"Hanin, tega sekali kamu padaku? Tentu saja aku akan menikah lebih dulu sebelum mencobanya," Ucap Jonathan sambil mengusap wajahnya yang semakin memerah karena rasa malu.
Hanin hanya tersenyum mendengar apa yang di katakan Jonathan sebagai pembelaan.
"Aku percaya padamu Jo, kalau kamu tidak akan melakukan hal serendah itu. Ngomong-ngomong bagaimana keadaan Rafka, Jo?" Tanya Hanin dengan wajah serius beralih pembicaraan tentang keadaan Rafka.
"Sepertinya Rafka harus berada di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan. Kedua lututnya mengalami keretakan lagi dan ada pemasangan beberapa pen lagi," ucap Jonathan menjelaskan keadaan Rafka yang terbaru.
"Tapi kondisi Rafka sendiri tidak sakit kan Jo?" Tanya Hanin lagi dengan wajah cemas setelah mendengar keadaan kedua kaki Rafka.
"Saat ini dalam keadaan masih demam tinggi, mungkin karena pengaruh kedua kakinya yang bengkak," sahut Jonathan sambil melihat jam tangannya.
"Sepertinya aku harus kembali pulang, sekarang sudah malam. Besok pagi aku harus kembali bekerja untuk menyelesaikan tugas dari Tuan Hasta," lanjut Jonathan sambil menatap Tuan Hasta yang terlihat banyak diam setelah mengetahui keadaan Rafka.
"Tuan Hasta, apa masih ada tugas yang harus aku kerjakan?" Tanya Jonathan membuyarkan lamunan Hasta.
Hasta sedikit tersentak namun kemudian ia berusaha untuk tenang.
"Saat ini kerjakan saja seperti kata Burhan. Hati-hati dalam perjalanan nanti," ucap Hasta dengan hati tidak tenang.
Jonathan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah Tuan Hasta, Hankn, aku pergi dulu," ucap Jonathan berdiri dari duduknya dan keluar dari kamar Hasta.
Hanin menatap kepergian Jonathan kemudian beralih menatap Hasta yang terlihat masih diam di tempatnya.
"Ada apa Mas? Apa kamu memikirkan Rafka lagi? Aku minta apa yang terjadi pada Rafka jangan di jadikan beban pikiranmu Mas," ucap Hanin merasa kuatir kalau Hasta akan melakukan hal yang salah lagi.
"Hanin, saat ini aku sudah berusaha untuk melakukan apa yang kamu katakan. Tapi kenapa di hatiku masih saja ada perasaan bersalah pada Rafka?" Ucap Hasta berusaha jujur tentang apa yang ia rasakan pada Hanin.
"Ya Mas, aku tahu. Tapi Rafka sendiri tidak keberatan dengan apa yang sudah ia lakukan? Dia tulus padamu Mas," ucap Hanin kembali menegaskan kalau Hasta tidak ada kaitannya dengan sakitnya Rafka.
"Hanin, aku tahu Rafka melakukan hal itu dengan tulus. Karena ketulusan Rafka itulah yang membuatku sedih. Apa yang di alami Rafka sekarang pada kenyataannya karena aku. Karena dia ingin aku sembuh, sampai mengorbankan kedua kakinya. Dan sekarang, aku sudah sembuh. Lalu, apa yang bisa aku lakukan untuk menebus ketulusan hati Rafka? Aku harus melakukan apa Hanin?" Tanya Hasta dengan tatapan sedih.
Hanin terdiam, membalas tatapan Hasta tidak tahu harus berkata apa.
"Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan Mas? Apa kamu tetap berkeinginan ingin menyerahkan aku pada Rafka?" Tanya Hanin dengan tatapan kecewa jika Hasta tetap berpikir seperti itu.
Hasta menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak sayang, aku tidak berpikir seperti itu lagi. Aku hanya bertanya padamu, mungkin kamu menemukan cara lain agar bisa mengurangi rasa bersalahku ini," ucap Hasta sambil menggenggam tangan Hanin.
"Syukurlah Mas, kalau kamu masih menginginkan aku," ucap Hanin merasa lega dengan jawaban Hasta.
"Hanin, kenapa kamu bicara seperti itu. Tentu saja sampai aku mati aku tetap mencintaimu dan menginginkanmu," ucap Hasta mengusap wajah Hanin dengan tatapan penuh cinta.
