Bapaknya Doi Serem

Mendengar kata-kata itu membuat gue sedikit lega, karena tidak sesuai dugaan dalam ketakutan gue bahwa dia marah. Kalau di terima syukur, kalau tidak ya wajib nyatakan lagi sampai dia merasa bosan dan menerima gue jadi pacarnya. Egois? Kalian bilang egois? Biarin egois, namanya juga harapan.

Sebelum gue melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba dari belakang ada suara orang lagi meng-kode.

"Ehemm!"

Sontak gue terkejut setengah mateng, eh salah setengah mati yang benar. Ada sesosok bapak-bapak dengan tampilan sangar menatap gue tajam.

"A-a-ada apa, Pak?" tanya gue gemetaran.

"Kamu siapanya anak saya?!" Dia bertanya sambil memainkan kumisnya.

"A-a-anu, Pak. Sa-saya hanya teman."

"Jangan macam-macam kamu ya, kalau macam-macam saya tembak kepala kamu!" Bapak itu mengacungkan pistol.

"A-a-anu, Pak. Ini bukannya pistol air?"

"Iya ini pistol air untuk sekarang, tapi akan berubah jadi pistol beneran jika lu coba-coba ganggu anak saya!"

"Ba–baik, Pak. Saya pu-pulang dulu, Pak. Assalamu'alaikum," ucap gue.

Astaga ternyata bapak Melea nyeremin banget, kumis yang tebal dengan potongan rambut seperti anggota Kepolisian. Gue buru-buru kabur dari tekanan maut yang di berikan bapaknya Melea kepada gue. Jarum kecepatan motor gue di titik angka 100, menunjukkan betapa kencangnya motor ini. Sebenarnya bohong sih, ya kali motor butut gue bisa sekencang itu.

Dalam perjalanan pulang gue berpikir panjang, sangking panjangnya membuat gue hampir masuk parit kecil. Sejenak gue memberhentikan laju motor untuk melanjutkan berpikir akan resiko apa yang gue dapatkan ketika memaksa mendekati Melea.

'*Kalau gue nekat dekatin, bisa-bisa kepala gue bolong ini.'

'Eh bentar-bentar.'

'Bukannya tadi bapaknya Melea cuma bilang jangan macam-macam sama anaknya, gue kan gak ada niatan buruk kepadanya.'

'Berarti gue aman dong. Ah besok di coba aja lagi, sekarang waktunya gue pulang dan menunggu jawaban dari Melea*.'

Kembali gue melajukan perjalanan pulang dengan hati yang kadang tenang, kadang juga takut. Pokoknya bercampur aduk deh kaya gado-gado, di tambah cabe 2 biji sama gorengan enak tuh.

...

Sesampainya di rumah gue melihat adik kesayangan yang sedang bermain masak-masakan, tapi bukan masak beneran. Dia hanya bermain dengan pasir sebagai nasinya, bunga dan tanaman sebagai lauknya dan daun sebagai alasnya.

Gue parkir si Jarot—nama motor gue—di halaman rumah.

"Mamas wis mulih," kata Ayu yang mendekati gue sambil meluk.

Gue sudah tahu arti dari pelukan itu, seperti biasa Ayu mengharapkan jajanan dari gue.

"Nih roti cokelat dan permen, jangan di habis langsung loh." Gue memberikan itu sambil mengelus kepalanya.

Uang jajan selalu gue sisihkan dua ribu untuk membeli makanan yang akan gue berikan kepada Ayu. Gue di kasih bapak uang 6 ribu untuk jajan, empat ribu untuk gue dan dua ribunya untuk Ayu. Gue gak tega kalau melihat Ayu yang hanya bengong melihat temannya bisa jajan.

"Assalamu'alaikum, Buk, Pak. Aku pulang!" seru gue ketika masuk ke rumah.

"Waalaikumsalam, kamu sudah makan, Le?"

"Durung, Buk."

"Yo wis mangan sana, ibu sudah masak sambal terasi dan ikan asin sama lalapan."

"Perfect," ucap gue kegirangan.

"Bahasa Opo itu, Le?"

"Bahasa inggris, Buk. Artinya sempurna."

Setelah itu gue langsung ganti baju dan menyantap makanan yang telah ibu sediakan sebelumnya. Ikan asin berpadu dengan sambal terasi itu sangat enak sekali di lidah gue, apalagi di tambah lalapan buah rimbang, komplit sudah perpaduan rasa gurih, asin, manis, pedas dan sedikit pahit dari buah rimbang.

Ini makanan paling gue sukai dari makanan lain, ya mungkin karena inilah makanan yang paling enak dari makanan yang di sediakan ibu. Biasanya hanya telor di bagi empat atau sayur daun singkong sama sambal.

