SEBUNGKUS CINTA UNTUK DEWI Penulis: Esti Widiyawati

Tangan kumuh gadis kecil itu tak sungkan lagi mengoyak-ngoyak tong sampah yang tercampur dengan sampah-sampah lainnya. Botol sampo penyok, dan kering, pampers bekas, gulungan plastik dan puntung roko berserakan berjejal dengan nasi bungkus yang tak berkaret dan tengah menjadi incara tangan mungil itu. Setelah mendapatkannya gadis kecil yang kucel dan mukanya belepotan ingus kering itu segera menyambarnya, namun sebuah tangan menahannya.

"Ehh... jangan sayang... itu kan sampah. Nanti perut kamu sakit". ucap seorang ibu paruh baya yang kemudian menariknya menjauhi tong sampah tu, tapi Dewi yang begitu kaget lantas menepis tangan ibu itu.

"Ughh... Dewi laper! Awas... dewi mau makan."

Gadis itu malah lari kembali mengambil bungtalan nasi bekas itu. Membuat miris Bu Ratih yang kemduian mengejar dan menghalangi Dewi mengambil bungkusan itu.

"Tidak, nak. Makanan itu bisa jadi penyakit. Kalau kamu lapar ayo ikut ibu. Nanti ibu belikan makanan. Ayoo...."

"Nggak! Nggak mau! Dewi mau makan itu."

"Jangan, Nak... jangan...,"

"Lepasin! Dewi lapeer.... heuheuheu...,"

Melihat gadis kecil itu berontak dan mulai menangis, akhirnya Bu Ratih segera menggeledah isi tasnya, untungnya masih ada sebatang cokelat yang kemduian dia sodorkan di hadapan Dewi.

"Jangaannn... daripada kamu makan makanan itu, lebih baik makan i... ini saja! Kamu mau? Ambil! Ayo ambil...,"

Dewi tertegun sejenak, dengan wajah takut dan penuh curiga kahirnya dia merebut cokelat itu lalu dengan lahap memakannya sambil menyembunyikan wajahnya dengan posisi membelakangi Bu Ratih. Bu Ratih tampak iba melihtanya, selintas air matanya menets memehami gelagat bocah jalanan usia 4 tahun itu. pelan-pelan ia mendekati Dewi dan merayunya dengan lembut.

"Nak, cokelat itu mungkin nggak akan mengenyangkan kamu. Kalau kamu masih lapar ibu antar pulang, yuk!"

Dewi berhenti mengunyah, "Pulang? Pulang itu apa?"

"Hah? mm... ya... pulang ke rumah?"

"Rumah yang ada atapnya?"

Bu Ratih melongo, di tatapnya gadis itu dengan sisa perasaan yang aneh, tapi sedalam apapun tatapan Bu Ratih, hanya kehampaan dan kepolosan saja yang ia dapatkan dalam pancaran matanya.

"Kamu... tinggal dimana?"

Sambil menjilati bunkus cokelat, Dewi menunjuk gerobak sampahnya dengan ketakutan. Bu Ratih kaget.

"Kamu tinggal di gerobak sampah? Si... siapa yang bawa kamu kesini? Bapak kamu? Ibu Kamu?"

Gadis itu hanya mengangguk.

"Tapi mereka udah pergi. Dewi sendirian. Dewi disuruh sembunyi dalma gerobak waktu om trantib datang, mereka pergi dan nggak datang-datang."

"Hah? Siapa nama orangtua kamu? Biar ibu lapor polisi dan cari mereka lagi!"

Dewi terdiam, menunduk bingung. Dengan ketakutan akhirnya dia menjawab, "Bu Masri, Bu Intan, Bu wati, Bu Ningrum, Pak Adit, Bang Frans. Bang bonet... Dewi lupa... mereka banyak sekali."

Kali ini Bu Ratih tercengang. Tiba-tiba Bu ratih memnggandeng tangannya.

"Dewi ikut ibu sekarang juga, ya! ayuk...!"

"Tunggu! Kita mau ngemis dimana?"

"Hah? Ngemis?"

Bu Ratna seolah tak sanggup berkata lagi. Seakan tak ada lagi kata-kata yang tepat untuk ia jelaskan kepada anak itu. Air matanya kembali meguap dan jauh bertepatan dengan langkah-langkah kakinya menapai trotoar jalanan penuh debu, menuju angkot yang ngetem di jalanan itu.