Wajah Hanin sedikit memerah, namun kemudian secepatnya berpikir untuk mencari jalan keluar tentang masalah Hasta.
"Mungkin yang harus kita lakukan adalah menjaga Rafka sampai dia bisa berjalan," ucap Hanin dengan suara pelan sedikit ragu dengan pendapatnya.
Hasta mengangkat wajahnya menatap Hanin dengan wajah terlihat senang.
"Apa yang kamu katakan benar Nin. Kita berdua harus menjaga dan merawat Rafka sampai dia bisa berjalan. Untuk itu, pulang dari rumah sakit nanti biar Rafka tinggal di rumah kita," ucap Hasta dengan sebuah senyuman.
"Apa Mas?? Tinggal di rumah kita?" Tanya Hanin dengan wajah sangat terkejut.
Hasta menganggukkan kepalanya dengan pasti.
"Benar Hanin, Rafka akan tinggal bersama dengan kita itu akan lebih baik. Kita bisa menjaganya dengan baik. Dan kalau Jonathan mau, dia juga bisa tinggal di rumah kita," ucap Hasta semakin terlihat bersemangat setelah mendapat ide dari Hanin yang luar biasa.
Hanin menelan salivanya, masih tidak percaya dengan keputusan yang di ambil Hasta.
"Apa kamu yakin dengan apa yang kamu putuskan Mas? Apa Rafka dan Jonathan mau tinggal di rumah kita?" Ucap Hanin dengan wajah polosnya.
"Aku sangat yakin dengan hal itu Nin, dengan adanya Rafka dan Jonathan di rumah kita. Aku lebih merasa tenang dengan keselamatan kamu dan bayi kembar kita. Dan kita juga bisa menjaga dan mencarikan jodoh buat mereka berdua. Kalau soal mereka mau atau tidak tinggal di rumah kita, aku minta bantuan istriku yang cantik untuk bicara dengan mereka," ucap Hasta dengan tatapan memohon.
Hanin menghela nafas dalam, mendengar permintaan Hasta.
"Aku tidak yakin mereka mau Mas. Mereka kan sudah dewasa. Dan pasti mereka punya privasi yang tidak ingin kita tahu," ucap Hanin memberikan alasan pada Hasta.
"Tapi Hanin, aku sangat yakin mereka akan mau mendengar apa yang kamu katakan. Aku sangat yakin mereka akan mau dan senang tinggal bersama kita. Mau ya sayang," ucap Hasta dengan tatapan memelas menggenggam kedua tangan Hanin.
"Kalau seperti ini, kamu seperti anak kecil Mas," ucap Hanin dengan gemas mencubit ujung hidung Hasta.
Hasta hanya tersenyum bahagia kemudian memeluk Hanin dengan perasaan tenang.
"Apa sekarang kamu sudah tenang Mas?" Tanya Hanin setelah Hasta mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya.
"Aku belum bisa tenang sebelum kamu bicara dengan Rafka, Nin. Apakah kamu bisa melihat keadaan Rafka dan membahas tentang hal ini?" Ucap Hasta dengan tatapan memelas.
"Aku masih belum bisa meninggalkanmu sendirian Mas. Kamu baru saja operasi? Dan kamu belum di pindahkan ke kamar inap. Kalau terjadi sesuatu padamu bagaimana?" Ucap Hanin dengan tatapan cemas.
"Aku sudah tidak apa-apa Hanin. Aku akan menekan bel kalau aku merasakan sesuatu. Kamu jangan cemaskan aku. Apalagi sekarang Rafka mengalami demam tinggi, kalau terjadi sesuatu pada Rafka bagaimana? Aku akan merasa lebih bersalah lagi," ucap Hasta masih dengan tatapan memohon.
"Apa tidak bisa besok pagi saja Mas?" Ucap Hanin lagi merasa berat meninggalkan Hasta sendirian karena Hasta juga tanggung jawabnya sebagai seorang perawat.
"Jangan menunggu besok Nin, saat ini Rafka membutuhkan seorang sahabat yang bisa menenangkan hatinya. Dan kamu, bagi Rafka adalah sahabatnya," ucap Hasta lagi berusaha membujuk Hanin untuk bisa melihat keadaan Rafka.
"Baiklah Mas, aku tidak tahu lagi harus bagaimana membuat kamu mengerti. Kamu sangat keras kepala," ucap Hanin akhirnya mengalah demi keinginan Hasta.