiam tidak mampu melawan ucapan suaminya. Ia beranjak pergi setelah mendengarkan perintah suaminya. Mengajak Bulan kembali pulang ke rumah uwak Rahmat meninggalkan suaminya sendirian di saung.
"Maafkan bapak, Bu. Bapak terpaksa melakukan ini demi kalian," ratapnya memandang keluarga yang ia sayangi pergi menjauh. Ia masih merasakan sakit hati ketika ia mendengar ucapan dari istri kakaknya tempo hari. Kalimat yang secara tidak langsung mengusir dirinya. Setidaknya dengan ketidak beradaan dirinya di rumah, dapat membuat perasaan istri kakaknya tidak was-was dengan penyakit yang ia derita.
Usai magrib, pak Teguh memutuskan mulai membangun saung di pinggiran sawah tanpa penerangan. Ia mengumpulkan kayu-kayu dan jerami yang tidak terpakai. Napasnya naik turun tidak teratur karena kelelahan. Hari demi hari ia menyelesaikan saung sendirian. Ia pun jarang pulang ke rumah dan memilih hidup terpisah dari istri dan putrinya. Dadanya kembali merasakan nyeri akibat penyakit yang ia derita. Sudah lama ia tidak meminum obat untuk meredakan sakit asmanya.
Di tengah pekerjaannya yang hampir selesai membangun saung, ia mengalami kecelakaan. Tulang betisnya patah sehingga membuat tulangnya menembus kulit dan menimbulkan robekan pada kulitnya. Ia mengerang kesakitan sembari memegang kakinya.
****
Dengan bantuan bidan, ibu Sari sedang berjuang melakukan proses persalinan tanpa ditemani suaminya. Bulan menunggu ibunya di depan pintu kamar rumah dengan mengatupkan kedua tangannya sembari berdoa demi keselamatan ibu dan adik bayinya.
Selang beberapa jam, suara isak tangis bayi terdengar. Bidan keluar dari ruangan dan menghampiri Bulan. "Bulan, kamu mau ketemu ibu dan adikmu?"
Bulan mengangguk. Matanya berair karena terharu mendengar ia memiliki seorang adik. Beberapa tetangga berkunjung menjenguk keadaan ibu Sari yang terbaring lemah sehari setelah persalinan.
"Kasian ya, Bu Sari, melahirkan nggak ditemani suaminya. Emang kemana suaminya?" ucap seorang ibu membuka obrolan.
"Lho, emang ibu-ibu pada nggak tau ya, suaminya, kan, diusir sama kakak iparnya. Parahnya lagi, ia ngalamin kecelakaan waktu bangun saung di sawah. Cuma minta diobati sama bubuk kopi," jelas ibu yang seorang lagi.
"Kenapa nggak dibawa berobat aja ke rumah sakit?"
"Ibu kayak nggak tau aja. Buat makan untuk hidup aja sulit, apalagi berobat. Waktu mau dibawa ke rumah sakit aja, suaminya nggak mau karna nggak punya biaya."
"Kasian banget ya, hidup suami istri ini," desah ibu yang lain.
Ibu Sari samar-samar mendengarkan pembicaraan ibu-ibu yang masih berada di teras depan dari balik kamarnya. Ia terkejut mengetahui kondisi suaminya yang terluka parah. Kondisinya yang masih lemah membuat ia tidak dapat mengunjungi suaminya. Setelah menunggu selama beberapa hari, ibu dan Bulan akhirnya memutuskan kembali ke jalanan untuk memulung. Di tengah kondisinya yang manis nifas, ia memaksakan dirinya untuk bekerja membantu suaminya. Bayinya terpaksa ia tinggal sementara waktu dan dititipkan dikarenakan usianya yang masih rawan untuk diajak pergi. Dengan menahan rasa nyeri, ia berjalan tertatih-tatih dibantu oleh Bulan yang menuntunnya.
*****
Dengan kondisinya yang sekarat, Pak Teguh berjalan dengan bantuan sebatang kayu untuk memapahnya saat ia ingin menjenguk bayinya yang baru lahir. Ia mendengar berita gembira itu saat seorang tetangganya yang berpapasan dengannya di sawah. Rasa bahagia dan terharu nampak jelas di raut wajahnya. Siang yang terik membuat napasnya semakin lama semakin berat saat ia berjalan. Pakaiannya basah akibat keringat yang terus mengucur dari tubuhnya yang lemah.
Brukk ...
Pak Teguh tiba-tiba pingsan bersamaan dengan sosok Bu Haji yang muncul berpapasan dari arah yang berlawanan. Bu Haji menghampiri dan berteriak meminta pertolongan. Beberapa orang datang berkerumun dan pak Teguh saat itu juga dilarikan menuju rumah sakit.
