WebNovelVOLDER6.99%

Chapter 29

Saat aku terbangun aku masih berada di tempatku yang sebelumnya, di atas lantai kamar yang tertutup karpet. Hanya saja saat ini rasa sakit yang sebelumnya hampir membunuhku menghilang, begitu juga rasa terbakar yang kurasakan sebelumnya. Aku tidak bisa merasakan apapun tapi aku juga tidak bisa menggerakkan badanku. Satu-satunya yang bisa kugerakkan hanya kelopak mataku saat berkedip.

Dan ada masalah lain yang membuatku tidak nyaman saat ini, tenggorokanku terasa sangat kering. Rasanya seperti habis memakan semangkuk pasir kasar yang panas. Aku tidak bisa membuka mulutku untuk berteriak, walaupun sebenarnya aku tidak yakin masih memiliki suara untuk berteriak lagi.

Selama hampir tiga jam ke depan aku hanya bisa menatap ke langit-langit kamar di atasku dan berkedip, aku tidak tahu apakah ini pagi atau malam hari. Tubuhku masih berada di posisi yang sama persis dengan sebelum aku kehilangan kesadaran. Aku tidak bisa merasakan nafasku atau detak jantungku sedikitpun.

Apa ini rasanya mati? Tidak... aku masih hidup.

Berbagai macam pikiran melintas di dalam kepalaku. Apa yang sedang Lana lakukan sekarang, apa Ia menyadari aku menghilang? Dan Nick... apa Ia sudah menerima video itu? Aku tidak ingin membayangkan ekspresinya saat Ia menontonnya. Walaupun Alastair hanya menggigitku tapi Ia membuka baju kami, Ia membuat seolah-olah Ia menyentuhku juga. Untuk apa Ia melakukannya?

Aku tidak yakin sudah berapa lama tergeletak di tempat ini, semakin aku berpikir semakin aku tidak ingin Nick datang menyelamatkanku. Bagaimana jika Ia membenciku setelah ini? Detik-demi detik yang kulalui terasa semakin lama. Yang bisa kurasakan saat ini hanya tenggorokanku yang sangat kering dan rasa putus asa.

Ini sudah yang ketiga kalinya, pertama Greg menggigitku, lalu serangan Leech malam itu, dan yang terakhir Alastair. Sepertinya Alastair bukan Leech, Ia berbeda dari Elizabeth. Ia lebih seperti Nick dan Greg, Volder juga.

"Eleanor..." aku mengenal suara ini, suara dengan sedikit aksen asing di dalamnya. Alice berlutut di sebelahku, mengecek tanda vitalku. Aku tidak mendengar kedatangannya sama sekali.

Alice terlihat berbeda, rambut keemasannya diikat dengan asal dan Ia mengenakan pakaian berwarna serba hitam hingga ke bootsnya. Sebuah katana mengintip dari balik bahunya. Kedua mata abu-abu kebiruannya yang bening menatapku dengan sedikit khawatir, tapi aku tidak bisa membuka mulutku untuk berbicara padanya. "Nicholas!" teriaknya tanpa mengalihkan pandangan dariku.

Lima detik kemudian Nick sudah berdiri di belakang Alice, aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Rahangnya ditutupi janggut yang mulai tumbuh, kedua matanya birunya terlihat lelah dan memerah serasi dengan kedua kantung matanya yang menghitam. Ia terlihat sangat berantakan. Sangat kontras dengan Nick yang kukenal, Nick yang selalu rapi dan tenang. Aku ingin meraihnya dan mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja walaupun sebenarnya tidak, aku hanya ingin menghapus ekspresi di wajahnya saat ini. Ekspresi bersalah dan tersiksa yang menghantui wajahnya.

Alice menggeser tubuhnya saat Nick berlutut di depanku. Telapak tangannya menangkup wajahku dengan hati-hati, saat itulah rasa haus yang menyiksa tenggorokanku berubah menyakitkan. "Aku akan mengeluarkan racunnya." Suara Nick terdengar sangat serak saat berbicara.

"Terlambat." Gumam Alice dari sebelahnya dengan sangat pelan. "Tapi darahku bisa mempercepat prosesnya." Tambahnya sambil mengambil selimut tebal dari atas tempat tidur lalu menyerahkannya pada Nick.

Proses apa? Aku ingin membuka mulutku untuk bertanya tapi tidak bisa. Nick mengangkat tubuhku lalu membungkusku dengan selimut itu. Ia memindahkanku ke atas tempat tidur dengan sangat hati-hati, seakan-akan tubuhku terbuat dari porselen yang sudah retak. Kedua matanya menghindari tatapan lurusku, aku tidak tahu apa yang Ia pikirkan saat ini tapi melihatnya menghindariku membuatku sedih.