*****

"Jadi, kesimpulan saya, anak itu pasti korban penjualan anak, Pak. Dia bilang ke saya tentang banyaknya nama yang dia sebut sebagai orang tuanya, dan yang bikin saya kaget. Saat saya amau ajak kesini, dia mengira saya akan mengajaknya mengemis." Terag bu Ratna kepada polisi yang sedang mengetik laporannya. Polisi itu pun sempat tercengan, di tengoknya lagi Dewi yang sengaja menggelosor di lantai walau sudah diminta makan di atas meja. Dan yang bikin kaget, Dewi meletakan piring pemberian Pak Polisi, lalu asyik menyantap nasi bungkus yang dia geletakan di lantai. Makannya ngebut, membuat ia belepotan lauk. Bu ratna bangun sebentar menghampirinya.

"Dewi, makannya kok begitu. Dipiringin dulu sayang biar nggak berantakan."

"Aaa... nggak mauuu!" Dewi memunggungi Bu Ratna.

"Ya udah kalo gitu duduk di meja aja!"

"Nggak mau...,"

"Tapi nggak sopan, sayang. Ayo! Sini ibu beresin makananya.'

Tiba-tiba Dewi menodorong Bu Ratna dengan bengis, dia bungkus kembali makanannya lalai berlari ke sudut kantor polisi dnegan wajah ketakutan. Pak Polisi mendekat.

"Sabar, bu... sabar... sepertinya anak ini mengalami hal yang mempengaruhi mental dan cara ia bersikap."

Bu Ratih melongo, dengan sedih ia kemudian meohon kepada Polisi itu. " Kalau gitu, harus ada orang khusus yang menanganinya. Panti sosial biasa belum tentu sesuai dengan anak ini."

"Benar, bu. Tapi di Cirebon ini cukup sulit mencari panti sosial khusus. Anak ini tidak gila, jadi tidak mungkin juga kami menitipkan ia ke panti rehabilitasi."

"Ya Allah, andai saja saya orang mampu dan sedikit anak, mungkin saya mau menampungnya tinggal di rumah saya. Pak Polisi, mohon selamatkan dia, ya?"

"Insya Allah, bu. Terimakasih juga ibu sudah berjenan membawa Dewi kesini"

*****

Jalan By Pass lumayan lengan karena jatuh di hari minggu. Ustad Ujang setenagh mengantuk duduk di sebelah kursi depan. Maklumlah, semalam tadi kedatangan donatur Yayasan yang harus ia sambut meski sangat lelah usai meleksanakan ibadah rutin bersama anak – anak santri.

"Alhamdulilah, sudah sampai Polsek, Bi" ucap Kang Dedy, supir Yayasan yang telah setia mengabdi sejak berdirinya Yayasan itu. Dulu saat Yayasan tersebut belum mendirikan sekolah, biasaya Kang Dedy-lah yang mengantar jemput anak-anak santri Ustad Ujang yang bersekolah di luar pondok dengan menggunakan mobil bak.

Avanza itu meliuk ke halaman polsek denganlincah. Ustad Ujang mengucek mata, berusaha menyembunyikan wajah lelahnya dengan mengusap-usapkan wajahnya menggunakan sorban yang terlilit di lehernya.

"Alhamdulilaaahh, Ayo kita turun!"

"Yakin Abi mau turun, mata Abi masih merah loh."

"Biarin, ah... nanti kalo ada keran numpang cuci muka aja. Ayok!"

Langkah kakinya berusaha ditegapkan menuju lorong kantor. Berdentum-dentum gema menyambut mereka di setiap gerak langkahnya. Namun dentuman itu menjadi lebih heboh saat beradu suara teriakan Dewi yang kini sedang ditolong oleh beberapa aparat. Dewi tidka sedang mengamuk karena makanannya diambil. Tapi ia sedang Histeris dalam kondisi tidur. Rupnya ia tengah bermimpi buruk.

"Ampun, baangg... Ampuun...!"

"Dewi, Bangun! Dewii... dewiii...,'

Seketika Ustad Ujang segera menghampiri kehebohan itu. Dampak Dewi masih meronta minta ampun.

"Ampun, Bang... uangnya Dewi pake beli jajaaan... ampuunn... Dewi janji cari lagi yang banyak, baaang... Ampuun, Sakiiit..."