Ibu Sari dan Bulan yang baru pulang memulung mendapatkan kabar jika Pak Teguh, suaminya, dibawa ke rumah sakit. Mereka berdua pun menyusul dan diantar oleh seseorang. Perasaan khawatir merayapi perasaan Bu Sari saat ia dan putrinya tiba menyelusuri lorong rumah sakit. Langkah mereka memburu tidak sabar. Saat ia meminta informasi di bagian resepsionis, Bu Haji menghampiri dan memeluk ibu Sari.
"Bagaimana keadaan suami saya, Bu Haji?" Tanya ibu Sari kalut yang jelas tergambar di wajahnya. Wajahnya pucat pasi. Air matanya berhambur keluar tidak ada henti-hentinya.
"Tim dokter saat ini sedang memeriksa keadaan suami ibu. Berdoa saja, semoga tidak terjadi hal yang buruk menimpanya," balas bu Haji menenangkan ibu Sari. "Jika ibu panik seperti ini, kasian Bulan."
Bu Haji memandangi Bulan yang menangis di samping ibunya. Ibunya pun menarik Bulan dalam pelukannya. Setelah kondisinya membaik dan kembali tenang, mereka menunggu di depan ruang operasi. Setelah sekian jam menunggu, dokter menemui mereka dan mengatakan bahwa pak Teguh berhasil menjalani operasi. Kondisinya baik-baik saja dan dalam tahap siuman. Mereka memgucap syukur ketik mendengar kabar bahagia itu. Tidak lama, pak Teguh pun dipindahkan ke ruang rawat inap bersama dengan pasien yang lain.
Seminggu kemudian...
"Assalamualaikum," salam Bu Haji.
"Waalaikumsalam," balas ayah dan ibu Bulan menyahut bersamaan. "Mari masuk, Bu Haji."
"Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Bu Haji menanyakan kondisi pak Teguh pada bu Sari.
"Alhamdulillah, sudah mulai membaik Bu Haji. Semua berkat, Bu Haji. Kalau tidak ada Bu Haji mungkin ayah Bulan sekarang sudah ...."
"Jangan bicara yang tidak-tidak," potong Bu Haji, "yang penting sekarang kalian semua baik-baik saja. Dimana Bulan? Kok tidak kelihatan?" Tanya Bu Haji yang mencari sosok Bulan.
"Dia tadi disini bersama kami saat dokter memeriksa suami saya. Lalu dia mengikuti dokter. Katanya penasaran. Padahal saya sudah melarangnya dan bilang jangan ganggu dokter yang bekerja. Tapi dia tidak menurut," jelas ibu Bulan.
Bu Haji tersenyum. "Sepertinya rasa ingin tahunya besar. Apa Bulan masih sekolah?"
"Bulan pernah sekolah, Bu Haji. Tapi karena kehidupan kami yang serba pas-pasan, Bulan sekarang tidak bersekolah lagi," jelas pak Teguh yang berbaring di tempat tidur.
"Ada tempat dimana Bulan bisa bersekolah lagi," ucap Bu Haji tersenyum penuh arti. "Kalau kalian tidak keberatan, saya bisa kasih tau tempatnya."
Ayah dan ibu Bulan saling melempar pandangan. Kemudian keduanya meminta penjelasan untuk mengetahui maksud dari perkataan Bu Haji.
*****
Kondisi pak Teguh sekarang berangsur-anp[gsur mulai membaik. Sedangkan ibu Sari fokus membesarkan anaknya yang masih bayi. Bulan tidak lagi pergi memulung bersama dengan ibunya seperti sebelum-sebelumnya. Saat ini, Bulan telah bersekolah dan resmi menjadi murid di Kandang Juang. Sebuah tempat dimana anak-anak yang sebelumnya tidak bisa mengenyam bangku pendidikan akhirnya bisa mengenyam pendidikan di tempat itu. Tempat dimana harapan anak-anak bisa tercapai sesuai dengan keinginan mereka termasuk Bulan salah satunya.
Saat Bu Haji mengenalkan Kandang Juang pada keluarga Bulan, Bulan bisa melanjutkan sekolahnya dan menggapai impiannya. Kini, Bulan tengah duduk di bangku satu SMP. Usianya saat ini berumur enam belas tahun. Perawakannya bongsor dengan warna kulit sawo matang yang legam tapi terlihat cantik dan manis. Akhir penderitaannya kini telah berganti menjadi awal kebahagiaan yang baru. Jejak langkah masa depannya yang selama ini hanya berada dalam angan-angannya, kini dapat ia raih perlahan-lahan tapi pasti.
SELESAI