"Nicholas?" Alice memanggilnya, salah satu tangannya memegang belati kecil. "Kau yang memutuskan."

Nick menggenggam tanganku walaupun aku tidak bisa merasakannya, kepalanya sedikit tertunduk hingga aku tidak bisa melihat ekspresinya. "Aku tidak bisa, Alice." Suara Nick terdengar hampir pecah.

"Kau harus memutuskannya, untuk Eleanor." Alice menunggu jawaban Nick dengan ekspresi dingin di wajahnya, "Jika kau ingin menyalahkan dirimu sendiri, lakukan hal itu nanti. Sekarang Eleanor membutuhkanmu."

"Eleanor tidak akan—"

"Darahku akan mempercepat prosesnya." Potong Alice dengan tidak sabar. "Anggap saja aku melakukannya sebagai balasan apa yang sudah kau lakukan untuk Eiric."

Eric? Aku ingat Nick pernah memberitahuku Eric dulu adalah butler yang bekerja di keluarga Alice, dan Nick adalah Volder yang mengubahnya menjadi Leech. Pandanganku masih terpaku pada tangan Nick yang menggenggamku, perlahan Ia melepaskannya. Tanpa berbicara lagi Nick keluar dari ruangan ini meninggalkanku bersama Alice. Aku tidak mengerti apa yang terjadi saat ini.

"Eleanor, kau bisa mendengarku?" Alice menyangga kepalaku dengan sebuah bantal hingga aku bisa menatapnya. "Kau sedang memasuki proses transisi dari manusia menjadi Leech. Darah Valkyrie bisa mempercepat prosesnya dan mengurangi rasa sakitnya nanti. Tapi kau harus segera meminum darah segar saat seluruh tubuhmu sudah kembali berfungsi normal, darahku bisa berubah menjadi racun jika terlalu lama berada di tubuhmu. Karena itu Nicholas merasa ragu, Ia tahu kau tidak akan bersedia meminum darah segar. Tapi ini lebih baik daripada membiarkanmu tersiksa lebih lama." Untuk pertama kalinya Alice tersenyum, benar-benar tersenyum. "Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu."

Leech? Aku adalah Leech?

Aku ingin menjawabnya, aku ingin menggelengkan kepalaku sekuatnya. Aku tidak akan meminum darah, baik segar ataupun tidak. Aku tidak akan pernah—

Alice menggoreskan belatinya di pergelangan tangan kirinya, satu tetes darah jatuh di atas bibirku diikuti oleh tetesan lain. Cairan kental itu masuk melalui sela bibirku membasahi lidahku yang sebelumnya mati rasa, sekarang aku hampir mulai bisa merasakan lagi. Tapi yang kurasakan bukan rasa darah yang menjijikan.

Alice membuka mulutku dengan tangan kanannya, sedangkan pergelangan tangan kirinya tetap berada di atas mulutku. Cairan hangat dan harum itu membasahi tenggorokanku yang kering, rasanya seperti sup hangat yang belum pernah kucoba sebelumnya. Rasanya aku ingin meminumnya untuk selama-lamanya. Perlahan pandanganku berubah menjadi lebih jernih, lebih terang dari sebelumnya. Jantungku mulai berdetak lagi kali ini dengan ritme yang teratur. Rasa hangat yang menyenangkan bergelung di perutku menjalar ke seluruh sudut tubuhku.

Aku tidak menyadari sejak kapan tapi kedua tanganku kini mencengkeram pergelangan tangan Alice, berusaha menariknya lebih dekat ke bibirku. Lidahku menyentuh kedua gigiku yang memanjang, sepasang taring baruku. Tapi Alice lebih cepat dariku dan lebih kuat, Ia mendorong tulang belikatku dengan tangan kanannya menahanku di tempat. "Semakin banyak darahku yang kau minum maka akan semakin sulit untuk dikeluarkan."

Saat Alice menyebutkan darah seketika akal sehatku kembali lagi. Kudorong tubuhku menjauh darinya secepat mungkin. Aku memandang pergelangan tangannya dengan pandangan ngeri dan jijik lalu mengusap mulutku yang basah dengan punggung tanganku, rasanya sulit menahan keinginan untuk menjilat sisa darah yang menempel di punggung tanganku. Kubuka mulutku untuk berbicara tapi bagaimanapun aku berusaha tidak ada suara yang keluar.

