Aku mengganti gaunku dengan salah satu kaos miliknya yang terlalu besar untukku, ujung kaosnya menjuntai lima senti dari atas lututku. Bau detergen dan sedikit parfumnya masih menempel di kaos yang kukenakan. Kubiarkan lilin di sebelah tempat tidur tetap menyala, setelah kejadian penyerangan itu aku tidak pernah tidur dengan lampu mati lagi selama setahun terakhir ini. Ranjangnya yang besar dan nyaman membuat rasa lelahku setelah seharian ini muncul dengan cepat, lima menit kemudian aku sudah terlelap.
***
Aku mendengar nafasnya yang terengah-engah di dalam kegelapan, "Diam, brengsek."
Kepalanya yang ditutup masker berada beberapa senti di depan wajahku membisikkan kalimat itu lagi, "Diam."
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokanku. Salah satu tangannya meraba perutku yang tertutup handuk. "H—hentikan..." air mataku keluar bersamaan dengan isakanku. "Kumohon, hentikan."
Tangannya yang dingin dan kasar bergerak perlahan semakin ke atas, kupejamkan kedua mataku lalu kudorong tubuhnya yang menindihku dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba Ia melingkari kedua pergelangan tanganku dengan tangannya yang lain, mencengkeramku agar tidak meronta. "Kau akan membayarnya, sayang, dengan tubuhmu."
Aku hampir bisa mencium bau alkohol dari nafasnya yang terengah-engah...
***
Suara teriakanku memecah keheningan malam. Mimpi itu muncul lagi dalam tidurku. Kedua mataku terbuka di dalam kegelapan, kutarik tubuhku untuk duduk dan melihat ke sekelilingku, terror yang kurasakan di dalam mimpiku tadi mulai kembali lagi. Sesaat aku tidak ingat dimana aku berada hingga pintu di ujung ruangan menjeblak terbuka dengan keras.
"Eleanor!"
Mimpi itu hanya pernah muncul sekali sebelumnya, saat aku di rumah sakit bersama Nicholas. Dan sekarang, mimpi itu muncul lagi saat aku bersama Nicholas juga. Jantungku berdetak sangat cepat di dalam dadaku hingga aku merasa sedikit pusing.
"Eleanor, kau tidak apa-apa?" aku mendengar langkah kakinya yang mendekat. Kupeluk kedua lututku erat-erat untuk menyembunyikan tubuhku yang sedikit gemetar.
"Hanya m—mimpi buruk." Jawabku dengan suara yang kering dan sedikit bergetar. Aku bisa merasakan setetes keringat dingin perlahan menuruni tulang belakangku.
"Kau memimpikannya lagi?" suaranya terdengar berhati-hati.
Hanya saat bersamamu. "Aku tidak apa-apa." Gumamku.
Kurasakan tempat tidur di sebelahku bergerak, lalu aku merasakan kedua lengannya memelukku. Ia masih memakai kemeja, mungkin pakaian yang sama dengan semalam. Lalu detik berikutnya aku merasakan punggungku yang menyentuh dadanya. Rasa hangat dari tubuhnya membuat gemetarku memudar. Ia memelukku dengan erat selama lima menit penuh tanpa berbicara sedikitpun.
"Kau ingin menceritakannya?" tanyanya dengan lembut. Aku menggeleng, "Aku hanya ingin kembali tidur."
Ia bergeser sehingga aku bisa kembali berbaring. Tapi Nicholas tidak pergi, Ia malah menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. "Aku akan tinggal hingga kau tertidur lagi." Suaranya yang menenangkan membuat perasaan sedikit lebih baik.
"Kau tidak perlu melakukannya."
"Ssshh." Bisiknya, "Kau ingin aku memelukmu?" tanyanya beberapa saat kemudian.
"Aku baik-baik saja." Jawabku sambil berusaha memandang wajahnya di antara kegelapan.
