"Pergi?" ulangku sedikit tidak percaya. Ia memintaku untuk pergi?
"Atau tinggal denganku. Apapun pilihanmu kau tidak bisa melakukannya setengah jalan. Jika kau memutuskan untuk pergi, aku akan memastikan kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tapi jika kau memutuskan untuk tinggal..." suaranya berubah semakin dalam, "Tidak ada jalan kembali untukmu. Kau milikku."
Jantungku berdebar lebih keras saat mendengar kalimat terakhirnya. Ia terdengar sangat serius saat mengatakannya. "Apa yang akan terjadi jika aku tinggal?" tanyaku.
"Kau milikku." Ulangnya dengan intonasi yang sedikit dingin. "Aku akan memburu perempuan itu, dan tidak akan berhenti hingga aku berhasil membunuhnya."
"Mem—membunuhnya?"
"Aku akan membunuh semua yang mengancam apa yang menjadi milikku, Eleanor." jawabnya dengan serius. "Dan jika kau menjadi milikku, aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi walaupun kau memohon padaku." katanya sebelum berjalan menuju pintu, "Aku akan memberimu waktu seminggu."
Suaranya masih terngiang di dalam kepalaku bahkan setelah Ia meninggalkan kamar ini. Aku mengerti alasan dibalik sikap dinginnya padaku. Ia tidak ingin mempengaruhi keputusanku, atau yang lebih tepatnya... Ia tidak ingin aku menyesalinya nanti.
Miliknya. Kata itu terus menempel di dalam kepalaku.
Kujatuhkan kepalaku di bantal lalu memandang ke langit-langit kamarnya yang gelap, satu jam kemudian suara desisan pohon yang tertiup angin serta suara hujan di luar perlahan membuatku tertidur kembali.
***
Sinar yang terang mengintip dari balik tirai jendela saat aku terbangun, sesaat aku lupa dimana aku berada saat ini. Dengan sedikit grogi karena baru bangun aku melirik jam di sebelah tempat tidur yang menunjukkan pukul 11 siang.
Berapa lama aku tertidur?
Kuregangkan tubuhku sebelum turun dari tempat tidur. Tenggorokanku terasa kering, semalam aku hanya sempat minum champagne di resepsi pernikahan Christine.
Kubuka pintu kamar Nicholas lalu melangkah ke luar, aku berjalan ke ruangan kerjanya yang berada di sebelah lalu membuka pintunya tapi Nicholas tidak ada di dalamnya. Kuputuskan untuk kembali lagi ke kamarnya dan mencuci wajahku lalu turun ke dapur.
Sepertinya listrik di rumah ini sudah kembali menyala lagi. Beberapa langkah sebelum aku mencapai dapur, suara yang sangat kukenal terdengar dari balik pintu dapur membuat langkahku terhenti.
Lana. Ia ada disini? Kukerutkan keningku untuk mendengar lebih jelas, perlahan rasa khawatirku semalam berubah menjadi marah. Seharusnya saat ini Lana kembali ke hotel atau paling tidak berusaha menghubungiku. Tapi Ia ada disini, mengobrol dengan Gregory Shaw seolah-olah semalam tidak terjadi apapun.
Kukepalkan kedua tanganku lalu melangkah lagi menuju dapur tapi sebuah tangan meraih pinggangku, aku hampir memekik terkejut saat tangan yang lainnya menutup mulutku. Punggungku menabrak sesuatu yang keras sekaligus hangat, jantungku berdebar keras di dalam dadaku karena aku tahu siapa yang berada di belakangku saat ini.
"Miss Morrel tidak tahu kau ada disini." Bisiknya di telingaku, tangannya masih berada di mulutku. Tiba-tiba Ia menarik nafasnya dalam-dalam seperti sedang berusaha mencium bau sesuatu.
Jantungku berdebar semakin kencang diikuti wajahku yang sedikit memerah, kali ini karena alasan yang berbeda dari sebelumnya, aku belum mandi sejak kemarin sore. Tanganku berusaha mendorong tangannya yang berada di pinggangku, tapi Ia tidak bergerak sedikitpun.