"Tubuhmu akan berfungsi normal setelah 24 jam, Eleanor." Ia memandang ke arah lantai sekilas lalu kembali memandangku, "Kau ingin aku membantumu berpakaian sebelum kita pulang?"

Pulang. Kata-kata itu terdengar absurd bagiku. Tidak ada jalan kembali untukku.

Alice mengambil dressku yang tergeletak di atas karpet lalu membantuku mengenakannya. Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku dengan normal, semuanya masih terasa kaku. Nick kembali beberapa saat kemudian, Ia memandangku sekilas sebelum menuntunku keluar dari ruangan ini. Sepertinya Ia masih menghindariku tatapanku.

Nick menyewa kamar suite di Ritz Carlton San Francisco, hotel ini terletak beberapa blok dari apartemenku. Eric lah yang membukakan pintu saat kami tiba, Ia tersenyum padaku, hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Dan seperti sebelum-sebelumnya Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi.

"Aku sudah mendapatkan donornya, Sir, AB+." Gumamnya pada Nick dengan pelan.

"Thanks, Eric." Balas Nick sambil menuntunku ke ruangan lain, sebagian besar tubuhku masih terasa kaku aku hampir tidak bisa merasakan sentuhannya. Alice dan Eric tidak mengikuti kami. Kami memasuki ruang duduk yang luas, Nick membantuku duduk di sebuah sofa berwarna krem. Ia masih berdiri di sebelahku saat pintu di seberang kami terbuka, seorang wanita seumuranku masuk ke dalam. Ia mengenakan pakaian kasual, rambut hitamnya diikat dengan rapi ke belakang tapi yang paling membuatku ngeri adalah ekspresi takut di wajahnya. Aku yakin wanita di depanku adalah manusia dan Ia adalah donor yang dibicarakan oleh Eric.

"Eleanor..."

Sebelum Nick sempat melanjutkan kalimatnya aku berdiri dari tempat dudukku. Wanita di seberangku terlihat membeku saat memandangku, kedua mata coklatnya yang membesar semakin terlihat ketakutan. Nick akan memintaku untuk mengambil darah wanita ini secara langsung? Rasa mual yang kunantikan setelah membayangkan tidak datang, yang ada hanya rasa haus di tenggorokanku. Aku menoleh ke arah Nick lalu ke arah wanita yang masih berdiri di depan pintu itu. Nick meraih tanganku hingga aku melihat ke arahnya lagi, "Aku mengerti, Eleanor. Tidak akan ada yang memaksamu." Kata-kata Nick membuatku sedikit lebih tenang.

"Kau boleh kembali." Katanya pada wanita di depan kami, Ia langsung membuka pintu di belakangnya dan menghilang dari baliknya. "Maafkan aku." Gumam Nick setelah wanita itu pergi, Ia belum melepaskan tanganku. Kutundukkan kepalaku untuk menatapnya, ekspresi bersalah di wajahnya masih sama dengan saat pertama kali Ia melihatku beberapa jam yang lalu. Kuangkat salah satu tanganku yang tidak berada di genggamannya lalu menarik kepalanya ke pelukanku, jari-jariku menyusuri rambut coklatnya dengan lembut. Aku tidak bisa mengatakan apapun saat ini jadi hanya inilah yang bisa kulakukan untuknya. Ini bukan salahmu, Nick.

Ia melingkari pinggangku dengan tangannya, menarikku semakin mendekat. Aku bisa merasakan tubuhnya yang sedikit bergetar, "Video itu—aku bersumpah akan membunuhnya, Eleanor. Aku akan membunuh Alastair."

Entah mengapa keinginanku agar Alastair mati kini sudah menghilang. Senyuman di wajahnya sebelum menggigitku masih terbanyang di dalam kepalaku tapi wajahnya tidak bisa memancing emosi apapun di dalam diriku.

"Apa yang kau lakukan, Nicholas?" suara Alice membuatku menarik diriku menjauh dari Nick, aku tidak mendengarnya masuk. Ia berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terlipat, pakaian serba hitamnya masih terlihat asing bagiku. "Eleanor harus meminum darah baru dalam 24 jam, darah yang kuberikan sebelumnya akan berubah menjadi racun baginya." Kedua keningnya berkerut sedikit marah pada Nick. Sepasang mata abu-abu kebiruannya yang dingin memandangku dan Nick bergantian, "Ia hanya memiliki waktu 15 jam."

"Aku akan mengurusnya, Alice." Nick tidak berdiri dari tempatnya, "Terimakasih untuk bantuanmu. Eric juga."