"Tapi aku ingin melakukannya." Ia menarikku ke dalam pelukannya hingga kepalaku berada di dadanya, aku bisa mendengar detak jantungnya yang cepat dari jarak sedekat ini. Aku tidak tahu jantungnya juga berdebar dengan cepat saat Ia berada di dekatku.
Salah satu tangannya mengelus punggungku perlahan, sebelum aku menyadarinya aku mulai menceritakan padanya apa yang terjadi malam itu. Suaraku masih sedikit bergetar saat menceritakannya, tapi aku tidak merasa setakut sebelumnya. Hanya ada rasa aman.
Tubuhnya menegang sepanjang aku bercerita, tapi tangannya tidak berhenti mengelus punggungku sekalipun. Ia bahkan tidak memotong ceritaku, Ia hanya mendengarkanku, walaupun sesekali aku mendengarkan suara rahangnya yang mengatup keras.
Saat aku selesai berbicara Ia masih terdiam, aku tidak berani mendongak untuk menatap wajahnya lagipula aku tidak akan bisa melihat dengan jelas di tengah kegelapan ini. Jantungnya masih berdebar dengan keras di pipiku.
"Jadi kita akan mulai berpura-pura tidak mengenal lagi besok?" tanyaku dengan suara yang rendah. Tangannya yang mengelus punggungku membeku seketika. Aku tidak tahu kemana hubungan ini akan pergi, atau mungkin malah akan berhenti lagi.
Peringatan Gregory beberapa jam yang lalu kembali terngiang di dalam kepalaku.
"Aku tidak ingin menyakitimu." Suaranya sedikit serak saat menajawabku, aku bisa mendengar sedikit kemarahan di dalamnya.
"Aku tidak serapuh itu." Balasku setengah berbisik.
"Kau adalah manusia, Eleanor."
Aku mendorongnya sedikit hingga aku bisa mendongak ke arahnya walaupun aku tidak bisa melihat dengan jelas, "Lalu?"
Ia mendengus lalu menambahkan, "Kau bahkan takut padaku."
Kuletakkan salah satu telapak tanganku di atas jantungnya yang berdebar, "Yeah. Aku juga berpikir begitu. Tapi akhir-akhir ini aku menyadari bukan itu yang kutakuti darimu. Aku takut karena aku mulai benar-benar menyukaimu, lalu suatu hari aku akan terbangun dan kau akan meninggalkanku. Seperti yang lainnya. Pada akhirnya aku akan sendirian lagi."
"Eleanor..."
"Aku takut dengan rasa sakit dan kehilangan yang mengikutinya." Lanjutku dengan tawa kecil, "Tapi kau akan meninggalkanku pada akhirnya juga, kan?"
"Eleanor."
"Kau benar." Aku mulai mendorongnya menjauh, "Seharusnya kita menjauh. Aku akan pergi secepatnya besok pagi—"
"Eleanor!" Ia mendorongku hingga aku berbaring di punggungku, kedua tangannya berada di kedua sisi kepalaku. Aku bisa melihat siluetnya bergerak di atasku. "Berhenti berbicara."
Aku menatap siluet wajahnya yang hanya terlihat samar-samar, jantungku mulai berdebar dengan keras lagi saat menyadari kami berdua hanya sendirian di rumah ini, dan sedang berpelukan di atas tempat tidurnya. Mungkin hanya berada di dekatnya cukup untuk membuatku terkena serangan jantung karena jantungku selalu berdebar keras.
Tiba-tiba aku merasa sedih, setahun tidak bertemu dengannya dan tidak mendengar suaranya saja sudah membuatku sesedih ini. Aku tidak yakin aku bisa bertahan di tahun-tahun berikutnya jika ini adalah hari terakhir kami bertemu.
Apa aku akan bisa melupakan pria ini?