Mata merah Ustad Ujang kali ini bukan lagi karena kurang tidur, tapi karena ia tak lagi sanggup menahan kubangan air mata yang hampir meledak melihat reaksi Dewi yang belum sadar. Gadis itu neglindur smabil pula menangis. Ustad Ujang segera mendekat dan mengelus rambut kasar Dewi yang entah berapa lama tak sempat mandi. Dengan gemetar ia membangunkan gadis itu, sedikit hati-hati dan berusaha melenyapkan suaranya yang parau setengah mati.

"Nak, bangun! Abi sudah datang!"

Hening!.

Seperti tersihir, gadis itu perlahan mebuka matanya yang kering air mata. Mata bulat nan polos kini berhadapan langusng dengan wajah Pak Ustad yang sudah terlanjur banjir air mata. Di pintu sana, Kang Deddy sama sedihnya.

Dengan gemetar gadis itu menjawabnya. "A... Abi?!

"Iya, ini abi-mu! Abi kesini mau jemput Dewi pulang. Ya, kan Pak Polisi.

Kerumunan polisi yang gagah itu serentak mengangguk. Tampang tegas dan sangar kikis habis oleh air mata. Dan tanpa basa basi PakUstad segera membopong Dewi ke dalam pelukannya, tak perduli tubuh Dewi bau bacin karena borok basah yang menempel di tubuhnya. Tapi tak sedikit pun rasa jijik tersirat di wajah Pak Ustad. Situasi dan kondisi dewi telah berhasil meluluhkan jati diri semua orang yang ada di situ. Pangkat dan gelar seakan tunduk pada tangisan. Kang Deddy yang ikutan mewek pun segera mengejar Pak Ustad saat lelaki tinggi berkulit hitan manis itu membawa Dewi pergi keluar ruangan.

"Abi! Biar saya aja yang gendong Dewi."

"Nggak usah! Kamu nyupir aja!"

*****

Pak Ustad tiba di pondok besama Dewi. Beberapa anak yang melihat Dewi memandangi Dewi penuh tanya.

"Abi..., ini siapa?" Tanya salah satu anak asuh Pak Ustad penasaran menunjuk Dewi.

"Ini Dewi. Mulai sekarang akan tinggal disini dan menjadi keluarga baru kita." Pak ustad menjelaskan. Anak-anak saling berbisik membuat Dewi semakin canggung. Apalagi ia merasa dirinya lebih dekil dari yang lain. Dewi mundur-mundur sembunyi di belakang pak Ustad. Tiba-tiba Umi mendekatinya.

"Eh, Dewi kenapa? Mereka itu akan jadi saudara Dewi setelah tinggal disini nanti."

"De... dewi malu."

"Biar Dewi nggak malu lagi, Dewi mandi dulu, yah? Ayo, Umi mandiin!"

Sudah berapa belas anak gembel dengan bau tubuh yang menyengat telah dimandikan oleh tangan Umi. Kondisi memprihatinkan yang Dewi alami, bukan suatu hal yang mesti ia sungkankan. Umi tampak telaten memandikan Dewi. Meski ia agak kewalahan memandikannya, karena Dewi tak mau pakai sampo dan sabun. Apalagi diminta gosok gigi. Umi harus membujuk Dewi pelan-pelan.

"Bi, kayaknya rambut Dewi harus dipotong deh." Ujar Umi yang sedang menyisir rambut panjang sebahu Dewi yang kusut setelah selesai mandi.

"Sok Umi aja yang potong."

"Kok Umi sih? Abi aja. Umi kan nggak bisa potong rambut, nanti gimana kalau jadinya jelek."

"Umi, Abi mau ketemu wali santri. Umi tanganin dewi dulu ya?" Ucapnya sembari berkemas hendak ke kantor Yayasan yang masih satu area dengan tempat tinggalnya.

"Ya udah. Umi coba ya, bi"

Umi pun mengalah, dia tau banyak hal yang harus dikerjakan suaminya. Meski ia masih tampak begitu kikuk memotong rambut Dewi karena biasanya tugas memotong rambut basa dilakukan Ustad ujang. Namun kali ini Umi seolah bertekad harus bisa menaklukan tugasnya. Namun saat ia membelai rambut Dewi yang kusut dan sulit disisir, segerombol kutu rambut berloncatan, sebagian menempel di bajunya. Umi mau teriak tapi ia langsung membekap mulutnya. Sejorok dan semenjijikannya anak-anak yang dia tangani, mereka tak boleh tau kalau Umi sebenarnya syok dengan keadaan itu.