Alice menatap ke arah Nick dengan tajam, "Sekarang kau mengusirku?"

"Yeah. Kurasa Eleanor lelah, dan kau... kau memiliki janji sore ini dengan Lancaster, bukan?"

Perubahan drastis pada wajah Alice membuatku terhenyak sedikit. Lancaster? Luke Lancaster? Ia adalah sepupu Lana. Kami pernah pacaran 8 tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Sekarang Ia berada di Manhattan menjadi CEO perusahaan sistem keamanan terkenal, Crossfire Incorporation. Apa hubungan Alice dan Luke?

"Jadi kau sudah mengetahuinya." Gerutunya pada Nick sambil menarik kedua sudut mulutnya ke bawah lalu Ia berbalik menghilang dari balik pintu. Aku berbalik memandang Nick lagi dengan pandangan bertanya, tapi Nick mengira aku ingin bertanya tentang darah Alice yang akan menjadi racun di dalam tubuhku.

"Aku tidak akan memaksamu meminum darah manusia langsung dari sumbernya, Eleanor. Apa kau masih merasa haus?"

Aku menggeleng ragu-ragu padanya sebelum akhirnya mengangguk kecil. Tenggorokanku kembali terasa seperti terbakar, berapa kalipun aku berusaha menelan air ludahku rasa panasnya tidak menghilang. Nick hanya memandangku selama beberapa saat, sekali lagi wajahnya yang tampan membuatku hampir melupakan rasa hausku. Walaupun kedua matanya terlihat kelelahan tapi warna mata biru tuanya masih terlihat jernih. Penampilannya yang lebih berantakan dari biasanya tidak mengurangi ketampanannya. Pandanganku beralih sebentar ke rambut coklatnya yang sedikit berantakan, aku ingin menyentuhnya lagi. Bagaimana bisa seorang Eleanor menarik perhatian pria sepertinya? Lalu kusadari aku belum melihat cermin sejak tadi, aku tidak tahu seberapa berantakannya diriku saat ini. Bahkan dress putihku sudah sangat kusut. Tanganku bergerak ke arah gelungan rambutku yang hampir terlepas lalu mencopot ikatannya. Bagaimana dengan wajahku?

"Eleanor..."

Pandanganku kembali ke wajah Nick. Ia masih memandangku sejak tadi, tapi ekspresinya sedikit berubah setelah aku menggerai rambutku. "Kau ingin mandi?" tanyanya. Apa aku seberantakan itu? Kurasakan wajahku sedikit memanas. Aku mengangguk padanya lalu Ia berdiri di sebelahku sambil meraih tangan kananku.

"Aku akan menyiapkan airnya, kau tidak keberatan mengenakan pakaianku dulu sementara?" Nick menoleh ke arahku sedikit, kami berjalan ke arah pintu lain yang menuju kamar. Aku mengangguk lagi. Kami memasuki ruangan kamar hotel yang sebesar kamarnya di Manhattan, Nick masuk ke dalam kamar mandi meninggalkanku sendiri. Aku berjalan menuju cermin yang menempel pada lemari besar di sisi ruangan. Penampilanku terlihat sama buruknya dengan Nick, tapi ada yang berbeda. Rambut auburnku yang bergelombang membingkai wajahku yang sedikit lebih pucat dari biasanya. Tapi bukan hanya wajahku yang terlihat pucat, seluruh tubuhku juga. Warna amber kedua mataku yang sebelumnya lebih condong ke coklat, saat ini lebih terang. Hampir seperti warna api. Aku mematung di depan cermin selama beberapa saat, tidak bisa mengalihkan pandanganku dari pantulanku.

"Eleanor?"

Aku menoleh ke arah Nick yang muncul dari balik pintu lalu berjalan ke arahnya. Ia memberitahuku dimana letak shampoo dan handuk lalu meninggalkanku di kamar mandi. Kulepas seluruh pakaianku yang kotor sebelum masuk ke bathup, seluruh tubuhku terasa lebih rileks setelah berada di dalam air hangat. Kucuci rambutku setelah selesai berendam lalu mengeringkannya dengan handuk. Saat aku menggosok gigiku aku merasakan sepasang taring kecil yang tertutup di bagian barisan atas gigiku. Taring ini tidak terasa sejelas saat Alice memberikan darahnya padaku, saat ini hampir seperti tersembunyi. Kuambil handuk yang lainnya untuk membungkus tubuhku lalu berdiri di depan pintu. Nick tidak memberikan pakaian untukku dan aku tidak bisa memakai pakaianku yang kotor lagi.

