(POV - Nicholas Shaw)
Eleanor menyambut uluran tanganku walaupun tatapannya masih terlihat ragu-ragu. Aku tersenyum padanya untuk membuat rasa gugupnya berkurang, kedua mata ambernya membesar saat menatapku. Untuk yang kesekian kalinya selama bersamanya aku tidak bisa mempercayai keberuntunganku.
Ia adalah milikku. Hampir. Tapi setelah aku membalas Alastair Ia benar-benar akan menjadi milikku. Alastair akan membayar apa yang diperbuatnya, perlahan dan menyakitkan. Tapi sekarang aku tidak ingin memikirkannya, tidak saat Eleanor berada di dalam pelukanku seperti ini.
"Eleanor." Bahkan namanya terdengar sempurna di bibirku. Ia membalasku dengan mengedipkan matanya sekali, warna amber matanya sudah berubah dari gelap menjadi lebih terang. Bagaimana aku bisa seberuntung ini?
"Kau hanya harus mendekat ke leherku lalu instingmu akan menuntunmu." Pandangannya beralih pada leherku, aku tahu seberapa sakit rasa terbakarnya. Leech baru biasanya membutuhkan 5 liter darah segar saat mereka baru saja berubah dan diluar dugaanku Eleanor bisa menahannya selama ini. Tapi tetap saja aku tidak ingin membuatnya menderita lebih lama, Ia harus menetralisir darah Alice di dalam tubuhnya. Darah Valkyrie bisa berubah dari obat menjadi racun dengan sangat cepat.
Salah satu tanganku yang memegang pinggangnya bergerak menuju belakang kepalanya untuk mendorongnya mendekat, Ia tidak berusaha menahanku. Tiga detik kemudian bibirnya sudah menempel di nadi leherku, taringnya yang kecil dan tajam menyobek kulitku dengan cepat. Tegukan pertamanya terdengar sangat jelas membuatku hampir tersenyum pada diriku sendiri. Kubenamkan wajahku di rambutnya lalu menarik nafas dalam-dalam, sebagian besar bau Alastair sudah hampir menghilang darinya. Dan dengan darahku mengalir di dalamnya bau milikku akan lebih dominan.
Kedua tangannya semakin erat memelukku, jika aku manusia mungkin saat ini Eleanor sudah mematahkan leherku. Aku tidak ingin memindahkan kedua tanganku yang berada di pinggangnya karena aku tidak tahu apa aku bisa mengontrol diriku setelahnya. Ini adalah pertama kalinya seseorang meminum darahku secara langsung, dan rasanya...
Fokus, Nicholas! Kupejamkan kedua mataku membiarkan Eleanor mengambil sebanyak yang Ia butuhkan. Aku sudah meminum 3 liter pouch darah yang dibawa Erik sebelumnya, seharusnya itu cukup.
Kupusatkan seluruh perhatianku pada suara tarikan nafasnya, baunya yang baru, dan perasaan asing yang selalu kurasakan saat aku menyentuhnya. Kuku jarinya yang menjadi lebih tajam mengiris kulit leherku sedikit saat Ia memelukku, kutarik nafasku dalam-dalam untuk menenangkan diriku. Sedikit lagi, sebelum aku kehilangan kontrol.
Kualihkan pikiranku pada detak jantung Eleanor yang berubah semakin cepat, fokus Nicholas. Setelah semua ini selesai aku tidak akan menahan diriku lagi. Fokus.
"...tidak akan pernah melepaskanmu lagi." Bisikku di telinganya. Perlahan Eleanor melepaskan gigitannya, Ia menjilat daerah gigitannya beberapa kali sebelum menarik kepalanya. Pemandangan di depanku tidak membuatku menyesal hidup hampir 300 tahun lamanya.
Kedua mata Eleanor yang berwarna hitam perlahan kembali ke warna semulanya, amber. Beberapa tetes darahku membasahi sudut mulutnya. Tanpa mengalihkan pandangannya dariku perlahan lidahnya menjilat sisa darah di sekitar bibirnya. Seluruh pikiran untuk menahan diriku hampir hancur detik itu juga.
"Nicholas..." Rambut auburnnya yang bergelombang sedikit menempel di pipinya, Eleanor terlihat seperti malaikat yang siap mencabut nyawaku. Dan aku tahu, aku tidak akan keberatan.