"U... umi kenapa? Umi takut sama kutu, ya?"

"Ooh... nggaaakk... kutu kan kecil, masa kita takut sama yang lebih kecil. Ayo sini, rambutnya dipotong lagi. Nanti habis dipotong rambutnya, kita usir kutunya supaya nggak gigitin kepala Dewi. Setuju?!"

Dan untuk yang pertama kalinya Dewi tersenyum setelah sejak tadi beberapa ritual membuatnya merasa tertekan. Lega sudah hati Umi melihatnya. Apalagi saat ia melihat Dewi mulai senang menatapi dirinya yang baru, dia memutar-mutar tubuhnya di depan kaca jendela. Namun tiba-tiba seorang gadis lain menarik baju Dewi dengan kasar.

"Inikan baju aku. Balikin! Balikiiinn...." Nina menunjuk baju muslim kuning yang dipakai Dewi. Seketika Umi langsung mendekatinya.

"Ooh, iya. Maaf ya Nina, Umi tadi lupa bilang. Umi yang pinjemin baju kamu buat Dewi. Dewi kan baru dateng, dia gak punya baju. Nanti kalo Dewi sudah punya baju, baju Nina Umi balikin lagi, ya..."

Nina masih tak rela bajunya dipakai. Meski begitu ia hanya mengangguk pasrah pada Umi lalu ngeloyor pergi dnegan muka ditekuk. Nina anak berusia lima tahunan berbadan bongsor tak beda jauh dengan Dewi yang sekitar Enam tahun usianya. Anak-anak di pondok rata-rata berusia sepuluh tahun ke atas. Jadi cuma baju Nina yang pas untuk Dewi.

***

Usai mengantarkan Wali Santri pamitan. Pak ustad nggak sengaja memandang ke arah gerombolan anak-anak ke luar jendela. Ada Dewi di antara mereka yang kini seolah larut dalam canda tawa bersama teman-temannya. Riuh tawa itu seperti menghapus jejak kelam di wajah Dewi. Anak itu tampak bermain riang bersama dengan teman-temannya. Bajunya lebih bersih lengkap dengaan kerudung lucu. Meskipun boroknya masih banyak, tapi Dewi yang sudah dimandikan ini terlihat lebih bersih dan tak bau lagi. Umi juga membedaki wajahnya yang dulu penuh ingus kering, dan setiap 3 kali sehari Umi meminumkan antibiotik dan obat puskesmas untuk menyembuhkan korengnya. Bukan CTM atau sejenis obat tidur yang menurut Dewi sering diminumkan atau dicampurkan ke botol susu oleh ibu-ibu yang sering membawanya mengemis di pinggir jalan agar seharian ia tertidur pulas. Seperti adegan sinetron yang tengah ditonton oleh Pak Ustad di ruangannya.

Tampak seorang wanita kumal dalam televisi itu setengah judes mengajak seorang bai mungil yang kemudian ia gendonguntuk dibawa meminta-minta di lampu merah.Wanita itu sedang mencekoki obat gerusan sampai bayinya tertidur pulas dalam gendongan. Di seberang lapangan anak-anak kecil bermain, berlarian kesana kemari. Tapi si kecil itu malah pulas, dan terbangun untuk makan. Tiba-tiba laki-laki gendut galak yang bernama Wawan menagih sejumlah uang wanita itu.

"Mana setorannya!"

"Baru juga mangkal, bang."

"Pantesan setoran lo kurang, jam segini lo baru mangkal! Balikin bayi gue! Lo mending sewa bayi ke tempat lain aja. Balikiiinn!"

Adegan rebutan bayi itu tentu saja membangunkan tidur sang bayi, tapi kedua orang dalam adegan itu tak memperdulikan bayinya. Mereka heboh membela kepentingannya sendiri-sendiri.

Klik!

Pak Ustad sengaja mamtikan TV itu ndengan remote di tangannya. Parasnya marah benar atas skenario mengerikan di TV tadi. refleks, menatap Dewi dari kejauhan dengan miris.

"Ya Allah... anak sekecil itu sudah merasakan perihnya hidup yang luar biasa. Mampukan tangan ini untuk membimbingnya menuju masa depannya."