Lalu dengan suara yang lebih serak Ia berbisik lagi di telingaku, "Aku suka baumu, Eleanor."
Suaranya terdengar sedikit aneh di telingaku. Tiba-tiba Ia melepaskan dirinya dariku dengan sangat cepat seakan Ia sendiri juga terkejut sudah melakukannya.
Kubalikkan badanku untuk menatapnya, kedua matanya yang berwarna biru tua menatapku dengan sedikit ekspresi marah bercampur malu. Malu? Nicholas Shaw? Sebelum aku sempat bertanya apa Ia baik-baik saja, Nicholas mendahuluiku dengan berkata, "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu di kamar."
"Tapi—"
"Kita bicara di kamarku." Potongnya lalu berjalan menuju tangga terdekat. Aku mengikutinya dari belakang dengan perasaan bingung, sesaat aku melupakan rasa marahku pada Lana.
Kututup pintu kamarnya di belakangku setelah kami berdua berada di dalam, sebuah nampan berisi semangkuk oatmeal dan buah serta segelas jus jeruk diletakkan di atas meja.
"Aku harus berbicara pada Lana." Kataku sambil berjalan mendekat, Ia menatapku dengan wajah cemberutnya.
"Kurasa jika kau berbicara pada Miss Morrel dengan pakaian seperti itu akan membuatnya curiga." Kedua matanya menatap kakiku yang telanjang lalu bergerak ke atas dengan perlahan.
Aku benar-benar lupa saat ini aku hanya mengenakan kaos milik Nicholas saja.
"Kau benar. Maaf." Balasku dengan wajah memerah. "Aku... aku harus segera kembali ke hotel." Gumamku sambil mengambil gaunku yang berada di kursi. Ia melirik ke arah nampan berisi sarapan yang Ia siapkan untukku lalu kembali memandangku. Kuletakkan kembali gaunku lalu duduk di kursi yang berada di sebelah meja, aku mendongak untuk menatapnya lagi, "Terimakasih untuk—"
"Makan, Eleanor." Potongnya dengan senyuman samar.
Ia berbalik untuk mengambil sesuatu dari lemarinya, kemeja putih dan celana berwarna hitam, "Aku akan mengantarmu kembali ke hotel setelah ini." ucapnya sebelum berjalan keluar dari kamarnya meninggalkanku untuk menghabiskan sarapanku.
Lima belas menit kemudian aku sudah mengganti kaos Nicholas dengan gaunku semalam. Tanganku berusaha meraih resleting gaunku tapi gagal karena letaknya sangat rendah di punggungku, Lana yang menariknya untukku semalam.
Dengan dengusan kesal kutatap wajahku di cermin kamar mandi yang berada di dalam kamar Nicholas. Tempat ini sangat rapi, bahkan lebih rapi dari kamar mandiku yang dipenuhi make up dan krim wajah. Dua buah handuk digantung dengan rapi di sudut ruangan, shower dan bathup di seberangku sempat menggodaku beberapa menit yang lalu. Aku benar-benar ingin mandi setelah apa yang dikatakan Nicholas tadi. Wajahku memerah lagi. Kurapikan rambut auburnku lagi, sedikit merasa menyesal karena aku tidak membawa make up sama sekali. Paling tidak lipstik akan sangat berguna saat ini.
Kuhela nafasku sebelum membuka sedikit pintu kamar mandi, seperti dugaanku Nicholas sudah berada di kamar. Ia sedang menggulung lengan kemeja putihnya lalu mendongak ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Aku harus menahan nafasku saat melihatnya, Ia terlihat seperti model Calvin Klein baru saja keluar dari pemotretan majalah GQ. Rambut coklatnya dibiarkan sedikit berantakan, beberapa helai sedikit menutupi salah satu matanya. Rahangnya yang tegas dan wajah seriusnya berubah menjadi senyuman kecil saat melihatku, kedua mata biru tuanya menatapku dengan lembut.