Kuangkat tangan kananku untuk menyentuh wajahnya di dalam kegelapan, jari-jariku menyusuri sisi wajahnya perlahan lalu rahangnya. Ia membalasnya dengan sedikit mendorong wajahnya ke tanganku.
"Mengapa aku tidak bisa bersamamu?" tanyaku dengan setengah berbisik.
"Kau berbicara lagi." tegurnya dengan suara yang lebih lembut.
"Aku—Apa aku tidak cukup baik untukmu?" Aku tahu aku tidak seperti Alice, dan kadang-kadang aku bisa sedikit menyebalkan. Tapi melihatnya malam ini, melihatnya menginginkanku sama besarnya dengan aku menginginkannya membuat harapanku kembali lagi.
"Eleanor..."
"Apa yang harus kulakukan, Nicholas?" tepat saat namanya keluar dari mulutku Ia menarik tanganku dari wajahnya lalu menggenggamnya di atas kepalaku. Detik berikutnya Ia menciumku, hanya sebentar tapi cukup untuk membuatku kehabisan nafas. "Jika kau berbicara lagi, aku akan menutup mulutmu." Bisiknya dengan serak.
Ia melepaskan tanganku lalu menjauh dariku, setelah itu Ia menarik tanganku hingga aku duduk di atas tempat tidur. Ia duduk di depanku, salah satu lututku menempel dengan lututnya. "Aku akan memberitahumu alasannya. Paling tidak hanya ini yang bisa kulakukan..."
Siluetnya di depanku terlihat sedikit kaku, aku berharap bisa melihat ekspresi di wajahnya saat ini. "Volder berdarah murni terakhir lahir 120 tahun yang lalu, di seluruh dunia hanya ada 90 dari kami yang bertahan. Sedangkan 800 lainnya adalah Volder yang diubah. Mereka dulunya adalah manusia, kadang kami menyebutnya Leech. Saat seorang Volder berdarah murni mengubah manusia, mereka memberikan darah dan kekuatannya untuk manusia itu. Jadi kami harus berhati-hati, semakin banyak kami mengubah manusia semakin berkurang kekuatan kami. Rata-rata seorang Volder pernah mengubah 50 manusia dalam hidupnya, banyak yang menganggapnya sebagai peliharaan. Setiap Leech berada di bawah kuasa Volder yang mengubahnya. Dan jika Volder itu ingin mengambil kekuatannya kembali, Ia harus membunuh Leech miliknya dan menghisap darahnya kembali hingga habis."
Mulutku terasa kering saat mendengar apa yang baru saja Ia katakan.
"Saat ini Volder berdarah murni paling kuat di antara kami adalah Greg."
"Ia belum pernah mengubah manusia selama ini?" aku tidak bisa menahan pertanyaanku walaupun Nicholas memintaku untuk berhenti berbicara sebelumnya.
Ia terdiam selama dua detik sebelum menjawabku, "Greg memiliki 15 Leech selama beberapa dekade sebelum akhirnya membunuh semuanya."
Seluruh bulu halus di tubuhku berdiri seketika. Aku teringat saat bertemu dengan Greg malam itu di San Francisco, sebelumnya aku mendengar suara lengkingan mengerikan yang akhirnya membuatku kembali ke gang itu... Tapi polisi tidak bisa menemukan mayat keesokan harinya, apa Ia baru saja selesai membunuh Leech terakhirnya saat itu? Perutku terasa mual saat membayangkannya. Lalu aku teringat pada... "Oh tidak, Lana..."
"Greg tidak akan melukainya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka berdua, tapi Ia tidak akan melukai Miss Morrel." Sesuatu di dalam suaranya membuatku merasa lebih tenang.
"Bagaimana... bagaimana denganmu?" pertanyaanku terdengar hampir seperti bisikan.
"Aku membenci Leech. Sebelum bertemu denganmu aku masih berpikir manusia hanyalah salah satu sumber makanan kami... Tapi aku pernah melakukannya dua kali, Eric adalah salah satunya."