Gue tetap bersyukur bisa makan dan mengisi kosongnya perut, karena setahu gue masih banyak orang-orang yang gak bisa makan dengan enak, bahkan hanya bisa makan sekali sehari dan terkadang hanya minum air untuk menghilangkan rasa lapar itu.

Gue juga senang terlahir di keluarga yang ekonominya rendah, karena tidak ada rasa takut dan sedih ketika uang, makanan, dll gak ada. Kalau dari ekonomi tinggi, gue pasti takut akan kegelisahan dan sedih ketika apa yang gue dapatkan gak sesuai dengan sebelumnya. Banyak gue lihat dari teman-teman mengeluh di sekolah yang ketika makan bekal yang tak sesuai ekspetasi mereka. Padahal lauknya ikan goreng dengan sayur kangkung.

Perut dan tenaga sudah kembali terisi dengan penuh, gue melanjutkan untuk mencuci piring serta baju kotor gue. Setelah itu gue pamit kepada ibu dengan membawa pancingan.

"Buk, aku pamit mancing iwak dulu yo. Untuk lauk nanti malam."

"Hati-hati yo, Le. Jangan lupa baca bismillah supaya dapat banyak.

" Iya, Buk."

Seperti inilah kebiasaan gue sehari-hari ketika pulang sekolah, selalu pergi mancing dapatkan ikan untuk lauk. Jika dapat ya makan enak, kalau gak dapat ya pastinya hanya makan seadanya. Pernah dulu gue mancing dari siang sampai malam hanya dapat satu ikan, kecil pula.

Gue menggali tanah di dekat rumah untuk mencari cacing tanah sebagai umpan pancing, setelah merasa cukup gue langsung pergi menuju sungai yang ada di desa gue.

...

Aliran deras air menyambut indra pendengaran dan penglihatan gue, sebuah sungai yang masih terjaga akan kelestariannya. Karena Kepala Desa membuat aturan untuk menjaga alam dan tidak membuang sampah sembarangan.

"Maafin gue, Cing. Menggunakan tubuh lu untuk umpan pancing, semoga lu masuk surga. Bismillah," ucap gue melemparkan benang dan kail pancing itu ke sungai.

Sambil menunggu gue mencari sesuatu apa saja yang bisa di makan, seperti keong, tanaman singkong liar, tanaman keladi, bahkan buah-buahan. Biasanya sering gue temukan keong di pinggiran sungai, dan bakalan gue bawa pulang untuk di jadikan lauk.

Asal kalian tahu, orang dari tanah Jawa banyak menemukan bahan makanan yang bisa di makan oleh manusia. Ada kata-kata tentang orang Jawa yang pernah gue dengar, kalau orang Jawa di lepas ke hutan, mereka bakalan tetap hidup. Karena orang Jawa di kenal bisa menemukan bahan makanan di hutan, seperti jamur, keong, belalang, tanaman, buah-buahan dan air bersih.

Hebat kan tanah tempat kelahiran gue ini, mana cewek-cewek dari suku Jawa pada cantik-cantik lagi.

Dari perburuan sampingan ini gue mendapatkan beberapa keong, singkong hutan dan umbi keladi. Lumayan untuk tambahan lauk. Gue kembali mendekati pancingan untuk memeriksa apakah dapat ikan atau belum.

Terlihat tali benang pancing gue menegang dengan kokohnya, ingat ini menegang di benang, bukan menegang yang itu tu.

Dengan sedikit hentakan gue menarik tali pancing itu, namun mendapatkan perlawanan dari hewan yang terjerat kail pancing.

Gue beradu kekuatan dengannya, bersama-sama mengeluarkan seluruh kemampuan yang di miliki. Gue dengan harapan bisa menyantap tangkapan itu dan si ikan yang berharap untuk tidak di makan gue.

Sudah dua puluh menit acara tarik menarik seperti cinta lu sama doi, yang rupanya hanya di anggap kakak atau teman doang, sedih kali kamu. Akhirnya adu kekuatan ini di menangkan oleh gue dengan tenaga yang terkuras.

"Pantas saja tarikannya kuat sekali, ternyata ukuran ikannya besar banget." Gue terkesima melihat ukuran ikan mujair itu.

Kalau saja aku mengerti bahasa ikan, mungkin gue akan mendengar ikan itu berkata, "Lemes aku, udah wis gue kalah. Silahkan menikmati daging tubuh gue, ingat jangan di buang-buang. Agar gue gak sia-sia mati."

Tangkapan pertama yang paling besar dari ikan-ikan sebelumnya yang gue dapatkan. Tidak sia-sia ikutin nasihat ibu untuk membaca bismillah sebelum memancing.

"Malam ini gue sama keluarga akan makan enak."