Sial. Bagaimana aku bisa bertahan dari ini? Kupejamkan kedua mataku sejenak untuk mengumpulkan sisa-sisa pertahanan diriku. Kutarik nafasku lagi untuk menenangkan diriku, tapi bau Eleanor yang sudah bercampur denganku tidak membuat semuanya lebih baik.
"Nicholas, kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan setengah berbisik.
Tidak, aku tidak baik-baik saja. Kutelan ludahku sebelum menjawabnya, "Kurasa sebaiknya kau turun dari pangkuanku, Eleanor."
"Oh!" Eleanor hampir melompat saat turun dari pangkuanku, kedua matanya sedikit berkilat saat menatapku lagi. "Maaf."
"Aku tidak apa-apa." Balasku sambil berdiri.
"Tapi kau..." Eleanor menggigit bibirnya dengan ragu-ragu, "Aku tidak bermaksud mengambil sebanyak itu." Ia menarik rambut yang sebelumnya menempel di pipinya lalu menyelipkannya ke balik telinganya. Kali ini Ia menatapku dengan pandangan bersalah.
"Kau tidak bisa menahannya, Eleanor, hal itu normal." Gumamku sambil berjalan ke arah pintu, aku harus keluar dari ruangan ini untuk mengontrol diriku. "Istirahat. Aku akan kembali sebentar lagi." Kututup pintu di belakangku tanpa menunggu jawabannya.
Suara tawa kecil terdengar dari dekat pantry, "Lari darinya, Nick?"
Kutarik kedua sudut mulutku ke bawah lalu menghampiri sebuah cooler box yang berada di salah satu counter, Eric meninggalkan beberapa stok darah untukku. "Kau membawa Wineku?" tanyaku tanpa menoleh, darah dingin bukan favoritku.
"Yeah, tapi aku membawanya untuk Eleanor. Kau mau?"
"Tidak." Balasku sebelum menusukkan taringku di pouch darah dingin yang kupegang. Kukerutkan keningku sambil meminumnya hingga habis lalu lanjut ke pouch selanjutnya.
"Aku tidak menyangka akan hidup selama ini untuk melihat saudaraku, akhirnya, terikat pada wanita."
Kulempar sisa pouch kosong ke tempat sampah lalu mengusap mulutku dengan tanganku, "Yeah, setelah ini adalah giliranmu. Dan saat itu terjadi aku akan tertawa di depan wajamu." Jawabku dengan sedikit kesal. Ia masih menatapku dengan pandangan tertawanya.
Kuhela nafasku lalu duduk di sofa terdekat, "Dimana perempuan itu?"
"Aku meninggalkannya di rumah Sebastian dan Ludmilla. Kau benar, Elizabeth tidak menduga aku yang akan datang untuknya. Ia menunggumu."
"Alastair?" tanyaku sambil melirik ke arahnya, kusembunyikan rasa marahku di balik wajah datarku.
"Aku belum menemukannya... tapi kurasa Ia sudah kembali ke Manhattan."
"Tidak ada yang boleh menyentuhnya. Ia milikku." Gumamku sambil berdiri lagi. "Aku butuh mobilmu."
Ia hanya mengangguk kecil lalu melemparkan kuncinya padaku, "Aku akan menjaga Eleanor."
"Thanks." Jawabku sebelum berjalan ke arah kamar lagi.
"Hey, Nick."
Kutolehkan kepalaku sedikit tanpa membalikkan badanku.
"Kau tidak membunuhnya selama ini karena Ia masih mencintaimu, kan?"
Kuteruskan langkahku tanpa menjawab pertanyaannya.
***
Eleanor sudah tertidur ketika aku kembali ke kamar, kuganti piyamaku dengan setelan jas berwarna hitam lalu memasang dasi hitamku sambil memandangnya di atas tempat tidurku. Rambut auburnnya yang panjang terurai di atas bantalku membentuk lautan kecil di sekitar kepalanya.
Milikku.
Perasaan ini masih terasa asing bagiku. Ini adalah pertama kalinya aku merasakannya. Tidak peduli seberapa keras aku menyangkalnya Eleanor membuatku merasakan, Ia membuatku kembali mengingat bagaimana rasanya hidup. Bukan hanya abadi, tapi hidup.
Dan aku akan melakukan apa saja untuknya. Kakiku melangkah mendekati tempat tidur lalu membungkuk ke arahnya, nafasnya yang teratur dan detak jantungnya terdengar jelas. Kutempelkan bibirku di pelipisnya selama beberapa detik lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Saat ini semua sudah berakhir Ia akan menjadi milikku seutuhnya.