*****

Kumandang adzan subuh memaksa sisa kantuk yang bergelayut di kelopak mata tiap-tiap santri. Sekalipun masih ada yang ingin bertahan dengan mimpinya, anak-anak itu tak kuasa melawan hardikan para sutad dan ustadzah yang memaksanya segera berkemas shalat berjamaah di mushala. Hanya dewi yang tak kunjung bangun. Ustadzah Ainun yang mau menghardinya ditahan Umi.

"Biar saya yang membangunkan, Dewi. Dia kan belum biasa dengan aturan sini"

"Baik Umi."

Dengan lembut Umi membisiki Dewi bangun. Tapi gadis itu seakan mengangap semua mimpi miliknya. Dia belum paham Adzan itu untuk apa, dan kenapa harus shalat berzamaah, maka ketika Umi memaksa dan nekat menggendongnya turun dari kamar asrama Dewi mengamuk taida terkira. Beberapa Ustadzah yang merayunya seolah tak ada yang mempan sehingga ketika Dewi suruh berwudlu, ia masih saja sesenggukan. Bukan karena ia malas dan merasa tertekan, tapi Dewi bingung mau apa dan bagaiman. Sebab dia sama sekali tak mengerti apa dan bagaimana cara berwudlu itu.

Kehebohan pun berlangsung saat semua santri diajak sarapan pagi. Seperti biasa semua santri mendapatkan jatah makan di piringnya masing-masing. Tapi Dewi? Dia menolak piring ataupun kotak makannya. Dengan gusar ia mencari-cari sesuatu di tong sampah. Ustadzah Ainun menyambanginya.

"Dewi ngapain? Kok nasinya nggak dimakan? "

"Iya, Bu Ustad. Nanti dewi makan." Kemudian ia kembali sibuk mengorek –ngorek sampah sampai mendapatkan sesuatu. KORAN BEKAS.

Ustadzah Ainun masih heran dengan apa yang akan dilakukan Dewi. Begitu juga dengan Abi dan Umi yang turut makan bersama disitu. Dan jawaban keheranan mereka berganti dengan rasa syok laur biasa saat Dewi kemudian membentangkan koran itu di pinggir lapangan asrama lalu menumpahkan nasi kotak miliknya bersebalahan dengan tong sampah. Dia makan dengan lahap.

Abi dan Umi refleks mendekatinya, dengan gusar berusaha menjauhkan kertas koran berisi Nasi sarapan pagi. Dan diluar dugaan Dewi tak terima.

"Dewi! Jangannn!" teriak Umi dengan panik.

"Aaah... aaah... itu makanan Dewi, jangan diambiiil...."

"Dewi kalau maua makan pake piring, sayang... makannya bareng sama temen-temen Dewi. Ayok!"

Dewi berontak dan berusaha mengambil bungkusan kertas koran yang disisihkan ke dekat tong sampah. "Nggak mau... nggak mauuu... nggak mauuu... Dewi mau makan disitu...."

"Kalau makan di lantai, sama aja meong dong, sayang... " Ungkap Umi dengan mata berkaca-kaca sambil berusaha menahan hentakan tubuh Dewi yang terus berontak. Ustadzah Ainun berserta tukang masak dan lainnya akhirnya turun tangan membantu Umi membawa Dewi menjauhi tong sampah. Hanya Pak Ustad yang berdiri di tempat itu dengan sangat syok. Lolong tangisan Dewi yang menginginkan bungkusan koran itu tergambar di pelupuk matanya saat Dewi berjuang di luaran sana dalam kondisi lapar mengharapkan makanan sampah yang mungkin diperebutkan dengan anak – anak jalanan lainnya.

"Tuhan! Bersyukur hamba tak pernah mengalami seperti yang bocah itu alami sepanjang hidup hamba. Bersyukur pula hamba mendapatkan Dewi dan dapat mengasuhnya sehingga hamba dapat berkaca bahwa sekecil apapun kesusahan yang hamba alami, ternyata hamba masih cukup beruntung dari apa yang bocah itu lalui. Hamba janji akan berikan lebih dari sebungkus cinta dan kasih hamba kepadanya. " Suara hati yang memenuhi rongga dada Ustadz Ujang seakan kian membuncah saat menatap air mata bocah itu dalam hentakan sekaratnya.

"Abi janji, akan menjadi Abimu. Benar-benar seorang Abimu, Dewi"

SELESAI