Apa Ia masih berada di kamar? Aku harus mengambilnya sendiri? Kubuka kenop pintu kamar mandi perlahan lalu membuka pintu hingga setengah. Nick masih berada di kamar. Ia sedang berdiri memunggungi pintu kamar mandi berbicara di handphonenya. Tiba-tiba Ia membalikkan badannya membuat pandangan kami bertemu, tapi pandangan Nick bergerak turun perlahan hingga ke kakiku yang telanjang lalu kembali lagi menatap wajahku yang memerah.

"Apa? Tunggu sebentar." Gumamnya di handphonenya. Ia menunjuk ke arah koper yang berada di atas sofa lalu berjalan keluar kamar. Setelah Nick menutup pintu aku berjalan keluar dari kamar mandi, kuambil sebuah kemeja putih dan salah satu boxernya dari kopernya. Semuanya terlalu besar untukku, aku harus mengikat bagian ujung boxernya agar bisa kukenakan. Nick kembali beberapa saat kemudian, Ia memintaku tinggal di kamar sementara Ia mandi.

Sepuluh menit kemudian Ia keluar dengan rambut sedikit basah, Ia mengenakan kaos berwarna merah marun dan celana piyama hitam. Rasa terbakar di tenggorokanku terasa semakin buruk dan aku masih belum bisa berbicara.

"Kau lapar?" tanyanya sebelum duduk di atas tempat tidur, aku duduk di sofa seberang tempat tidur. Kugelengkan kepalaku, aku tidak merasa lapar sama sekali. Hanya haus, sangat haus.

"Eleanor, aku memiliki satu cara agar kau tidak perlu meminum darah manusia." Ia menyisir rambut coklat gelapnya dengan salah satu tangannya lalu menatapku dengan serius. "Bagaimanapun juga kita harus menetralisir darah Alice yang berada di dalam tubuhmu karena darahnya akan menjadi racun jika dibiarkan terlalu lama." Tambahnya lagi. Lalu tiba-tiba Ia mengulurkan tangannya padaku, "Tapi kau harus berada di dekatku untuk bisa melakukannya."

Huh? Aku berdiri dari sofa lalu berjalan hingga berada tepat di depannya, kuletakkan salah satu tanganku di tangannya yang terulur.

"Lebih dekat lagi." Nick menarikku hingga aku jatuh terduduk di pangkuannya. AKu menatapnya dengan sedikit terkejut tapi Nick tetap melanjutkan, "Kau harus melingkarkan tanganmu di leherku." Ia mengambil kedua tanganku lalu melingkarkannya pada lehernya, wajah kami saat ini hanya berjarak beberapa senti. Aku bisa mencium baunya yang khas dan sabun, tapi ada bau lain yang masih belum bisa kumengerti. Bau yang membuat rasa hausku lebih parah.

"Lalu," gumamnya sambil menatap kedua mataku, "Aku harus menciummu." Kedua mata biru tuanya yang jernih memandangku dengan serius selama beberapa detik sebelum berubah menjadi senyuman kecil. "Aku hanya bercanda."

Untuk sesaat aku hanya bisa berkonsentrasi pada bau itu, tanpa kusadari pandanganku beralih pada lehernya. Tidak, pada nadi di lehernya yang berdenyut.

"Lakukan, Eleanor."

Suara Nick membuat tatapanku kembali ke wajahnya dengan cepat. Apa yang Ia katakan?

"Kau tidak akan menyakitiku." Senyuman kecilnya masih bertahan di wajahnya, tapi aku membalasnya dengan tatapan ngeri. Saat aku hampir melepaskan diriku darinya, kedua tangan Nick yang berada di pinggangku menahanku.

Wajahnya mendekati telingaku lalu berbisik padaku, "Kau tahu bagi kami gigitan adalah foreplay."

Kali ini kalimatnya benar-benar membuatku melompat menjauh darinya, aku berdiri satu langkah darinya menatapnya dengan wajah memerah. Suara tawa Nick yang dalam dan serak membuat wajahku semakin memerah. "Aku hanya bercanda, okay?" Ia berusaha menahan tawanya lalu mengulurkan tangannya lagi. Aku tidak bergerak dari tempatku.

"Eleanor... aku hanya bercanda." Ulangnya dengan wajah lebih serius, "Tapi kau harus meminum darahku." Ia melihat wajah panikku lalu menarik kedua sudut mulutnya ke bawah, "Kau tidak akan menyakitiku." Ia masih mengulurkan tangannya padaku.

Kutelan ludahku lalu membalas uluran tangannya.