Langit San Francisco sudah gelap saat aku keluar dari basement hotel, kupijak gas dengan kecepatan tinggi menembus jalanan yang tidak terlalu ramai. Kecepatanku akan menarik perhatian polisi, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin kembali ke Eleanor secepatnya sebelum Ia bangun.
Elizabeth Longbourn.
Kedua tanganku yang tertutup sarung tangan kulit hitam menggenggam kemudi dengan erat, aku tidak boleh menunjukkan rasa marahku sekarang. Aku tidak tahu bagaimana Elizabeth bisa membuatku mengikuti rencananya, aku tidak terlalu peduli. Saat ini tujuanku hanya satu; Alastair.
Barisan pohon pinus melesat dengan cepat di bagian kanan dan kiri jalan menuju rumah Sebastian. Lima menit kemudian aku sudah memarkirkan mobil di depan rumahnya, Sebastian dan Ludmilla menungguku di depan rumah mereka.
"Nicholas, bagaimana keadaan Eleanor?" tanya Ludmilla dnegan khawatir sebelum aku sempat menyapanya.
"Ia masih berada dalam proses transisi." Jawabku sambil mencium pipinya sekilas. "Terimakasih untuk bantuan kalian."
"Bagaimana dengan Alastair?" Sebastian memandu kami menuju ruangan bawah tanahnya.
"Ia sudah berada di Manhattan." Kukepalkan kedua tanganku tanpa mengubah ekspresi di wajahku.
"Kau butuh bantuan? Alastair tidak akan sendirian." Sebastian menoleh ke arahku.
Aku tahu Ia akan berusaha membantuku, kulirik Ludmilla sekilas sebelum menjawabnya, "Tidak perlu, aku bisa mengatasinya sendiri... Mungkin aku akan membutuhkan sedikit bantuan Lucian dan Dev."
Aku tidak ingin semakin membuat Ludmilla khawatir, lagipula ini adalah masalahku. Tapi sepupu Sebastian, Lucian dan Dev, mungkin akan berguna jika Alastair memang tidak sendirian.
"Aku akan memberitahu mereka."
"Thanks, Sebastian. Aku berhutang padamu."
"Apa yang kaubicarakan, Nick? Kau tidak berhutang apapun padaku." Jawab Sebastian sambil memandangku dengan wajah kesalnya. Ludmilla hanya memutar kedua matanya mendengar jawabanku. Aku sudah mengenal Sebastian sejak 150 tahun yang lalu, sedangkan Ludmilla 25 tahun yang lalu. Ia dulu adalah Leech yang diubah oleh Sebastian, dan sekarang menjadi istrinya.
Kami memasuki lorong panjang yang menuju ruang bawah tanah tempat Sebastian menyimpan gudang Wine pribadinya, sekaligus penjara pribadinya. Erik berdiri di depan pintu yang berada di ujung lorong. Ia hanya mengenakan kemeja putihnya dengan bercak darah di bagian depannya, kedua lengan kemejanya digulung hingga ke siku. "Sir." Sapanya dengan wajah datarnya, Erik adalah orang paling misterius yang pernah kukenal. Selain dengan Alice, Ia tidak pernah berbicara tentang kehidupannya yang sebelumnya saat Ia masih menjadi manusia. Tapi Erik bekerja lebih baik dari siapapun, Ia tidak pernah ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya. Erik sangat stabil, dan hal itulah yang paling kukagumi darinya.
"Ia menyerangmu?" tanyaku sambil mengamati bercak darah di kemejanya, dari baunya bercak itu adalah darah Erik.
"Sedikit. Mrs. Longbourn membuat masalah saat dipindahkan." Kedua mata abu-abunya yang dingin tidak terlihat marah sedikitpun saat menyebut nama Elizabeth.
"Aku akan masuk sendiri, Erik."
Udara yang lembap dan kering di ruangan bawah tanah Sebastian bercampur dengan bau Wine yang menyenangkan, Ludmilla membuat sendiri sebagian Winenya lalu menyimpannya di tempat ini untuk proses penuaan. Beberapa lampu kuning menyinari gudang ini, tapi kedua mataku bekerja sama baiknya dengan atau tanpa penerangan.
"Ah, Nicholas." Suara feminim yang sangat kukenal menyapaku dari balik jeruji titanium yang berada di sudut ruangan. Elizabeth duduk di satu-satunya kursi yang berada di dalamnya. "Aku sudah menunggumu sangat... sangat lama."