"Kau sudah siap?" tanyanya sambil mengancingkan kancing nomor dua teratas kemejanya. Perasaan aneh menyusupiku saat melihatnya. Saat ini kami berada di kamarnya, Ia baru saja mengenakan kemejanya sedangkan aku baru saja memakai gaunku di kamar mandinya. Kami hampir terlihat seperti pasangan normal, dan aku sangat menyukai perasaan baru ini.
Kubuka pintu kamar mandi semakin lebar lalu melangkah keluar. "Aku butuh sedikit bantuanmu." Gumamku sambil memutar tubuhku memunggunginya, "Tanganku tidak bisa meraih resletingnya."
Selama tiga detik yang terasa sangat lama bagiku tidak ada jawaban dari Nicholas, hingga akhirnya aku mendengar langkah kakinya yang mendekat dari belakangku. Salah satu tanganku menarik rambutku lalu menyampirkannya ke salah satu sisi pundakku agar tidak menghalangi resletingnya.
Aku mendengar suara tarikan nafasnya dari belakangku, jantungku berdebar sedikit lebih cepat saat tangannya menyentuh sedikit kulitku. Lalu perlahan, sangat perlahan, Nicholas menarik resleting gaunku ke atas. Salah satu jarinya menyentuh kulitku selama Ia melakukannya. Jantungku berdebar tidak terkontrol hingga aku bisa mendengar debarannya di telingaku sendiri.
Ia menarik resleting gaunku hingga ke ujungnya lalu berhenti, sebelum aku sempat berbalik Nicholas menyentuh sisi bahuku yang tidak tertutup rambutku. Lalu kurasakan kepalanya yang disandarkan di bahuku, nafasnya yang hanya berjarak beberapa milimeter dari leherku sedikit menggelitikku.
Tubuhku membeku saat kedua tangannya meraih pinggangku, bau aftershave dan parfumnya melingkupiku membuat ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutku.
"Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan ini sebelum kau memberikan jawabanmu." Gumamnya dengan sangat pelan, "Tapi ini akan menjadi kesempatan terakhirku jika kau..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Setelah beberapa detik terdiam Ia berbicara lagi, "Hanya ingat satu hal sebelum kau memutuskan, Eleanor." Bibirnya hampir menyentuh kulitku, tanpa kusadari kepalaku bergerak sedikit untuk memberikan akses lebih lebar padanya.
"Jika kau memilih untuk tinggal, aku tidak akan melepaskanmu lagi. Bahkan jika kau memohon padaku." Bisiknya sebelum menarik dirinya menjauh dariku dengan cepat.
***
Lana kembali pukul 1 siang. Wajahnya terlihat sangat bersalah saat Ia muncul dari balik pintu kamar hotel kami. Aku sudah mengganti gaunku dengan jeans dan blus setelah Nicholas mengantarku ke hotel. Kulirik Lana sekilas lalu mengambil koperku untuk mulai mengepak, kami akan kembali ke San Francisco sore ini.
"Ella?" suara Lana terdengar lebih bersalah daripada ekspresi di wajahnya.
"Kau tahu betapa khawatirnya aku semalam?" gumamku sambil melemparkan gaunku semalam ke dalam koper. "Kau bahkan tidak menghubungiku." Tambahku.
"Aku... aku mencoba menghubungimu." Jawabnya dengan suara lemah.
"Sebelum akhirnya kau menyadari handphoneku berada di tasmu beserta dompetku dan kunci kamar ini?" tanyaku dengan nada datar.
Lana tidak menjawabku, Ia masih berdiri di depan pintu hingga aku selesai mengepak koperku sepuluh menit kemudian. Lana masiih memakai gaun birunya, minus make up. Ia menggigit bibirnya sambil menatapku dengan ekspresi cemas dan bersalah.
Setelah puas membuatnya merasa bersalah kubalikkan badanku untuk menatapnya, "Apa yang terjadi semalam?"
Kedua mata birunya yang besar berkedip saat menatapku, "Kami hanya... berbicara."
