Di saat Rafka menunggu jawaban Hanin, tidak jauh dari tempat itu Hasta berdiri tegak dengan tatapan tak berkedip. Kedua matanya terlihat sayu setelah cukup lama melihat Hanin dan Rafka yang membicarakan masalah hati mereka.
Tidak ingin mendengar jawaban Hanin, Hasta meninggalkan tempat itu dengan tubuh yang seolah-olah melayang tanpa bisa ia rasakan.
Jonathan yang menunggu di mobil tampak terkejut melihat Hasta yang datang dengan langkah terseok-seok.
"Tuan Hasta!!" Panggil Jonathan berlari ke arah Hasta dan menangkap tubuhnya yang hampir terjatuh.
"Bawa aku pergi dari sini Jo, sepertinya dadaku sakit lagi," ucap Hasta dengan perasaan benar-benar sakit.
"Tapi Tuan Hasta, apa anda sudah bertemu dengan Hanin?" Tanya Jonathan sambil memapah Hasta ke dalam mobil, tidak tahu apa yang terjadi pada Hasta.
"Aku belum bertemu Hanin, Jo. Aku sudah mau masuk gedung, tapi dadaku terasa sakit. Aku tidak ingin Hanin cemas atau marah padaku karena aku tidak mendengar nasehatnya," ucap Hasta dengan suara parau tidak menceritakan apa yang sudah di lihatnya pada Jonathan.
Mendengar penjelasan Hasta, Jonathan percaya saja karena memang hal itu yang ia tahu.
"Tapi Tuan Hasta, sebaiknya anda menceritakan pada Hanin kalau anda hanya ingin memberi kejutan saja," ucap Jonathan tidak ingin Hanin salah paham.
"Tidak perlu Jo, nanti malah Hanin sedih kalau tahu aku sakit lagi. Aku minta padamu jangan menceritakan hal ini pada Hanin. Kalau Hanin tahu, pasti tidak akan memaafkan kamu juga," ucap Hasta berharap Jonathan tidak akan bercerita apa-apa pada Hanin.
"Baiklah Tuan Hasta, aku tidak menceritakan apapun pada Hanin. Sekarang kita pulang atau ke rumah sakit? Biar Rafka memeriksa anda," ucap Jonathan dengan cemas.
"Tidak Jo, aku sudah baik-baik saja. Sebaiknya kita kembali ke perusahaan saja. Aku yakin, pulang dari sini Hanin pasti pergi ke perusahaan untuk menjemputku," ucap Hasta tidak ingin bertemu dengan Hanin atau Rafka dulu sebelum hatinya tenang.
"Baiklah Tuan, kita ke perusahaan sekarang," ucap Jonathan segera menjalankan mobilnya kembali ke perusahaan.
Dalam perjalanan Hasta memejamkan matanya dengan salah satu menekan dadanya yang terasa sangat sakit. Apa yang telah di lihat dan di dengarnya benar-benar membuat hatinya terluka dan terpuruk.
"Apa yang aku rasakan selama ini ternyata benar, Rafka masih sangat mencintai Hanin. Dan Hanin? Apa masih juga mencintai Rafka? Kalau dia sudah tidak mencintainya kenapa dia sangat cemas dengan keadaan Rafka?" Ucap Hasta dalam hati dengan perasaan yang tidak bisa ia kendalikan lagi dan itu sangat membuat dadanya semakin terasa sakit dan mulai kesulitan bernapas.
"Tuan Hasta? Apa anda baik-baik saja? Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit Tuan," ucap Jonathan semakin cemas melihat Hasta yang kesakitan.
"Aku sudah tidak apa-apa Jo, sebentar lagi juga akan hilang sendiri," jawab Hasta berusaha tersenyum dan menekan rasa sakitnya.
Tidak ingin terjadi sesuatu pada Hasta di jalan, Jonathan mempercepat mobilnya agar segera sampai di perusahaan.
Setelah sampai di perusahaan, Hasta membuka matanya dan meminta Jonathan untuk membawanya ke kurang kerjanya.
"Jo, sebaiknya kamu pulang saja. Aku mau menunggu Hanin menjemputku. Dan kamu jangan lupa berikan surat lamaran kerja Hanin ke Rafka ya," ucap Hasta seolah-olah tidak tahu kalau Rafka sebenarnya ada di kampus bersama Hanin.