"Hampir 50 tahun, huh?" gumamku sambil mengeluarkan kunci kecil yang diberikan Erik sebelumnya. Kubuka pintu jeruji titanium lalu masuk ke dalam. Ia mendongak menatapku dengan kedua mata hitamnya, aku harus mengakui Ia mengubah penampilannya sangat drastis hingga aku hampir tidak mengenalnya. Lebih tepatnya, Ia berusaha mengkopi Eleanor. Rambut auburn palsunya terlihat terlalu gelap, mungkin warna catnya hampir luntur ke warna rambut aslinya. Sedikit darah kering menghiasi hidungnya, tapi Elizabeth tersenyum saat menatapku.
"48 tahun, 3 bulan, 20 hari."
Kututup pintu jeruji di belakangku lalu menyandarkan punggungku. Aku membalas tatapannya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia masih terlihat sama cantiknya dengan 70 tahun yang lalu. Cantik dan sia-sia.
"Kau menghindariku selama ini, bukan, Nicholas? Berusaha menguburku dengan masa lalu kita." Senyumannya sekarang terlihat menyedihkan bagiku. "Aku berusaha memperbaiki hubungan kita selama ini, tapi kau..." Kedua mata hitamnya yang pekat memandangku dengan marah, "Kau mencari penggantiku."
Kulepas sarung tangan kananku lalu memasukkannya ke saku jasku, "Maksudmu Eleanor?"
"Jangan menyebut namanya!"
"Eleanor tidak ada hubungannya dengan ini."
"Tapi kau! Kau berjanji padaku, Nicholas. Kau tidak akan meninggalkanku, kau harus bertanggung jawab atas dosa-dosamu."
"Aku tidak membunuh putramu, Elizabeth. Atau keluargamu." Kakiku melangkah mendekatinya, sesaat tubuhnya terlihat menegang. "Sekarang katakan padaku, dimana Alastair?"
"Kau membunuhnya, kau membunuh mereka berdua! Lalu kau berjanji tidak akan meninggalkanku selamanya..." satu tetes air mata jatuh dari sudut matanya. "Nicholas, kita bisa memulai semuanya lagi dari awal. Kau dan aku. Lupakan semua ini... untukku."
Kuangkat tangan kananku lalu meremas rahangnya, "Kau memintaku untuk melupakan apa yang kau lakukan pada Eleanor?" Kedua tangannya berusaha menarik pergelangan tangan kananku, aku bisa merasakan tulang rahangnya yang mulai berderak. "Dimana Alastair?" kulepaskan tanganku darinya untuk memberinya kesempatan menjawab.
Elizabeth membutuhkan beberapa detik sebelum bisa berbicara lagi, "Apa yang wanita itu miliki, Nicholas?" kedua matanya yang dipenuhi air mata terlihat kesakitan. "Apa kau akan membuangnya juga jika kau sudah bosan dengannya? Sama sepertiku?"
"Aku tidak pernah menganggapmu lebih dari Leechku. Kau hanya memiliki imajinasi yang terlalu tinggi hingga berpikir aku benar-benar menyukaimu." Jika aku menghabiskan banyak waktu disini Eleanor bisa mencium bau Elizabeth dariku saat aku kembali nanti. Kulihat jam tanganku sekilas lalu kembali menatapnya, "Aku tidak memiliki banyak waktu, Elizabeth. Ini adalah pertanyaan terakhirku, dimana Alastair?"
"Kau mencintaiku, Nicholas..." Air matanya jatuh lagi membasahi pipinya. Kubalikkan badanku lalu keluar dari penjara ini.
"Kau tidak akan membunuhku?" tanyanya dengan putus asa saat aku mengunci pintu jerujinya lagi.
"Aku tidak punya waktu untukmu." Balasku sambil berjalan keluar dari gudang ini. "Selamat tinggal, Elizabeth."
Ia masih memanggil namaku hingga akhirnya pintu gudang yang kututup meredam suaranya. Erik masih berada di luar pintu saat aku kembali. "Kau bisa kembali ke Manhattan setelah ini, Erik." Kataku sambil mengembalikan kunci itu padanya.
"Bagaimana dengan Mrs. Longbourn, Sir?"
Kukenakan kembali sarung tangan kulitku sebelum menjawab pertanyaannya, "Cari tahu dimana Alastair berada darinya lalu bunuh perempuan itu."
Erik hanya mengangguk kecil tanpa menjawabku dan aku berjalan meninggalkannya tanpa menoleh ke belakang lagi.