"Bagaimana kau mengenal Gregory Shaw, Lana?" tanyaku serius.
Wajahnya memerah saat aku menyebut nama Gregory, perasaan tidak enak mulai muncul di perutku. Semalaman pikiranku terlalu disibukkan dengan Nicholas. Saat ini aku baru menyadari ada hal penting lainnya, hal penting yang menyangkut Lana dan Gregory Shaw. Dan aku tidak menyukai pria itu. "Bagaimana kau mengenalnya?" ulangku sambil melipat kedua tanganku di dada.
"Kami bertemu beberapa tahun yang lalu, di konferensi saat-"
"Yeah, aku mengingatnya. Kau kembali sambil menangis lalu menginap di asramaku selama beberapa hari." Kusipitkan mataku dengan curiga, "Apa yang Ia lakukan padamu?"
Semburat merah di kedua pipi Lana semakin terlihat jelas. "Kami hanya mengobrol. Lalu Ia mengajakku makan malam setelah konferensi. Ia mengajakku ke hotel tempatnya menginap setelah itu, tapi aku menolaknya jadi Ia mengantarku pulang."
Aku tidak terlalu terkejut jika Greg mengajak wanita yang baru dikenalnya ke hotel setelah bertemu beberapa jam, karena Ia adalah Gregory Shaw. Christine pernah mengatakan padaku Ia berganti pasangan secepat Ia mengganti bajunya. "Lalu?"
"Lalu Ia berjanji akan menghubungiku lagi..."
"Dan Ia tidak menghubungimu." Karena itu Lana menangis malam itu.
"Oh, aku sedikit berbohong padanya... tentang namaku dan yang lainnya." Ia menggigit bibirnya lagi. Lana masih menatapku dengan pandangan sedikit bersalah.
"Namamu?" ulangku, kali ini dengan sedikit bingung.
"Aku memberinya nama Patricia dan nomor yang salah."
Patricia adalah nama ibu kandung Lana. Ia sering memberikan nama palsu karena identitas ayahnya yang cukup terkenal. Aku tidak pernah mengerti mengapa Ia berbohong jika Ia menyukai Gregory.
Seluruh mantan pacar Lana tidak pernah membuatnya menangis saat mereka putus. Lana bahkan tidak pernah terlihat menyesal sama sekali. Patricia adalah nama samaran yang diberikan Lana jika Ia benar-benar menyukai seseorang. Dan Gregory... si brengsek itu salah satunya yang beruntung.
Kutarik kedua sudut mulutku ke bawah, "Kau tidak boleh menyukainya, Lana."
Kedua mata biru mudanya membesar lalu Ia menghela nafasnya, "Aku tahu." Lana melempar tasnya ke atas tempat tidur lalu menyandarkan punggungnya di balik pintu. "Tapi aku tidak bisa mundur sekarang. Ia bersumpah jika aku menghilang lagi Ia akan mencariku hingga ke—" Lana berhenti sejenak, "Lagipula Ia sudah mengetahui nama asliku, bahkan alamat ayahku." Suara Lana yang sedikit kesal sangat kontras dengan ekspresi wajahnya, Ia berusaha keras menahan senyumannya. Lana benar-benar menyukai Gregory Shaw dan hal itu terlihat jelas di wajahnya.
"Kau bisa menjauhinya." Ia adalah Volder, Lana! Aku tidak bisa menyembunyikan rasa frustrasiku. Dari sekian banyak pria yang mendekati Lana... Ia memilih Gregory Shaw. "Ia akan menyakitimu." Tambahku dengan suara lebih lembut. Aku membayangkan apa yang akan Lana katakan jika Ia tahu Greg yang menyerangku satu setengah tahun yang lalu.
"Aku tahu." Jawabnya dengan suara yang sedih hingga aku ingin memeluknya, lalu Ia tersenyum. "Kau tidak perlu khawatir, El, Greg tidak akan permanen." Tambahnya sambil mengangkat bahunya pura-pura tidak peduli lalu masuk ke kamar mandi. Tapi wajahnya mengatakan sebaliknya.