Sedangkan Hanin tidak bercerita sedikitpun kalau Rafka ternyata hadir di sana.
"Oh ya, Jo. Satu lagi, jangan lupa besok kamu berangkat langsung ke perusahaan saja," ucap Hasta dengan tenang walaupun rasa sakit di dadanya sudah sangat menyiksanya.
"Baik Tuan Hasta. Tapi...apa tidak sebaiknya aku tetap di sini sampai Hanin datang?" Ucap Jonathan hatinya merasa tidak tenang dengan melihat wajah Hasta yang sangat pucat.
"Hanin sebentar lagi datang Jo, Rahmat sudah memberitahuku. Lebih baik kamu antar surat lamaran kerja itu. Surat lamaran itu sangat penting buat Hanin," ucap Hasta berusaha meyakinkan Jonathan agar segera pergi.
"Baiklah Tuan Hasta, aku pergi sekarang," ucap Jonathan dengan tatapan cemas terpaksa meninggalkan Hasta sendirian di kantor.
Setelah Jonathan keluar dan pintu ruangan tertutup kembali, Hasta membuka lacinya dan segera mengambil obat rasa nyerinya yang berdosis sangat tinggi.
"Aku harus kuat sampai Rahmat datang. Aku tidak bisa pingsan di sini," ucap Hasta sambil menelan obatnya dan meneguk air putih yang ada di mejanya.
Setelah beberapa menit sejak Hasta minum obatnya, Rahmat datang dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan dari pintu samping.
"Den Hasta," panggil Rahmat melihat Hasta yang duduk bersandar dengan tubuh lemas.
Hasta membuka matanya, obat yang di minumnya telah membuat tubuhnya terasa ringan dan tidak bertenaga.
"Rahmat, bawa aku pergi keluar kota. Aku mau sendiri," ucap Hasta dengan suara lirih dan mata yang sayu.
Melihat keadaan Hasta yang tidak baik-baik saja, Rahmat sudah sangat mengerti dengan apa yang terjadi pada Hasta.
"Baiklah Den, kita pergi sekarang," ucap Rahmat tidak berpikir panjang lagi ataupun bertanya pada Hasta segera membawa Hasta dari pintu samping dan masuk ke dalam mobil.
Setelah menjalankan mobilnya dan keluar dari area perusahaan Rahmat memperlambat mobilnya dan melihat Hasta yang bersandar dengan mata setengah terpejam.
"Den Hasta, kita jadi kemana?" Tanya Rahmat dengan perasaan sedih.
"Ke rumah orangtuaku saja," jawab Hasta dengan suara hampir tak terdengar.
Rahmat menganggukkan kepalanya, segera memutar mobilnya menuju ke arah selatan di mana tempat Hasta di lahirkan.
***
Di kampus....
Hanin duduk terdiam di samping Rafka yang terlihat tenang setelah mendengar jawaban Hanin yang masih sayang padanya walau itu hanya sebatas sayang seperti pada saudara.
"Hanin, terimakasih karena kamu masih menyayangiku dan sangat peduli padaku. Aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang bagaimana perasaanmu padaku. Cukup hari ini aku mendengarnya, dan aku percaya padamu," ucap Rafka dengan sebuah senyuman tulus.
"Seharusnya aku yang berterima kasih Raf, kamu sudah jujur padaku. Aku menghargai apa yang kamu rasakan. Tapi kita tahu, saat ini bukan tentang kamu dan aku lagi. Tapi ada Mas Hasta suami aku, yang harus aku jaga. Aku sangat mencintainya dan aku tidak ingin kehilangan dia," ucap Hanin merasa lega, beban berat di dalam hatinya terangkat sudah. Masalah hati antara dirinya dan Rafka telah selesai. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang sempat mengganjal di hatinya dan di hati Rafka. Semuanya telah terjawab sudah.
"Drrrt... drrrt... drrrt"
Hanin menegakkan punggungnya saat mendengar suara ponsel berbunyi dan itu bunyi suara ponsel Rafka.
"Ponselmu berbunyi Raf, angkat saja," ucap Hanin sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua siang.
Dengan pandangan mengarah ke Hanin, Rafka mengambil ponselnya.
"Dari Jonathan, Nin? Ada apa Jonathan meneleponku?" Tanya Rafka dengan kening berkerut segera menerima panggilan Jonathan.