Eric? Sekarang aku mengerti mengapa Eric hampir selalu berada di dekatnya. Tentu saja, karena Nicholas adalah Volder yang mengubahnya.
"Sedangkan yang satu lagi adalah manusia pertama yang kuubah. Volder tidak bertambah tua. Jadi setiap beberapa dekade kami harus berpindah-pindah agar tidak membuat manusia curiga, kami juga harus mengganti pekerjaan kami. 120 tahun yang lalu aku bekerja sebagai dokter di sebuah kota kecil di Inggris, saat itu influenza dan pneumonia adalah penyakit yang paling ditakuti di seluruh dunia karena belum ada obatnya. Aku bertugas untuk menyembuhkan seorang anak bangsawan, Ia masih berumur 9 tahun. Tapi virusnya sudah terlalu lama menempati tubuhnya hingga Ia tidak bisa ditolong. Sebelum meninggal Ia menularkan penyakitnya ke ayah dan Ibunya, lalu beberapa hari kemudian ayahnya menyusulnya. Sedangkan Ibunya hampir meninggal beberapa jam setelah ayahnya." Ia berhenti sejenak selama beberapa detik, saat Ia berbicara lagi suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya, "Lalu aku mengubahnya menjadi Leech."
Keheningan menyelimuti kami hingga beberapa menit. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kurasakan saat ini. Tapi dari suaranya sepertinya terdengar sebagai sebuah memori yang buruk.
"Ia membencinya... menjadi Leech. Wanita itu berpikir akulah yang membunuh keluarganya. Jadi Ia bersumpah untuk membalasku suatu saat nanti, jika aku memiliki seseorang yang berharga bagiku." Kalimat terakhirnya memiliki efek berlawanan padaku. Sesaat membuat hariku terasa hangat sekaligus membuat bulu halus di leherku meremang.
"Aku tidak terlalu memikirkannya saat itu. Beberapa dekade berikutnya Greg berusaha membantuku dengan memburunya, tapi Ia menghilang dan tidak ada yang bisa menemukannya. Kami tidak pernah membahasnya selama 70 tahun belakangan ini... hingga aku bertemu denganmu."
"Mungkin Ia sudah mati." Gumamku dengan perasaan tidak enak. 70 tahun bukan waktu yang sedikit.
"Ia masih hidup."
"Bagaimana kau mengetahuinya?" tanyaku dengan suara lemah.
"Karena pria yang menyerangmu dulu adalah Leech yang dikirimkan oleh wanita itu." Kalimatnya terasa seperti seember air es yang diguyurkan padaku. Nicholas pasti menyadari sikap membekuku karena setelah itu Ia menarik salah satu tanganku lalu mengaitkan jari-jarinya ke jari-jariku. Ibu jarinya membuat lingkaran-lingkaran kecil di pergelangan tanganku dengan perlahan.
"Leech yang menyerangmu hanya peringatan untukku. Ia tidak ditugaskan untuk membunuhmu, hanya melukaimu."
Aku mendongak menatap siluet wajahnya di tengah kegelapan, "Tapi kau membunuhnya."
"Ia menyentuhmu." Jawabnya dengan suara dingin, "Alasan itu sudah cukup bagiku."
Tidak ada diantara kami yang berbicara selama beberapa menit kedepan. Ibu jarinya masih mengelus pergelangan tanganku. "Jadi apa yang akan terjadi sekarang?"
"Semuanya adalah keputusanmu, Eleanor..." Ia mengangkat tanganku lalu mengecupnya dengan lembut, hatiku terasa seperti diremas saat Ia melakukannya.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." Aku hampir bisa mendengar rasa putus asa di dalam suaraku sendiri. Ibu jarinya berhenti bergerak di atas kulitku lalu sedetik kemudian Ia melepaskan tangannya dariku dengan perlahan.
"Kalau begitu pergi. Dan jangan menoleh ke belakang lagi."